Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Prinsip Keberlanjutan Jadi Pegangan Utama

Atalya Puspa
10/6/2021 05:25
Prinsip Keberlanjutan Jadi Pegangan Utama
Ilustrasi Hutan(Dok. 123RF)

KEBERADAAN hutan adat di Indonesia memiliki sejarah panjang yang tidak bisa dilepaskan dengan lingkungan hidup masyarakat di dalamnya. Aspek tradisi dan ketergantungan masyarakat adat yang tinggi dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka tidak bisa dicerabut begitu saja.

Dalam menata hutan adat, bukan hanya harus dikembalikan pada masyarakat adat. Lebih jauh dari itu, hutan adat harus dikelola dengan mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan (sustainable developement).

“Dalam sustainable development, perlu dipertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan,” ujar dosen IPB University dari Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Faroby Faletehan, kemarin.

Menurut Faroby, keberadaan hutan adat tidak boleh dieksploitasi karena dampaknya akan menurunkan derajat hidup masyarakat di sekitarnya. Bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, dan kelangkaan sumber daya yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari segera terjadi.

Begitu juga jika pemanfaatan hutan adat tidak dipertimbangkan aspek sosial. Saat ini sudah banyak kasus mengenai konflik penggunaan lahan, konflik horizontal antara masyarkat, konflik antara masyarakat dan perusahaan atau lainnya.

“Oleh karena itu, pengelolaan hutan adat pun perlu mempertimbangkan keberlanjutannya, bukan hanya ekonomi. Pengelolaan hutan adat harus bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri dalam jangka pendek hingga jangka panjang,” jelas Faroby.

Beberapa kegiatan terkait pengelolaan hutan sudah banyak dilakukan, separti adanya konsep NTFP (non-timber fo rest product), atau hasil hutan nonkayu, yakni masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan selain kayu, seperti madu, tanaman obat, dan lainnya.

Selain itu, ada juga konsep agroforestry, yakni hutan dapat terus dibina, sedangkan masyarakat dapat melakukan kegiatan budi daya di antara tanamantanaman hutan.

Selain itu, ada juga wisata hutan (ekowisata), yang model kegiatannya adalah eksploitasi hutan, tetapi tidak merusak hutan, seperti wisata hutan pinus, hutan mangrove dan lainnya. Dengan adanya wisata hutan ini, Faroby menilai, selain pendapatan diperoleh dari pengkunjung, hutan pun dapat bernilai tambah. Itu artinya menjual kawasan hutan untuk penyerapan karbon.

Menurut Faroby, luasan hutan adat yang baru diakui KLHK masih rendah jika dibandingkan dengan potensi hutan adat yang diklaim masyarakat. Makanya tahap awal yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan adat ialah dengan melakukan inventarisasi terlebih dahulu. “Dengan adanya inventarisasi ini, diharapkan maka konfl ik sosial dapat lebih diminimalisasi,” ucapnya.

Faroby menambahkan pengelolaan sumber daya hutan untuk kepentingan masyarakat perlu dilandasi oleh suatu pemikiran yang mempertimbangkan kebutuhan saat ini, generasi mendatang, kebutuhan biologis dan fisik yang dapat mendukung kebutuhan lintas generasi.

Ia menambahkan pengelolaan hutan adat dapat dilakukan dengan model kemitraan, tetapi dalam kemitraan ini berbagai stakeholder mesti diikutsertakan. “Hal ini untuk meminimalkan dampak negatif dari pengelolaan hutan adat terhadap lingkungan. Dengan adanya kemitraan, pengelolaan hutan adat dapat lebih terawasi sehingga dalam pengelolaannya dapat sustainable,” ujar Faroby lagi.

Adapun beberapa mitra yang perlu dipertimbangkan ialah dari masyarakat adat sendiri, pemerintah, swasta, akademisi dan NGO (LSM). Sebagai gambaran, Faroby menjelaskan, dalam pengelolaan kawasan hutan diperlukan rencana pengelolaan hutan (RPH) yang terpadu, perlu dipertimbangkan beberapa aspek dalam pemanfaatan kawasan hutan, yaitu pemanfaatan untuk blok konservasi, blok pemanfaatan, blok perlindungan.

Pihak stasta dapat menjadi mitra dalam pengelolaan hutan agar dapat memberikan dampak positif bagi pendapatan masyarakat, sedangkan pemerintah dapat memberikan masukan mengenai regulasi yang ada mengenai pemanfaatan hutan adat dan dokumen rencana pengelolaan hutan (RPH).

Pihak akademisi dapat memberikan masukan yang ideal agar dapat tercapainya sustainable development dan pihak NGO melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan adat.

“Jika pengelolaan berupa agroforestry atau NTFP, pihak swasta dapat menjadi penampung dari hasil hutan tersebut. Jika difungsikan tempat wisata, pihak swasta dapat menjadi pengelola kawasan tersebut dengan mengikutsertakan masyarakat adat,” ungkapnya.

Ia menilai, kalau pihak swasta tidak diikutsertakan, bisa saja dapat lebih berbahaya bagi keberlangsungan hutan adat karena dapat saja terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap hutan adat. Dengan adanya pihak swasta, pengelolaan menjadi lebih terorganisasi dan lebih mudah pertanggungjawabannya.

 

 

Konflik

Permasalahan pengelolaan hutan adat hingga saat ini yaitu masih tingginya intensitas konfl ik yang terjadi. Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Riau Riko Elang bahwa sejak dulu hingga sekarang, permasalahannya selalu sama, yakni seputar masalah penetapan wilayah hutan adat yang masih di awang-awang.

Meskupun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat ialah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara. Menurut Riko, seharusnya ada kebijakan yang berpihak kuat pada masyarakat adat. “Namun, nyatanya konflik masih terus terjadi antara masyarakat adat dan yang memiliki kepentingan investasi karena peraturan turunan dari putusan tersebut tak kunjung hadir,” kata Riko kepada Media Indonesia, kemarin.

Dalam catatan Walhi hingga sekarang baru ada 4 wilayah hutan adat di Riau yang memegang surat ketetapan. Itu pun wilayah-wilayah yang memang sejak dulu telah dipercaya oleh masyarakat sekitar agar tidak diganggu-gugat. Padahal, masyarakat di Riau banyak yang tinggal di sekitar area hutan adat suku mereka.

“Dengan adanya masalah penetapan ini, muncullah banyak konfl ik, kriminalisasi karena hutan adat masih diakui sebagai hutan negara. Jadi, kalau ada yang mau investasi di sana, muncullah penggusuran, dan sebagainya,” ungkapnya.

Untuk itu, Riko mendorong pemerintah untuk segera membuat peraturan turunan dari putusan MK tersebut agar ke depan kehidupan masyarakat adat dapat berjalan tentram. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya