Waspada Dampak Psikologis Pandemi, Dari Cemas hingga Bunuh Diri

Atikah Ishmah Winahyu
02/6/2020 22:14
Waspada Dampak Psikologis Pandemi, Dari Cemas hingga Bunuh Diri
Ilustrasi cemas dan gelisah(Ilustrasi)

PANDEMI mampu menimbulkan dampak yang cukup luas. Berdasarkan pengalaman di beberapa negara sebelumnya, pandemi dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, sosial, politik, hingga psikologis.

Dosen Fakultas Psikologi UI Bagus Takwin mengatakan, pandemi menciptakan dampak berganda dari sisi psikologis, selain ancaman penyakit yang menimbulkan rasa cemas dan panik, ada yang dilanda kesedihan karena kehilangan keluarga, ada pula yang ekonominya terdampak hingga memberikan pukulan yang lebih berat lagi bagi masyarakat.

“Dari segi psikologis dampaknya cukup signifikan terhadap gangguan kesehatan mental, bahkan ada yang sampai bunuh diri,” kata Bagus dalam acara bincang sore bersama FEB UI, Selasa (2/6).

Saat pandemi terjadi, aspek emosional manusia adalah yang paling pertama diserang. Emosi merupakan semacam sistem pertahanan pertama yang ada pada diri kita sebagai makhluk biologis.Setiap manusia memiliki rasa takut, cemas, dan terancam jika ada sesuatu yang bisa menyakiti atau membuatnya jadi tidak nyaman.

“Itu sistem yang sebenarnya membantu kita untuk menghindarkan diri dari bahaya tapi juga bisa menjadi soal karena kalau kita lihat emosi ini gampang menular dan itu bisa membuat efeknya jadi lebih buruk karena ketika dia menular, makin banyak orang yang kena efek kemudian mempengaruhi tingkah laku manusia,” tuturnya.

Baca juga : MUI Racik Tata Cara Ibadah di Masjid Saat Kenormalan Baru

Adanya rasa takut dan terancam ini kemudian menciptakan bias optimisme, di mana orang tidak akan membayangkan dirinya terkena penyakit/bahaya. Berikutnya yakni rasa jijik, emosi yang merupakan bagian sistem pertahanan manusia sebagai makhluk hidup untuk menghindarkan diri dari hal beracun/tercemar/membuat diri menjadi tidak berfungsi dengan baik karena zat-zat yang buruk bagi tubuh.

“Tapi efeknya itu biasanya jijik membuat orang jadi kemudian mengasosiasikan dirinya dengan hal-hal lain/objek-objek lain yang tidak disukainya. Misalnya menghakimi perilaku orang atau kelompok lain yang dianggap tidak sesuai, dan lebih sedikit memberikan interpretasi dan penilaian baik terhadap orang lain,” jelasnya.

Rasa jijik yang berlebihan juga mampu menimbulkan sifat intoleran/diskriminatif. Kemudian wabah juga dapat menimbulkan kecemasan eksistensial dan kesadaran akan kematian, kecenderungan depresif yang jika berlebihan dapat memunculkan keinginan bunuh diri. Kemudian panik moral, semacam perasaan bahwa ada hal-hal buruk yang disebabkan oleh orang lain, gangguan kesedihan yang berkepanjangan, menimbulkan seseorang kehilangan orientasi, hingga memiliki pikiran irasional.

Dengan banyaknya dampak psikologis yang disebabkan oleh pandemi, maka menurut Bagus, peningkatan layanan kesehatan mental merupakan salah satu hal yang penting dilakukan untuk mengatasi dampak negatif terhadap kesehatan mental yang timbul selama pandemi. Kemudian dibutuhkan kebijakan perlindungan sosial yang kuat.

“Negara-negara yang cukup kuat kebijakan perlindungan sosialnya tingkat depresi, kematian dan gangguan psikologis/emosionalnya jauh lebih rendah dibanding negara lain yang kebijakan perlindungan sosialnya lemah,” imbuhnya.

Sedangkan masyarakat dapat berupaya mengelola tingkah laku dengan meningkatkan kreativiras dan fleksibilitas, menjaga stabilitas pola makan, mengelola emosi dan pikiran bisa juga dengan bantuan psikolog, menjaga mindset yang meningkatkan semangat dan ketahanan psikologis, dan komunikasi untuk menanamkan pola pikir yang adaptif. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya