Headline
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.
PEMERINTAH daerah yang menolak untuk berpartisipasi dalam program JKN-KIS terancam hukuman pidana. Hal itu diungkapkan oleh Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Usman Sumantri, menanggapi sejumlah Pemda yang memutuskan untuk keluar dari kepesertaan JKN-KIS.
Pasalnya, dengan tidak mengikuti kepesertaan JKN-KIS dan mengalihkan dana APBD untuk jaminan kesehatan lain, artinya Pemda dapat dikategorikan telah melakukan penyelewengan dana APBD.
"Sanksinya bisa pidana melalui penggunaan anggaran yang tidak sesuai. Penegakan sanksi dapat dilakukan melalui BPK sebagai pengawas keuangan negara," kata Sumantri kepada Media Indonesia, Senin (13/1).
Sumantri menegaskan, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah mewajibkan setiap orang masuk dalam jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan. Selanjutnya, berdasarkan UU tersebut, orang miskin dan tidak mampu akan ditanggung oleh negara.
Hal itu tertuang dalam UU SJSN pasal 19 yang berbunyi, 'jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Baca juga: Pusat Harus Cegah Pemda Keluar JKN-KIS
Pernyataan tersebut semakin ditegaskan dengan adanya Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Sumantri melanjutkan, memang tidak ada kewajiban bagi Pemda membayari orang miskin apalagi yang tidak miskin. Orang miskin sudah dibayari oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, sebenarnya Pemda sudah tidak dibebani dengan PBI.
"Pemda hanya bayar sering buat pekerja pemerintah daerah. Memang tidak ada UU SJSN poin tentang pidana, tetapi menggunakan anggaran yang tidak tepat oleh Pemda, itu bermasalah," tegasnya.
Terlebih lagi, berdasarkan UU SDSN, program JKN-KIS sudah semestinya menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan semata, yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip asuransi sosial
"Semestinya tidak ada lagi Jamkesda, dan Pemda diberikan kesempatan sampai 2019 harus semua menjadi satu pengelolaannya melalui BPJS," imbuhnya.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Dewan Pengurus Indonesian Health Economics Association, Hasbullah Thabrany. Dirinya meyakini, Pemda memang tidak tidak wajib menggunakan Dana APBD utk membayari iuran JKN. Namun, jika Pemda ingin menjamin biaya kesehatan penduduknya, haruslah mengikuti program JKN-KIS dari BPJS Kesehatan.
"Jika dia belikan asuransi lain, maka pejabat terkait terkena pasal penyalahgunaan APBD. Bisa jadi dianggap korupsi," ucapnya.
Namun, apabila Pemda tetap menolak untuk ikut program JKN-KIS, Hasbullah menilai Pemda tidak memiliki hak untuk menarik biaya pada keluarga pekerja mandiri yang belum menjadi peserta JKN-KIS.
"Kepesertaan JKN adalah kewajiban perorangan dan pemberi kerja, bukan kewajiban Pemda. Tetapi, Pemda sebagai majikan untuk pegawai daerah, wajib mendaftarkan seluruh pekerja dan anggota rumah tangganya ke BPJS Kesehatan. Tidak ada pilihan lain," tandas Hasbullah.
Seperti diberitakan sebelumnya, pascakenaikan iuran program JKN-BPJS Kesehatan, ada kecenderungan terjadi migrasi atau turun kelas kepesertaan terutama pada kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan pekerja bukan kelas III. Sejalan dengan itu, reaksi muncul dari sejumlah pemerintah daerah yang memutuskan untuk keluar dari kepesertaan JKN-KIS.
Hingga kemarin sejumlah pemerintah daerah yang memutuskan untuk tidak mengikuti (keluar) dari program JKN-KIS yakni kabupaten Bekasi (Jawa Barat), Lahat (Sumatra Selatan) yang memutuskan keluar pada 1 Januari lalu. Teranyar, Kota Mojokerto (Jawa Timur) yang berencana kembali ke program lama, yaitu Jamkesda (total coverage). (OL-4)
BSKDN Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendorong penguatan peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai instrumen utama dalam mewujudkan kemandirian fiskal daerah.
Kementerian Dalam Negeri diharapkan untuk menyederhanakan regulasi dengan menghapuskan pertimbangan teknis (pertek).
Penyakit lingkungan di Jakarta masih sangat kompleks, seperti kenakalan remaja, tawur, narkoba, hingga judi online.
Panduan yang jelas bagi pemda dalam relaksasi anggaran penting diterbitkan revisi atas surat edaran yang telah diterbitkan Kemendagri.
KEPALA BSKDN Kemendagri Yusharto Huntoyungo mendorong pemda meningkatkan kualitas kebijakan publik yang lebih inklusif dan partisipatif dengan aplikasi Liqlid
KETERBATASAN anggaran yang dimiliki dan meningkatnya kebutuhan perbaikan infrastruktur yang rusak, sejumlah pemerintah daerah di Jawa Tengah mulai mengajukan pinjaman ke bank untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pemerintah resmi menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam layanan BPJS Kesehatan mulai Juli 2025. Sebagai gantinya, diberlakukan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Perpres 59/2024 menetapkan bahwa penyesuaian manfaat, tarif, dan iuran BPJS Kesehatan paling lambat diberlakukan pada 1 Juli 2025.
Secara kelembagaan, BPJS Kesehatan meraih empat penghargaan dengan predikat platinum diantaranya Best Overall Digital Transformation of The Year 2025
PENGURUS IDI sekaligus Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah (PDITT), Iqbal Mochtar, menanggapi wacana dihadirkannya program obat gratis dari Presiden Prabowo Subianto.
BPJS Kesehatan menegaskan komitmennya untuk memperkuat strategi pendanaan dan mengembangkan layanan kesehatan jangka panjang
Sepanjang 2014–2024, jumlah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang bekerja sama meningkat 28%, dari yang semula 18.437 menjadi 23.682.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved