Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Percepat Distribusi dengan Sistem Pangan yang Lebih Lokal

Insi Nantika Jelita
07/6/2021 05:25

SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia masih menghadapi banyak masalah di bidang ketahanan pangan, seperti upaya pendistribusian pangan.

Menurut Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah saat ini sistem pangan di Tanah Air masih terpusat di kota besar, terutama di Jakarta. Hal ini, ucap Said, kerap menyebabkan distorsi harga dan stok pangan pada daerah-daerah yang bukan produsen atau jauh dari pusat kota besar.

“Oleh karenanya pengembangan sistem pangan yang lebih lokal dan skala kecil menjadi keniscayaan. Dengan sistem pangan yang lebih kecil, distribusi pangan diharapkan bisa lebih cepat dan sesuai dengan kebutuhan,” jelasnya kepada Media Indonesia, Kamis (3/6).

Khusus untuk beras, Said menegaskan, tidak perlu mengimpor beras jika produksi dalam negeri cukup. Namun, bila stok beras dianggap kurang berdasarkan perhitungan pemerintah, impor bisa dijadikan pilihan terakhir.

“Jika pun terpaksa melakukan impor harusnya tidak dilakukan pada saat panen raya. Karena tidak hanya memengaruhi stok, namun juga memengaruhi situasi petani,” ucapnya.

Isu impor beras pada Maret lalu, diungkapkan Said, telah menyebabkan penurunan harga di tingkat petani hingga Rp1.000 per kg. Lalu, harga gabah terjun bebas di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang berada di Rp4.200 per kg GKP (gabah kering panen), menjadi Rp.3000-Rp3.500 per kg.

“Situasi ini tentu saja sangat merugikan petani. Di saat sulit seperti pandemi ini, mereka menghadapi kenyataan dengan mendapatkan pendapatan yang turun karena isu impor. Importasi pada saat panen raya menjadi sangat tidak beralasan dilakukan dan tentu saja menyakiti petani,” tandasnya.

 

 

Peran pasar tradisional

Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansyuri mengatakan salah satu cara menjaga ketahanan pangan yaitu menyadari pentingnya pasar tradisional dan menjaga stabilitas harga dengan melibatkan pedagang pasar dalam menentukan harga eceran tertinggi (HET).

“Pasar tradisional menjadi satusatunya pusat distribusi pangan di Indonesia. Kita punya 14.450 pasar tradisional di seluruh Indonesia, cakupannya tidak hanya di kota, tapi hingga ke pelosok,” kata Abdullah.

Pasar tradisional memiliki posisi sentral dalam pemenuhan pangan, karena di situ penyerapan produk pangan domestik secara langsung dari petani, dijual atau dibarter. “Pasar tradisional juga menjadi tempat bergantungnya masyarakat kecil. Ini penting untuk segera diselesaikan permasalahannya. Masalah ketahanan pangan menjadi penting,” kata Abdullah.

Alasannya pertama, harga pangan sangat fluktuatif. Salah satunya karena ketergantungan impor tinggi. Bawang putih, tegas dia, merupakan salah satu komoditas yang 90% impor. “Bagaimana cara menyelesaikannya,” kata Abdullah.

Kedua, rantai distribusi terlalu panjang, jadi dari petani ke pengepul, ke pengepul daerah, ke pasar induk, pasar induk ke pasar besar, ke pasar kecil dan ini menjadi panjang. Ketiga, tidak imbangnya supply and demand, kenapa barang banyak, harga turun.

Cabai rawit merah, begitu panen raya harga jatuh, pas mau tanam lagi petani tidak mau tanam karena petani merugi sehingga produk berikutnya harga tinggi.

Selain itu kebijakan mengenai penyediaan bahan pangan menurutnya tidak sejalan dengan keadaan di lapangan. Persoalan terbesar ialah komunikasi antara pemegang kebijakan dengan stakeholder. “Kalau menteri perdagangan mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai fakta di lapangan itu akan celaka,” kata Abdullah.

Beberapa langkah sudah dilakukan pemerintah, namun belum cukup membantu. Pertama, upaya operasi pasar, yang hanya efektif pada saat berlangsung. “Operasi pasar ini seperti pemadam kebakaran. Kalau persoalannya tinggi, baru operasi pasar,” kata Abdullah.

Berikutnya ada pembentukan satgas pangan, ini paling efektif untuk menjaga mafi a tidak berkeliaran di pasar atau rantai distribusi. Ini penting dan cukup efektif. Ada beberapa kasus yang diselesaikan seperti beras dummy, daging sapi juga begitu.

Ketiga, membuka keran impor pada saat produksi dalam negeri menipis, yang juga efektif hanya pada saat berlangsung. Dia katakan penting untuk dipikirkan bagaimana cara agar tidak perlu keran impor lagi, termasuk bawang putih.

Terakhir, soal data pangan. Abdullah melihat data ini selalu tidak sama antara menteri perdagangan, menteri pertanian, dan Ikappi. “Maka kami minta ke pemerintah, data pangan serahkan ke BPS, pemerintah tolong bantu SDM, anggaran, dan datanya diberikan ke BPS,” kata Abdullah.

Dia juga sepakat terkait pemetaan wilayah produksi pangan. Sebagai contoh, Nusa Tenggara Timur (NTT), punya produksi sapi sebanyak 1 juta ekor. Untuk itu harus dicari cara produksi sapi NTT diperluas sehingga NTT bisa menjadi salah satu provinsi yang menyuplai daging sapi di Jakarta dan Bodetabek, karena permintaannya sangat tinggi, bisa 75% dari nasional, termasuk beberapa wilayah lain. “Ini penting untuk digenjot agar ada pemetaan wilayah produksi;” kata Abdullah.

Adapun untuk memangkas rantai distribusi, ini adalah tugas menteri perdagangan. Sebab di lapangan ada sistem ijon, antara petani dengan pengepul, yakni sebelum petani tanam cabainya, dipinjam dulu untuk modal dan seterusnya.

“Ini menjadi penting, melibatkan pedagang dalam kebijakan, termasuk HET, karena sekat makin tinggi, kebijakan yang diberikan kementerian perdagangan itu akhir-akhir ini sedikit ngawur,” kata Abdullah.

 

 

Neraca komoditas

Secara terpisah, peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati memberikan rekomendasi untuk agar Indonesia berdaya tahan pahan.

Menurut Enny, pemerintah perlu membuat neraca komoditas antardaerah yang bisa diproduksi. Dengan begitu, tiap daerah nantinya dapat dimonitor secara periodik dan saling mengisi kebutuhan, layaknya ekspor impor lokal antardaerah.

Selain itu, dibutuhkan pula pusat logistik pangan dan peningkatan peran Perum Bulog sebagai penyangga stok dan stabilisasi harga. Sebab, Bulog tidak melulu hanya mengelola persoalan cadangan beras. Keberadaannya harus mampu hadir ketika petani panen dan mengalami kejatuhan harga.

“Tidak hanya Bulog punya cadangan beras sekitar sekian ton, tapi juga mampu hadir ketika petani panen dan mengalami kejatuhan harga. Demikian juga Bulog harus hadir ketika konsumen mengalami lonjakan harga. Sehingga, cadangan ini memang benar-benar berfungsi. Tidak hanya sebagai penyangga logistik pemerintah, tapi juga sebagai buffer, ini punya makna lebih dari sekadar penyangga stok,” kata Enny.

Contoh lainnya ialah pada fl uktuasi harga daging sapi menjelang Lebaran. Menurut Enny, pemerintah harus serius mengatasi ketergantungan daging sapi impor dan memotivasi peternak untuk meningkatkan produktivitas. Motivasi tersebut mulai dari dukungan fasilitas industri, kemudahan mendapatkan benih, skema pembiakan, akses pendanaan seperti kredit usaha rakyat (KUR) dan lainnya.

Di sini Perum Bulog harus menjalankan peran sebagai penjaga ketersediaan dan stabilisasi harga pangan, menjadi offtaker alias penjamin pembelian hasil ternak sapi lokal. “Bulog tidak punya gudang, apalagi cold storage untuk menyimpan daging jadinya peran dia antara ada dan tak ada,” tutur Enny. (Try/E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya