Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Percakapan Spontan Musik Berisik

Fathurrozak
22/9/2024 05:25
Percakapan Spontan Musik Berisik
Penampilan Otomo Yoshihide berduet dengan Chris Pitsiokos(MI/FATHURROZA)

 DI bawah lampu temaram merah, laki-laki berpostur tinggi itu menggesek bow ke sebuah kontrabas modifikasinya sendiri. Sementara itu, kakinya lincah menginjak pedal efek. Tetsuro Hori, atau biasa dikenal sebagai Flagio, pada Selasa (17/9) malam itu tampil di Kios Ojo Keos, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. 

Musikus kontrabas dan komposer asal Jepang itu tampil seorang diri. Komposisi panjangnya yangminimalis menguarkan atmosfer horor. 

Sebelum penampilan yang menggetarkan itu, penonton telah disuguhkan musik elektronik yang lebih santai oleh Kumaru, musikus elektronik asal Tangerang. Komposisinya terasa sebagai paduan antara nuansa trippy dengan lo-fi yang enak didengarkan di kamar.

Baca juga : Industri Musik di Kota Aceh Semakin Berkembang

Dalam sesi Showck Keos malam itu tampil juga Deathlessramz. Musikus noise-elektronik asal Bandung itu menyuguhkan dari suara-suara yang terdengar seperti langgam yang diputar secara repetitif hingga ketukan-ketukan diacak saat menemukan ritme harmoninya.

Ada pula Azfansadra (Adra) Karim, musikus-komposer-pengajar musik jazz yang telah bermain di beragam band dan terlibat dalam proyek dengan berbagai nama besar Tanah Air. Adra yang ‘awam’ dengan musik noise mencoba persinggungannya lewat permainan piano solo dipadukan dengan rekaman suara menggunakan software digital audio workstation (DAW) yang memberikan atmosfer acak pada ketukan-ketukan tuts pianonya.

‘Kebisingan’ malam itu di Lebak Bulus ditutup dengan sempurna oleh duo Otomo Yoshihide dan Chris Pitsiokos. Sebuah permainan musik bising yang atraktif dengan eksplorasi Otomo pada gitar dan gesekan-gesekan piringan hitamnya, berpadu tiupan ‘kering’ saksofon Chris.

Baca juga : Momentum Musik Indie Indonesia berkat Medsos dan Platform Streaming

Seluruh penampilan itu menghadirkan orisinalitas yang berbeda-beda, tetapi menyatu dan memberikan terapi kejut pada penonton. Adra Karim mengungkapkan musik noise atau eksperimental pada dasarnya berada pada payung kontemporer. Setiap pelakunya memang bisa memiliki tujuan berbeda-beda, seperti soal diskursus di belakang musik yang dimainkan sampai ke bentuk dari studi penelitian. “Setiap individu memiliki tujuan yang berbeda-beda sekali,” kata Adra kepada Media Indonesia seusai penampilannya.

Hal serupa dikatakan Deathlessramz Rembo. “Setiap musisi memiliki intensi yang berbeda-beda. Secara instrumen, ada yang memang membeli yang sudah ada atau bahkan bikin sendiri. Biasanya itu tergantung programnya. Misalnya, tujuannya untuk riset,” kata musikus yang sudah lama aktif di skena musik noise dan eksperimental.

“Pada akhirnya, output-nya adalah jadi punya pengalaman terhadap instrumennya. Kalau saya, biasanya adalah selain untuk perform, juga workshop. Jadi, misalnya pas sound check, orang sudah bisa datang, bisa tanya-tanya. Dari situ biasanya banyak muncul si artis-artis baru yang akhirnya mereka tadinya ragu-ragu tentang musik ini, jadi ada tempat untuk bertanya,” terang pria yang juga menggelar acara rutin yang mempertemukan para pemusik noise dan eksperimental, setiap bulan. 

Baca juga : Riri Antoni Jajal Peruntungan di Dunia Musik

 

Pragmatis dan spontan

Intensi yang berbeda itu bahkan bisa didasari karena alasan pragmatis saja. Seperti Flagio yang mengungkapkan kalau modifikasi kontrabasnya yang merupakan double bass elektrik demi kemudahan bepergian. 

Baca juga : Warisan Abadi Ade Paloh

“Ini adalah double bass elektrik. Di Jepang, sebenarnya saya punya yang betulan, tapi kan ukurannya sangat besar dan berat, ya. Jadi saya membawa alat ini untuk kemudahan dibawa di pesawat saja,” kata pria yang kali pertama tur ke Indonesia.

Musik yang kemudian disuguhkan bisa pula spontan menyesuaikan situasi yang ada. “Yang saya lakukan adalah berfokus pada suara. Suara yang tersebar, juga suara yang dikompresi di ruangan saya bermain. Jadi, saya mengontrol suara, ukuran, tekstur, dan kekuatannya. Itu yang membuat soundscape dan menyentuh ke hati penonton,” tambah Flagio yang menjadikan Jakartasebagai kota penutup tur Indonesia itu.

Improvisasi spontan pula yang dilakukan Otomo dan Chris. Otomo mengibaratkan komposisi yang mereka hadirkan seperti percapakan. Maka itu, ada pula ‘kosakata’ baru yang lahir di panggung.

“Kami harus menemukan bahasa yang sama, seperti bahasa Inggris atau mungkin bahasa Jepang. Dia (Chris) tahu sejarah saksofon, kosakata saksofon. Saya tahu beberapa kosakata gitar. Kami bisa memilih di antara itu, tetapi kami juga bisa mulai menemukan kosakata baru di atas panggung. Itulah yang coba kami lakukan,” terang Otomo yang bertemu Chris tujuh tahun lalu saat sang saksofonis tur ke Jepang.

 

Arah baru

Otomo, yang menjadi salah satu pionir di era generasi awal musik avant garde di Jepang, mengatakan arah musik noise di dunia telah berubah, setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun belakang. Negara-negara Asia lainnya seperti Tiongkok, Indonesia, Singapura, dan Vietnam memiliki pergerakan musik noise yang cukup asyik meski belakangan mengenal genre itu ketimbang Jepang.

Chris juga mengaku senang melihat berbagai tempat memunculkan energi baru untuk genre yang lahir di Italia dan kemudian berkembang di Amerika Serikat itu. Ia sangat terkesan dengan perkembangan yang terjadi di Tiongkok, terutama karena situasi politik yang lebih sulit. 

“Pemandangan di sana sangat muda dan sangat menarik. Banyak orang yang tertarik dengan hal itu (musik noise). Dan situasi politik di sana tidaklah mudah. Apa yang menginspirasi saya tentang hal itu adalah bahwa terlepas dari situasi itu, masih banyak hal yang terjadi. Jadi, hal ini menunjukkan kekuatan seni dan kemampuannya untuk terus berkembang, bahkan dalam situasi yang sulit sekalipun,” jelas musikus asal AS yang menetap di Jerman itu.

Di samping itu, Chris juga melihat ada relasi yang cukup kuat antara Barat dan Asia--kecuali Jepang di ranah musik noise. “Pertukarannya (musikus) menjadi lebih kuat. Itu luar biasa. Misalnya dari Indonesia itu ada Senyawa yang juga tur ke Eropa,” tambah Otomo. Selain Senyawa, musikus noise-eksperimental Kuntari (moniker Tesla Manaf) juga bolak-balik tur Eropa hingga Jepang. (M-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya