Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
BERDASARKAN laporan terbaru Greenpeace berjudul “Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution “Solutions”, sebanyak 855 miliar sachet terjual di pasar global pada tahun ini, dengan Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50%. Diprediksi jumlah kemasan sachet yang terjual akan mencapai 1,3 triliun pada tahun 2027.
Dalam diskusi Hari Peduli Sampah Nasional Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, mengatakan pada 2030, sachet ini sudah harus jadi monolayer dan mendorong produsen berinvestasi dalam penggunaan daur ulang.
“Karena plastik multilayer itu sulit di daur ulang. Inisiatif penggunaan kemasan daur ulang selama ini baru datang dari masyarakat, bukan dari produsen. Yang perlu dilakukan produsen adalah bagaimana skema dan bisnis ini perlu dilakukan,” jelas Atha.
Dijelaskan Atha, prilaku konsumsi masyarakat dibentuk oleh industri. “Produsen selalu beralasan mereka memproduksi kemasan sachet karena daya beli konsumen adalah sachet,” jelas Atha pada acara Diskusi Media Hari Peduli Sampah Nasional (PSN) 2020 di Jakarta, Rabu (4/3).
Sementara sampah sachet atau plastik multilayer nilai ekonomisnya sangat rendah. Akibatnya, pemulung cenderung mengabaikan sampah jenis ini dan hanya memungut plastik jenis Polyethylene Therepthalate (PET) karena dapat dijual kembali dengan harga tinggi untuk industri daur ulang.
Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong, mengatakan, tidak berharganya sachet dimata pemulung mengingat belum ada pihak yang berniat mendirikan pabrik atau industri daur ulang untuk sampah sachet atau kemasan multilayer.
IPI memprediksi, sampah plastik jenis sachet akan menumpuk pada 2027 jika tak segera diatasi.
Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) Justin Wiganda mengatakan bahwa kebutuhan industri daur ulang terhadap produk multilayer sangat kecil.
"Kita tidak punya data yang pasti, tetapi bisa dibilang angkanya kurang dari satu persen," kata Justin.
Karena itu, kebijakan pelarangan plastik yang saat ini sedang digagas pemerintah sekali pakai seperti kantong kresek yang kebutuhan daur ulang nya cukup besar, sementara kemasan sachet atau multilayer yang kebutuhan daur ulang nya sangat kecil justru tidak dilarang.
Pengamat persampahan Sri Bebassari mengatakan bahwa produsen memiliki tanggung jawab terhadap pengelolaan sampah sachet yang mereka hasilkan.
“Kita seharusnya mengacu pada Pasal 15 Undang-Undang nomor 18 tentang Pengelolaan Sampah. Disitu disebutkan bahwa produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan dari produk yang mereka buat,” jelas Sri.
Sri mencontohkan salah satu produk mie instan diproduksi tiap tahun sebanyak 17 miliar. "Yang harus dipikirkan bersama adalah bagaimana caranya supaya yang17 miliar itu tidak ngalir ke tempat pembuangan Akhir?" katanya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin), yang memiliki wewenang dalam memberi izin produksi dinilai sebagai pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab.
“Seharusnya, pada saat produsen meminta ijin produksi, Kemenperin harus lebih dulu meminta semacam proposal dari industri tentang rencana atau strategi setelah barang mereka dikonsumsi," kata tegas Sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
" Strategi ini harus bisa menjawab solusi dari persoalan potensi sampah yang akan dihasilkan produknya. Jika produsen tidak punya strategi, maka Kemenperin seharusnya tidak memberikan ijin produksi kepada mereka,” tegas Sri.
Sri menegaskan Kemenperin harus menjadi garda paling depan dalam meminimalisir potensi sampah dari kemasan sachet. Jadi seharusnya Kemenperin sejak awal menjaga betul tentang tanggung jawab produsen ini.
"Supaya mereka itu tidak cuma asal jualan tetapi pikirkan juga dong apa yang harus dilakukan dengan kemasan plastik yang mereka produksi," ujarnya.
Pembicara lain Yogi Ikhwan dari Dinas LKH DKI Jakarta, mengatakan bahwa Pemda DKI tidak hanya menggunakan pendekatan pelarangan tetapi juga pengelolaan sampah, seperti yang telah berjalan di beberapa RW di Jakarta. (RO/OL-09)
Kegiatan pengelolaan dan daur ulang sampah ini menggandeng Waste4Change untuk melakukan pengelolaan sampah dari hulu ke hilir.
Jikaa dihitung secara kasar sejak tahun 2018 hingga tahun 2023, kerugian yang disebabkan oleh masalah pencemaran sampah plastik di laut Indonesia diperkirakan mencapai Rp2.000 triliun.
Sampah yang dihasilkan dari kegiatan masyarakat di Indonesia juga bisa masuk ke Samudera Hindia hingga ke Madagaskar.
Warga akan diedukasi modul Plastic, Sustainability & You Education (PSYE) untuk meningkatkan kesadaran tentang penggunaan plastik berkelanjutan dan pengelolaan limbah yang efektif.
Target pemerintah Indonesia dalam menurunkan kebocoran sampah plastik dari aktivitas masyarakat sebesar 70 persen pada 2025.
BRIN terus melakukan penelitian dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dalam mendeteksi jenis sampah plastik. Termasuk, melibatkan akademisi dari berbagai multidisiplin ilmu.
DI tengah tantangan pengelolaan sampah di wilayah pesisir Bekasi, sebuah transformasi nyata tengah berlangsung di Desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan, Bekasi, Jawa Barat.
Pemerintah menyatakan akan membersihkan dan menata bangunan kumuh di sekitar TPA Sarimukti.
Penggunaan komposter memungkinkan masyarakat mengolah sampah organik menjadi kompos, mengurangi emisi metana, dan memperbaiki kualitas tanah secara lokal.
Program Adipura tidak lagi hanya menjadi simbol kota bersih, melainkan indikator strategis tata kelola persampahan modern, adil, dan berkelanjutan.
RDF Rorotan tetap menjadi salah satu strategi utama Pemprov DKI dalam mengatasi persoalan sampah, sembari menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi ke depan.
LEMBAGA Pemantau Penyimpangan Aparatur Daerah (LP2AD) menilai Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan bisa menjadi sebagai standar nasional dalam pengelolaan sampah perkotaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved