Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pemblokiran Media Sosial Dinilai Merugikan dan tidak Lazim

Putri Rosmalia Octaviyani
28/5/2019 19:45
Pemblokiran Media Sosial Dinilai Merugikan dan tidak Lazim
Pengamat politik Universitas Diponegoro, Wijayanto(Ist)

PEMBLOKIRAN media sosial oleh pemerintah dianggap sebagai hal yang tak lazim dilakukan di negara demokrasi, khususnya di era reformasi. Pemblokiran itu dianggap telah merugikan dan membuat era saat ini jadi memiliki kemiripan dengan era Orde Lama dan Orde Baru.

"Pemblokiran media sosial tempat di mana publik berekspresi bukan suatu yang lazim dalam negara demokrasi," ujar pengamat politik Universitas Diponegoro, Wijayanto, dalam diskusi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) berjudul 'Perbandingan dan Praktik Demokrasi Liberal 1955 dan 2019', di Hotel Falatehan, Jakarta, Selasa (28/5).

Wijayanto mengatakan bahwa hal itu memiliki kemiripan dengan ketika dilakukan pelarangan terbit bagi banyak media massa oleh Soeharto. Selain melanggar prinsip demokrasi, hal itu juga dianggap merugikan secara ekonomi.

"Ini mirip apa yang terjadi di beberapa negara seperti China, Bangladesh, Sri Lanka, Iran, dan lain-lain. Di mana level kebebasan mereka lebih rendah dari Indonesia," ujar Wijayanto.

Diungkapkan Wijayanto, Wiranto menyebut itu merupakan upaya untuk mengamankan negeri. Padahal, kerusuhan hanya terjadi di beberaapa titik di Jakarta.


Baca juga: Penerapan Kawasan Tanpa Asap Rokok belum Maksimal


"Seharusnya kalau mau begitu harus lewat proses hukum dan diumumkan oleh presiden atau jaksa agung karena kondisi terdesak. Blokir itu merugikan, banyak sekali yang terhambat untuk transaksi jual beli online di media sosial. Hanya beberapa titik di Jakarta keributannya, se-Indonesia yang harus menanggung kesulitannya," ujar Wijayanto.

Sementara itu Direktur LP3ES, Fajar Nursahid, mengatakan bahwa saat ini memang banyak kemiripan dengan demokrasi yang terjadi pada sekitar tahun 1955, di mana terjadi polarisasi di masyarakat hingga media. Kondisi saat ini diperparah dengan adanya media sosial.

"Dunia maya kita sekarang tidak terkontrol. Jadi sebenarnya masalahnya adalah gaung dari sosmed menyebabkan konsep politik yang sangat runcing," ujar Fajar.

Sementara itu, elite politik juga dianggap tidak bisa mengakomodasi literasi politik dengan baik. Kondisi saat ini tidak ditopang kapasitas politik yang baik di parpol.

"Itu mereka pragmatis tidak punya target khusus, yang penting ada massa. Itu yang disayangkan," ujar Fajar. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya