Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Akankah Tren Penutupan BPR oleh OJK Berlanjut di 2025?

M. Wahyudi Indra Cahya, S.E. Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya
06/2/2025 18:33
Akankah Tren Penutupan BPR oleh OJK Berlanjut di 2025?
M. Wahyudi Indra Cahya, S.E. Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya(Dok. Pribadi)

BANK Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan lembaga keuangan perbankan yang menjalankan usaha secara konvensional maupun berbasis prinsip syariah, tetapi tidak menyediakan layanan giro seperti bank umum. Sebagai bank berskala kecil, BPR memiliki peran yang erat dengan sektor UMKM.

Namun, di balik fungsinya yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat, BPR rentan terhadap berbagai risiko seperti ketidakmampuan memenuhi standar permodalan, tingginya rasio kredit bermasalah (NPL), serta permasalahan fraud dan tata kelola yang kurang baik.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa hingga akhir Desember 2024, sebanyak 20 BPR terpaksa dicabut izin usahanya (CIU). Jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, menimbulkan pertanyaan besar mengenai kelangsungan industri ini. Fenomena ini bukan sekadar data statistik, tetapi mencerminkan kelemahan fundamental dalam manajemen dan kesehatan keuangan BPR.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat menyebutkan bahwa BPR wajib menjaga rasio KPMM minimal 12% paling lambat 31 Desember 2019 serta wajib memenuhi modal inti minimum Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat 31 Desember 2024. Hal ini sudah menjadi hantu bagi BPR skala kecil.

Tercatat dalam beberapa tahun terakhir, tingkat kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) BPR terus meningkat, terutama setelah dampak pandemi Covid-19. Banyak nasabah BPR berasal dari segmen UMKM yang rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Ketika bisnis mereka terdampak, kemampuan mereka untuk membayar pinjaman ikut menurun, yang secara langsung memengaruhi kinerja negatif bagi BPR.

Menurut Kepala Eksekutif Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) 7 Januari 2025, mayoritas BPR yang mengalami CIU disebabkan oleh fraud dan penerapan tata kelola yang buruk. Tindak kecurangan seperti penggelapan dana, pembiayaan fiktif, serta kegagalan dalam pengelolaan kredit menjadi penyebab utama kejatuhan banyak BPR.

OJK sebenarnya telah memberikan kesempatan kepada BPR yang bermasalah untuk melakukan perbaikan. Langkah-langkah seperti imbauan kepada pemegang saham untuk menambah modal dan opsi merger atau konsolidasi dalam kurun waktu satu tahun telah ditawarkan. Namun, jika dalam jangka waktu tersebut kondisi BPR tidak membaik, statusnya akan berubah menjadi Bank Dalam Resolusi dan selanjutnya diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Di tengah situasi yang sudah sulit ini, OJK mulai memberlakukan regulasi baru pada 2025, yakni POJK Nomor 01 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Bank Perkreditan Rakyat. Dalam aturan tersebut dibahas kewajiban bank untuk membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang sudah efektif berlaku per 1 Januari 2025. CKPN adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat aset keuangan setelah penurunan nilai kurang dari nilai riil yang tercatat.

Selama ini BPR masih bisa berlindung dalam menghadapi kredit bermasalah, di mana dalam membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) masih bisa mengandalkan nilai agunan debitur untuk mengurangi nilai kerugian kredit tersebut. Berbeda dengan PPAP, pembentukan dan perhitungan CKPN mengabaikan nilai agunan, dan bergantung pada nilai riil atas aset BPR yang bermasalah. Pendek kata, ada sejumlah dana yang disisihkan untuk menutup kerugian akibat penurunan nilai aset.

Melihat data rata-rata NPL BPR Nasional posisi September 2024, NPL BPR masih sangat tinggi yaitu sebesar 11,73%, jauh dari batas maksimum NPL sehat di bawah 5%. Dengan kata lain, akan ada lebih banyak BPR yang diwajibkan membentuk nilai CKPN dan ini secara langsung bisa menggerus laba bank serta mengurangi modal bank.

Dua Kemungkinan Masa Depan BPR di 2025

Tahun 2025 akan menjadi periode yang penuh tantangan bagi industri BPR. Ada dua skenario utama yang mungkin terjadi:

Tren Penutupan Berlanjut Jika BPR tidak melakukan perbaikan signifikan dalam permodalan dan manajemen risikonya, maka tren pencabutan izin usaha kemungkinan akan berlanjut. Regulasi CKPN yang baru dapat menjadi faktor tambahan yang mempercepat penutupan BPR yang tidak mampu memenuhi persyaratan.

Dengan ketatnya regulasi dan meningkatnya persaingan di industri keuangan, BPR yang tidak siap akan tersingkir dari pasar.

BPR yang Beradaptasi Akan Bertahan dan Berkembang Sebaliknya, BPR yang dapat menyesuaikan diri dengan regulasi baru, meningkatkan modal, serta menerapkan strategi manajemen risiko dan tata kelola yang lebih baik, justru berpeluang untuk bertahan dan berkembang.

Transformasi digital dan pengembangan model pembiayaan yang lebih sehat juga menjadi faktor penting bagi BPR dalam memperkuat posisinya di industri.

Ke depan, diperlukan kerja sama erat antara regulator, pelaku industri, dan pemerintah daerah untuk membantu BPR yang masih memiliki potensi bertahan. OJK dapat mendorong konsolidasi dan merger BPR agar memiliki daya saing yang lebih kuat. Jika langkah-langkah ini tidak dilakukan, jumlah BPR yang ditutup OJK kemungkinan akan terus bertambah.

Masa depan BPR kini berada di tangan para pelaku industri itu sendiri. Apakah mereka akan bertahan dan berkembang, atau justru menjadi bagian dari daftar panjang bank yang ditutup? Jawabannya akan terlihat dalam waktu dekat. 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana
Berita Lainnya