Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Penegakan Aturan Lemah

Indriyani Astuti [email protected]
01/4/2019 04:00
Penegakan Aturan Lemah
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar(ist)

JUTAAN pekerja sektor formal belum menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Hal itu akan menjadi batu kerikil pencapaian target cakupan kepesertaan semesta (universal health coverage) sebanyak 95% dari total jumlah penduduk di tahun ini.

"Jumlah pekerja penerima upah (PPU) penyelenggara negara dan PPU swasta/BUMN hanya sebesar 20,3 juta pekerja, atau sekitar 38% dari total pekerja yang bekerja di sektor formal. Ini artinya masih banyak pekerja di sektor formal yang belum menjadi peserta JKN-KIS," ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.

Sesuai Pasal 6 ayat (3) Peraturan Presiden No 111 Tahun 2013, pemberi kerja badan usaha swasta dan BUMN harus mendaftarkan pekerjanya pada program JKN-KIS. Pemberi kerja pada BUMN, usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil diberi tenggat paling lambat 1 Januari 2015 dan pemberi kerja pada usaha mikro pada 1 Januari 2016.

Timboel menilai eksekusi aturan tersebut berjalan lambat di lapangan. Padahal, sudah ada perangkat hukum positif yang memungkinkan pemberian sanksi bagi perusahaan yang melanggar dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang.

"PP ini pun tidak dilaksanakan dengan serius oleh direksi BPJS Kesehatan dan instansi pendukungnya seperti pemda," sergahnya.

Selain dua PP tersebut, Timboel menilai Instruksi Presiden No 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Prog-ram Jaminan Kesehatan Nasional juga tidak dijalankan dengan serius. Padahal, inpres itu telah memberi mandat kepada kejaksaan, Kementerian Ketenagakerjaan, pengawas ketenagakerjaan, dan pengawas-pemeriksa BPJS Kesehatan untuk menegakkan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak patuh.

Dari pengaduan yang masuk, sambung Timboel, masih banyak pekerja outsourcing (alih daya) yang belum didaftarkan pada program JKN. Selain itu, ada juga perusahaan yang mendaftarkan pekerja ke Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang dibiayai APBD.

Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf mengamini jumlah kepesertaan program JKN-KIS masih di bawah target 95%. Per 1 Maret 2019, cakupan kepesertaan program JKN-KIS baru menyentuh angka 218.904.591 jiwa atau 82,64% dari total penduduk.

"BPJS Kesehatan terus berupaya menambah kepesertaan dengan meningkatkan kepatuhan badan usaha untuk mendaftarkan karyawannya. Segmen yang potensial untuk digarap ialah peserta mandiri penerima upah. Mereka yang paling mungkin dijangkau sebab datanya sudah ada," ujar Iqbal saat dihubungi.

Selain pekerja penerima upah, Iqbal menuturkan aparat desa juga wajib mendaftarkan diri dan keluarganya untuk masuk dalam program JKN-KIS seperti diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Tunggu audit

Selain kepesertaan, pemerintah daerah juga abai dalam mengalokasikan 10% dana APBD untuk sektor kesehatan, termasuk program JKN. "Daerah cenderung memanfaatkan dana alokasi khusus (DAK) untuk kesehatan dari pemerintah pusat sebagai pendapatan asli daerah (PAD)," tambah Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi.

Menurutnya, minimnya keberpihakan daerah menjadi salah satu alasan membengkaknya pembiayaan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Saat ini, BPJS Kesehatan masih menunggu audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menindaklanjuti masalah tidak seimbangnya pendapatan dan pengeluran BPJS Kesehatan. Diharapkan audit akan selesai April 2019.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih mengingatkan, defisit berkorelasi dengan kualitas pelayanan. "Karena kalau defisit tidak dibayar, itu kemudian rumah sakit gagal bayar ke pihak ketiga seperti distributor obat dan alat kesehatan seperti bahan habis pakai yang diperlukan," tuturnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya