Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Fokus

Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.

Gugat EUDR, Indonesia Desak Uni Eropa Akui Sertifikasi Nasional

Insi Nantika Jelita
05/8/2025 02:53
Gugat EUDR, Indonesia Desak Uni Eropa Akui Sertifikasi Nasional
Wakil Menteri Luar Negeri RI (Wamenlu) Arif Havas Oegroseno.(MI/Insi Nantika Jelita)

WAKIL Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arif Havas Oegroseno mengkritisi kebijakan Uni Eropa (UE) yang mewajibkan semua produk tertentu yang masuk ke pasar Uni Eropa bebas dari deforestasi atau dikenal EU Deforestation Regulation (EUDR).

Ia mengaku tidak setuju jika kayu bersertifikasi nasional atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tetap dikenai kewajiban tambahan yakni dilakukan pemeriksaan menyeluruh atau due diligence sesuai standar EUDR.

"Saya selalu menyatakan keberatan pada EU kalau kayu SVLK harus dikenai EUDR," ujarnya dalam acara Sosialisasi & Persiapan Perjanjian Politik IEU-CEPA di Menara Kadin, Jakarta, Senin (4/8).

Menurut Havas, SVLK memiliki sistem yang lebih unggul dibandingkan EUDR, baik dari segi legalitas maupun proses verifikasinya yang melibatkan banyak pemangku kepentingan dan berbasis multilateral. Ia menegaskan, standar SVLK tidak hanya memenuhi ketentuan domestik, tetapi juga dapat dijadikan model keberlanjutan yang bisa diadopsi oleh negara-negara penghasil kayu tropis lainnya. 

"Saya rasa untuk urban market (konsumen perkotaan), kita harus tetap menggunakan SVLK dan menuntut mereka (UE) menggunakan SVLK," ucapnya.

Wamenlu juga mengkritik ketimpangan dalam penerapan EUDR. Di satu sisi, produk-produk pertanian Uni Eropa seperti vegetable oil atau minyak nabati tidak termasuk dalam cakupan EUDR, sementara negara berkembang justru dibebani kewajiban verifikasi tambahan. Bahkan, beberapa negara Eropa seperti Luksemburg dan Austria tengah mengajukan resolusi untuk mengecualikan petani Uni Eropa dari kewajiban EUDR.

"Jadi diskriminasinya makin terlihat," kata Havas.

Ia mencatat hingga saat ini otoritas negara-negara anggota Uni Eropa belum sepenuhnya siap menjalankan EUDR. Banyak pertanyaan teknis belum terjawab, dan belum ada kesiapan sistem di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi EUDR masih jauh dari ideal.

"Sampai sekarang, kalau saya cek dengan teman-teman di Eropa, otoritas negara masing-masing belum siap dengan EUDR. Banyak pertanyaan teknis," ucapnya.

Dalam kesempatan sama, Ketua Komisi Tetap Bidang Luar Negeri Kadin Indonesia Anne Patricia Sutanto menyampaikan harapan besar kepada pemerintah agar dapat memfasilitasi pelaku usaha dalam menghadapi tantangan regulasi EUDR yang berlaku di tahun depan.

"Kami berharap pemerintah bisa bantu kita-kita memfasilitasi (perizinan usaha), misalnya terkait kayu," imbuhnya.

Menurut Anne, Indonesia telah memiliki sistem verifikasi yang maju melalui SLVK. Namun, ia juga menyebut cakupan EUDR tidak terbatas pada sektor kehutanan saja, melainkan juga mencakup produk pertanian lainnya seperti kakao dan komoditas lain, yang saat ini belum tercakup dalam mekanisme SVLK.

Untuk itu, Anne menekankan perlunya pengawalan serius dari pemerintah, terutama dalam bentuk koordinasi lintas kementerian, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia menyebutkan, tanpa koordinasi yang kuat, hambatan teknis di lapangan bisa mengancam kelancaran ekspor Indonesia ke Eropa.

"Kalau tidak ada jembatan yang menghubungkan kebijakan kita dengan aturan EUDR, ekspor kita bisa terganggu hanya karena persoalan administratif atau teknis yang sebenarnya bisa diantisipasi," ungkap Anne.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono menambahkan, Uni Eropa merupakan entitas ekonomi berdaulat (sovereign economy) yang memiliki hak untuk merumuskan kebijakan, program, maupun instrumen yang mereka anggap penting.

Menurutnya, Indonesia tidak dalam posisi untuk melarang Uni Eropa membuat kebijakan seperti EUDR, sebagaimana negara lain juga tidak bisa melarang Indonesia menerapkan kebijakan proteksionisme.

"Kita enggak bisa melarang mereka, itu haknya dia. Negara lain juga enggak bisa melarang kita (dalam membuat kebijakan). Itu namanya sovereignty," jelasnya.

Namun, Djatmiko menekankan, di tengah hak-hak kedaulatan tersebut, ada koridor dan prinsip yang mengatur sistem perdagangan internasional, yakni multilateral trading system. Dalam konteks itu, Indonesia mengingatkan agar kebijakan seperti EUDR tidak boleh menciptakan hambatan perdagangan yang tidak perlu (unnecessary trade barriers). 

Bila terbukti kebijakan itu menciptakan hambatan perdagangan, Indonesia berhak untuk menggugat kebijakan tersebut melalui World Trade Organization (WTO).

"Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang dibuat itu menjadi hambatan. Kalau nanti terbukti (menghambat), kita bisa challenge mereka," imbuhnya.

Djatmiko menambahkan, dalam konteks perundingan Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), Indonesia ingin memastikan ke depan tidak lagi berada dalam situasi yang merugikan seperti saat ini. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia dan Uni Eropa untuk terlebih dahulu menyamakan persepsi terkait konsep keberlanjutan (sustainability) agar tidak berujung pada diskriminasi kebijakan. (Ins/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya