RI Sepakat Ekspor Listrik ke Singapura, Investasi Lebih dari Rp163 T

Insi Nantika Jelita
13/6/2025 13:29
RI Sepakat Ekspor Listrik ke Singapura, Investasi Lebih dari Rp163 T
Penandatangan MoU Ekspor Listril Indonesia-Singapura di Kementeria ESDM, Jakarta, Jumat (13/6).(Dok. MI)

PEMERINTAH Indonesia sepakat untuk melakukan ekspor listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) ke Singapura, sebagai bagian dari tiga kerja sama investasi hijau antara kedua negara.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menuturkan, kesepakatan ini mencakup tiga proyek utama yang diteken melalui nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dan Singapura, dengan nilai investasi diperkirakan melebihi US$10 miliar atau setara Rp163,13 triliun.

Ekspor listrik yang direncanakan berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dengan target kapasitas mencapai 3,4 gigawatt (GW) hingga 2035. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Indonesia akan membangun infrastruktur energi besar, termasuk fasilitas produksi panel surya sebesar 18,7 gigawatt peak (GWp) dan sistem penyimpanan energi baterai (battery energy storage system/BESS) sebesar 35,7 gigawatt hour (GWh).

"Investasi dari total ini diperkirakan di atas 10 miliar USD dari tiga proyek ini," kata Bahlil dalam acara Penandatangan MoU Indonesia-Singapura di Kementeria ESDM, Jakarta, Jumat (13/6).

Adapun tiga bentuk kerja sama yang disepakati meliputi MoU Zona Industri Berkelanjutan, MoU tentang Interkoneksi dan Perdagangan Listrik Lintas Batas serta Teknologi Energi Terbarukan dan Rendah Karbon, Efisiensi dan Konservasi Energi dan MoU tentang Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Lintas Batas (CCS).

Bahlil menegaskan kerja sama ini harus menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution). Dalam kesepakatan terbaru, Singapura tidak hanya akan menjadi pasar bagi listrik hijau Indonesia, tetapi juga akan berpartisipasi dalam pembangunan industri hijau di Tanah Air.

"Kerja sama dengan Singapura harus win-win solution. Kita kirim listrik ke saudara kita di Singapura. Nanti, pemerintah Singapura bersama-sama membangun kawasan industri bersama," jelasnya.

Lebih lanjut, Menteri ESDM menyoroti pentingnya kesiapan Indonesia dalam mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). Saat ini, Indonesia disebut memiliki potensi besar dalam CCS berkat keberadaan sumur-sumur minyak dan gas yang tidak lagi aktif. Indonesia bahkan digadang-gadang sebagai negara dengan kapasitas CCS terbesar di Asia Pasifik.

"Industri masa depan tidak akan kompetitif tanpa energi terbarukan dan proses yang mendekati prinsip industri hijau. Kita harus terbuka terhadap kerja sama CCS karena kita memiliki kapasitas yang besar untuk itu," tegas Bahlil.

Potensi Ekonomi dan Investasi

Mengutip data Kementerian ESDM, pengembangan infrastruktur panel surya dan energi terbarukan ini membuka potensi investasi tambahan senilai US$30-50 miliar atau sekitar Rp489,39 triliun hingga Rp815,65 triliun. Selain itu, dibutuhkan sekitar US$2,7 miliar untuk mendukung manufaktur panel surya dan sistem penyimpanan energi.

Dari sisi ekonomi, proyek ini diperkirakan akan menghasilkan devisa sebesar US$4–6 miliar per tahun, serta kontribusi penerimaan negara melalui pajak dan pos lainnya senilai US$210–418 juta per tahun.

Tingkatkan Pendapatan Devisa

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Kedua Bidang Perdagangan dan Industri Singapura Tan See Leng menilai kerja sama ini merupakan langkah konkret dalam membangun kemitraan jangka panjang.

Menurutnya, proyek ekspor listrik dan pengembangan CCS lintas batas ini tidak hanya berpotensi menarik investasi modal besar, tetapi juga meningkatkan pendapatan devisa, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat jaringan energi kawasan.

"Ini merupakan langkah konkret untuk memanfaatkan kerja sama jangka panjang. Dalam perbidangan listrik lintas batas, proyek-proyek ini memiliki potensi untuk menarik investasi kapital yang signifikan," harapnya.

Tan juga menekankan pentingnya proyek CCS sebagai solusi untuk menurunkan emisi industri yang sulit dikurangi, baik di Singapura maupun Indonesia. Asia Tenggara sendiri diperkirakan memiliki potensi untuk menyimpan hingga 133 gigaton karbon dioksida (CO2), dan proyek Singapura menyasar penyimpanan 2 juta ton CO2 per tahun.

Sebagai tindak lanjut dari MoU tentang Zona Industri Berkelanjutan, kedua negara sepakat membentuk satuan tugas (task force) bersama untuk mengkaji dan mengembangkan kawasan industri hijau di wilayah BBK.

"Kita membangun task force bersama untuk mempelajari pengembangan pembangunan industri berkelanjutan ini," pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya