Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Waspada Kebijakan Dagang Tergesa-gesa

Grace Reinhardinanti Dee Caksono, mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia dan Muhammad Erza Aimar Rizky, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia
22/7/2025 15:54
Waspada Kebijakan Dagang Tergesa-gesa
Grace Reinhardinanti Dee Caksono, mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia dan Muhammad Erza Aimar Rizky, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia(DOK PRIBADI)

KEBERHASILAN diplomasi Indonesia menegosiasikan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) pada Minggu (13/7/2025) dan penurunan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) pada Selasa (15/7/2025) membawa euforia yang terasa seperti kemenangan sesaat. Namun, pekerjaan rumah kebijakan dagang Indonesia masih jauh dari kata selesai.

Terdapat indikasi bahwa pemerintah, yang didukung penuh oleh parlemen, tengah melakukan overkompensasi terhadap ketidakstabilan sistem perdagangan internasional melalui berbagai langkah agresif di sektor ini. Sebagian pengamat berpendapat bahwa berbagai kesepakatan ini mengorbankan pasar Indonesia tanpa imbalan ekonomis dan strategis jangka panjang.

Konsesi yang diberikan dalam proses negosiasi meliputi banyak bidang, mulai dari pangan, energi, pendidikan, hingga kesehatan. Hal ini berimplikasi terhadap pelaku usaha dan konsumen domestik yang terancam shock dari penetrasi produk dan perusahaan asing secara masif. 

Paolo Conconi et al. memperingatkan tentang konsekuensi dari mekanisme fast-track authority oleh lembaga eksekutif dalam artikelnya di jurnal Economic Policy. Fast-track authority adalah situasi ketika Presiden memegang penuh kendali atas kebijakan dagang negara. Penggunaan mekanisme ini secara berlebihan akan menghasilkan berbagai dampak negatif, dari melemahnya posisi tawar dalam negosiasi perdagangan, mengurangi transparansi, dan merugikan firma domestik yang sensitif terhadap impor.

Kesepakatan IEU CEPA

Perampungan negosiasi IEU CEPA disanjungkan sebagai angin segar di tengah kekhawatiran yang mencuat dalam beberapa bulan terakhir terkait ketidakpastian tarif resiprokal yang diberlakukan oleh AS. Beberapa kalangan bahkan mengidentifikasi pola pada tarif AS yang menjadi berkah terselubung bagi Indonesia; disrupsi akibat tarif Trump pada masa kepemimpinannya yang pertama secara tidak langsung mendorong percepatan negosiasi RCEP, dan disrupsi serupa yang kembali menyelinap lewat tarif resiprokal di periode keduanya turut menciptakan urgensi yang mempercepat penandatanganan kerja sama IEU CEPA. 

Dengan kata lain, disrupsi global di masa modern ini telah menyulut demam free trade agreement (FTA) yang menjanjikan perasaan aman melalui pengurangan tarif, potensi perluasan pasar baru, dan diversifikasi tujuan ekspor domestik. FTA menjadi pelarian banyak negara di tengah disrupsi global karena sistem perdagangan multilateral yang selama ini ditopang oleh World Trade Organization (WTO) tidak lagi mampu menjadi payung tunggal yang efisien.

Perjanjian dagang IEU CEPA hanyalah satu dari berbagai perjanjian dagang lain yang sudah atau sedang diperjuangkan Indonesia. Dalam konteks ini, perjanjian dagang dengan Uni Eropa dianggap strategis mengingat posisinya sebagai peringkat kedua mitra dagang dan investasi terbesar Indonesia. 

Ekspor Indonesia ke Uni Eropa diperkirakan meningkat lebih dari 50%, dengan sektor pakaian, minyak nabati, dan makanan sebagai pendorong utama. Sementara itu, ekspor Uni Eropa ke Indonesia juga diproyeksikan naik lebih dari 70%, terutama pada produk kehutanan, susu, dan pakaian. 

Secara ekonomi dan sosial, kesejahteraan masyarakat juga turut merasakan dampaknya, yaitu melalui perluasan akses pasar bagi UMKM, peningkatan investasi dan transfer teknologi dari Eropa, penciptaan lapangan kerja di berbagai sektor, serta peluang pertukaran pendidikan dan budaya yang lebih inklusif. Namun, apakah IEU CEPA ini benar-benar dapat dijadikan sebuah tumpuan harapan di tengah ketidakpastian global yang ada?
Meskipun IEU CEPA dibingkai sebagai peluang strategis dalam menghadapi disrupsi global dan fragmentasi rantai pasok, perjanjian ini juga mencerminkan ketegangan antara kedaulatan nasional dan arsitektur perdagangan global yang semakin dikendalikan oleh kepentingan investor dan korporasi multinasional. Di balik janji penghapusan tarif dan aliran investasi baru dari Eropa, tersimpan sejumlah ketentuan yang berisiko memperkuat ketimpangan struktural.

Skema seperti Investment Court System (ICS) tidak hanya akan membatasi ruang kebijakan nasional, tetapi juga menghalangi upaya perlindungan lingkungan dan hak masyarakat lokal terhadap dampak tambang yang tidak bertanggung jawab. Di sektor kesehatan dan pertanian, pasal kekayaan intelektual membuka ruang perpanjangan paten obat esensial. Pasal ini mendorong Indonesia mengikuti aturan yang justru membatasi hak petani atas benih dan mempercepat komersialisasi biodiversitas. 

Secara implementasi, banyaknya perjanjian perdagangan yang dimimpikan Indonesia pun turut berpotensi menambah kebingungan bagi pelaku usaha yang harus memilih jalur ekspor paling menguntungkan dengan konsiderasi berbagai aturan yang berlaku. Fenomena yang dikenal sebagai spaghetti bowl effect ini menggambarkan realita tumpang tindih aturan, tarif, dan rules of origin (RoO) dari berbagai perjanjian perdagangan yang berbeda. 

Secara teori, Indonesia yang unggul dalam produksi bahan mentah dan Uni Eropa yang memiliki keahlian dalam pengolahan dapat saling melengkapi dalam rantai pasok global. Namun, di luar aspek ekonomi, standar lingkungan dan kebijakan ketat dari Uni Eropa turut menjadi penentu. 

Pengusaha Indonesia mungkin harus menyesuaikan sumber bahan baku atau proses produksi hanya agar bisa memenuhi RoO Uni Eropa, walaupun terpaksa harus beralih dari pemasok regional yang sebenarnya lebih efisien. Alih-alih menciptakan perdagangan baru (trade creation), hal ini justru berpotensi menciptakan trade diversion yang memaksa Indonesia beralih ke jalur dagang yang kurang efisien secara ekonomi demi memenuhi ketentuan FTA tertentu.

Walaupun secara resmi IEU CEPA adalah perjanjian antara Indonesia dan Uni Eropa sebagai satu kesatuan, implementasi nyata dari perdagangan barang, jasa, dan investasi akan tetap berlangsung secara bilateral antara Indonesia dan masing-masing dari 27 negara anggota Uni Eropa. 

Uni Eropa memang bertindak sebagai satu blok perdagangan dengan kebijakan tarif eksternal bersama dan standar regulasi yang telah diharmonisasi. Namun, perbedaan antarnegara anggota tetap nyata, mulai dari regulasi, preferensi pasar, bahasa, hingga prosedur logistik. Kondisi ini membuka celah munculnya potensi efek spaghetti bowl yang perlu diwaspadai.

Lebih jauh lagi, ketimpangan ekonomi juga berpotensi mengalami peningkatan. Segmentasi tenaga kerja yang akan mengalami peningkatan dalam jumlah permintaan dan upah adalah kelompok tenaga kerja terampil, yang diisi oleh kelompok menengah ke atas akan. Sebaliknya, kelompok miskin (20% terbawah) justru tidak merasakan dampaknya secara signifikan. 

Peningkatan PDB yang dicanangkan akan terjadi pada Indonesia juga tidak dirasakan oleh semua daerah di Indonesia. Salah satu simulasi ekonomi terhadap IEU CEPA yang dilakukan oleh CSIS (2021) menunjukkan bahwa hanya 10 provinsi yang PDRB-nya akan naik, sedangkan sisa 24 provinsi lainnya justru akan turun. 

Provinsi yang paling untung adalah Banten, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Sumatra Utara, terutama karena sektor tekstil dan pakaian tumbuh. Di sisi lain, provinsi yang paling dirugikan adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan, terutama karena sektor-sektor kunci di daerah akan merosot.

Optimisme berlebihan

Pemerintah harus berhati-hati agar tidak terperangkap dalam optimisme berlebihan dalam keberhasilan negosiasi perjanjian dagang. Kita belajar dari “China Shock” yang dampaknya baru terungkap secara penuh pada tahun 2013, hampir dua dekade setelah normalisasi hubungan dagang AS-Tiongkok. 

Fenomena ini diungkap oleh David Autor, pakar kebijakan publik dan ekonomi tenaga kerja terkemuka di AS yang melihat bahwa kegagalan dari penyesuaian struktural akibat banjir impor Tiongkok memicu ketidakstabilan sosial dan stagnasi ekonomi berkepanjangan di wilayah-wilayah basis manufaktur AS. 

Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia siap menghadapi “Western Shock”? Dengan liberalisasi pasar domestik besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat perjanjian dengan AS dan Uni Eropa, potensi membanjirnya produk dan layanan asing bisa menimbulkan gejolak serius. 

Fenomena fast-track authority yang dikritik Conconi juga berpotensi memperparah masalah dalam berbagai wacana perjanjian dagang Indonesia lainnya. Ketika negosiasi kebijakan perdagangan diputuskan tanpa partisipasi publik, yang lahir adalah kebijakan yang “buta konteks”  terhadap situasi ekonomi domestik di lapangan. 

IEU CEPA berpotensi menjadi bom waktu jika tidak disertai rencana kontingensi jika terjadi guncangan pasar atau ambruknya sektor rentan (khususnya pangan dan kesehatan). Rencana ini dapat berupa penguatan regulasi untuk melindungi industri strategis domestik, seperti kebijakan anti-dumping yang efektif, dan insentif fiskal bagi produsen lokal.

Selain itu, pemerintah perlu memperkuat daya saing produk ekspor dan kualitas sumber daya manusia agar tetap kompetitif. Bagi para kelompok masyarakat yang paling rentan, pemerintah harus menyiapkan jaring pengaman sosial untuk meminimalisir dampak negatif dari kejutan liberalisasi pasar yang berpotensi terjadi.
Penting bagi pemerintah untuk mengkaji secara mendalam semua potensi risiko, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial dan politik, demi melindungi kepentingan Indonesia dalam jangka panjang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya