Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Negosiasi Tarif AS Molor, Indef: Waspadai Second Round Effect

Insi Nantika Jelita
02/7/2025 18:32
Negosiasi Tarif AS Molor, Indef: Waspadai Second Round Effect
Presiden AS Donald Trump.(Xinhua)

EKONOM senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad meminta Indonesia mewaspadai dampak lanjutan (second round effect) dari kebijakan tarif resiprokal yang diinsiasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Ia memprediksi penyelesaian negosiasi antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait penurunan tarif bea impor tidak akan berlangsung cepat. Menurutnya, proses tersebut berpotensi molor hingga akhir 2025 dan Indonesia diminta mengantisipasi dampak ekonomi di 2026.

Dia menyebut proses negosiasi kedua pihak akan berlangsung panjang hingga tercapai keputusan akhir. Menurutnya, kesepakatan yang akan dicapai bukan berupa win-win solution, melainkan keputusan yang membuat AS merasa tidak dirugikan.

“Negosiasi seperti ini tidak mungkin selesai dalam dua atau tiga bulan. Saya yakin prosesnya baru akan rampung pada kuartal ketiga atau keempat tahun 2025,” ujarnya dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, Rabu (2/6).

Tauhid menambahkan, konsekuensi dari lamanya proses ini adalah terjadinya masa jeda (lag time) bagi masing-masing industri untuk menyesuaikan pola perdagangan dan rantai pasok, termasuk dengan mitra dagang mereka. Dampak terbesar dari perubahan ini diperkirakan baru akan terasa di 2026.

Dia mencontohkan sektor otomotif, di mana produsen-produsen asal Tiongkok yang beroperasi di AS menghadapi tantangan besar akibat tarif tinggi, seperti sulitnya akses bahan baku. Dalam situasi tersebut, Tiongkok diperkirakan akan merespons dengan mengalihkan investasinya ke negara-negara yang menawarkan tarif lebih rendah, seperti Meksiko atau Vietnam. 

Strategi ini memerlukan waktu dan persiapan yang cukup lama. Tauhid menekankan bahwa Indonesia pun akan terdampak dari pergeseran ini.

“Ketika pasar secara geografis semakin jauh, belum tentu produk kita tetap digunakan sebagai bagian dari rantai pasok global. Akan ada periode transisi dan dampak terbesar terjadi pada 2026,” tegasnya.

Dia juga menuturkan akibat tarif impor AS, di tahun depan juga akan menjadi tahun puncak dari berbagai dampak ekonomi makro, termasuk inflasi, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi (GDP) yang kemungkinan masih berada pada level rendah.

"Selain perubahan pola bisnis, ada dampak ekonomi makro. Puncak dampak ekonomi makro itu memang akan terjadi di 2026," ramalnya.

Oleh karena itu, menurut Tauhid, penting bagi Indonesia untuk mengantisipasi dampak lanjutan (second round effect) dengan menyiapkan berbagai skenario kebijakan. 

“2026 akan menjadi tahun krusial. Masing-masing negara akan memasang kuda-kuda dan bersiap menghadapi berbagai kemungkinan,” pungkasnya.

Jangan memaksakan diri

Dihubungi secara terpisah, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai dalam kondisi kebijakan AS yang tidak menentu, Indonesia sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk segera mencapai kesepakatan. Apalagi jika syarat atau ketentuan yang diajukan AS dinilai terlalu memberatkan.

“Lebih baik kita fokus memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain dan memperbaiki iklim usaha di dalam negeri,” tegasnya.

Wijayanto menyampaikan hingga kini, belum ada satu pun negara yang benar-benar mencapai kesepakatan final dengan AS. Inggris yang sempat dikabarkan sudah mencapai kesepakatan, nyatanya baru sampai pada tahap kerangka umum dan masih memerlukan banyak pembahasan teknis yang belum final.

"Negara-negara besar lain seperti Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, Kanada, Meksiko, dan India juga belum mencapai titik akhir dalam negosiasi mereka dengan AS," jelasnya.

Wijayanto mengatakan proses perundingan dagang dan tarif bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Dia kemudian meramalkan Presiden AS Donald Trump kemungkinan besar akan kembali menunda batas waktu negosiasi.

"Kalau bisa selesai dalam dua tahun saja, itu sudah sangat bagus, karena proses ini saling terkait dan melibatkan penyesuaian banyak regulasi di kedua negara," ucapnya. (Ins/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik