KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi meluncurkan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik. Nilai perdagangan karbon yang ditentukan berdasarkan harga pasar dunia dengan kisaran US$2-18 atau dari Rp30-273 ribu (kurs Rp15.168) per ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Acuan pelaksanaan perdagangan karbon berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.
"Harganya dari mekanisme pasar sekitar US$2-18," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM Jisman P. Hutajulu di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2).
Baca juga: Bakal Dibatasi, ESDM Minta Orang Mampu Tak Lagi Beli Pertalite dan Solar
Pada fase pertama perdagangan karbon dilaksanakan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan ketenagalistrikan PT PLN (Persero).
ESDM menetapkan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) kepada 99 unit PLTU batu bara dari 42 perusahaan pembangkit yang menjadi peserta perdagangan karbon dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW). Dari 99 unit PLTU tersebut, 55 unit milik PLN grup dan 44 unit dari perusahaan Independent Power Producer (IPP) atau pengusaha listrik swasta.
Jisman menuturkan perdagangan karbon pertama kali ini dilaksanakan pada unit pembangkit PLTU batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Para pelaku usaha pembangkit akan melakukan carbon offset atau skema penukaran emisi untuk mengurangi emisi di satu PLTU.
"Kalau sekarang kita tentukan dari harga pasar. Ada pembangkit yang defisit emisinya dan ada pembangkit yang surplus dari batas PTBAE-PU. Jadi defisit ini membeli dari pembangkit yang surplus," jelas Jisman.
Baca juga: Pengguna Masih Minim, ESDM Genjot Program PLTS Atap
Dari kajian ESDM, total emisi yang diproduksi dari di 99 PLTU mencapai 20 juta ton CO2e, yang terbagi atas 10,2 juta ton CO2e yang surplus emisi dan 9,7 juta lebih ton CO2e yang defisit. Sehingga, ada potensi 500 ribu ton CO2e yang diperdagangkan karbon dalam sub sektor ketenagalistrikan fase pertama ini.
Untuk fase pertama perdagangan karbon dilakukan pada 2023-2024. Untuk fase kedua dan ketiga akan dilakukan dari pembangkit PLTU batu bara yang tidak terhubung dari PLN. Ini dimulai dari 2025-2027 untuk fase kedua dan 2027-2030 untuk fase ketiga.
Jisman menerangkan peserta yang ikut dalam perdagangan karbon harus melakukan pelaporan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui aplikasi APPLE Gatrik, yang merupakan perangkat berbasis web untuk penghitungan dan pelaporan emisi GRK. (OL-17)