Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
KAMAR Dagang dan Industri Indonesia, atau Kadin menyebut masih ada ketidakadilan terhadap perdagangan karbon. Negara seperti Amerika Serikat (AS) dituding masih menguasai perdagangan tersebut.
Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani yang mengikuti forum World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, menuturkan, ketidakadilan perdagangan karbon akan merugikan kepentingan negara berkembang.
"Metode konversi karbon yang bisa diperdagangkan di bursa komoditi saat ini dimonopoli oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa," ujarnya kepada wartawan, Minggu (29/5).
Untuk sisi mekanisme perdagangan karbon yang dikuasai negara maju juga dikhawatirkan akan tidak seimbang dan menyulitkan negara berkembang karena masih ada gap yang besar dari sisi harga.
Dari keterangan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut, harga karbon negara maju sebesar US$100, sedangkan di negara berkembang hanya US$10.
"Tentu ada gap yang sangat besar antara negara maju dan negara berkembang, khususnya dalam tata cara perdagangan, pembentukan harga di pasar, pengakuan kredit karbon, dan sebagainya," jelas Shinta.
Oleh karena itu, untuk menyiasati hal tersebut pemerintah Indonesia perlu banyak melakukan best practices terkait praktik-praktik perdagangan karbon di pasar yang lebih established atau mumpuni.
Baca juga : Wapres Harap Petani Mau Kembangkan Bibit Tanaman Hias
Serta, mendorong framework kerja sama yang mendukung kerangka Mutual Recognition Arrangement (MRA) terkait konversi karbon.
"Serta ada edukasi kepatuhan kepada pemilik proyek-proyek yang menghasilkan kredit karbon dan lainnya," tutur Chairman The Business 20 (B20) Indonesia ini
B20 Indonesia saat ini, lanjut Shinta, menyiapkan program warisan yang dinamakan Carbon Trade Cenrer of Excelence yang diharapkan dapat bekerja sebagai platform bagi negara-negara di dunia untuk saling mendukung kesiapan perdagangan karbon.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menuding investasi pasar karbon global belum adil diterapkan. Ini disampaikan saat menghadiri sesi panel diskusi World Economic Forum (WEF) Annual Meeting 2022 bertajuk "Unlocking Carbon Markets" di Davos, Swiss, Senin (23/5).
Ia berujar harga jual beli kredit karbon (carbon credit) yang umumnya berasal dari proyek-proyek hijau yang bersumber dari negara maju diklaim jauh lebih mahal dibandingkan dari negara berkembang.
"Negara berkembang belum punya cukup kapital untuk melakukan investasi hal ini. Kami ingin melahirkan produk yang hijau, tetapi kita juga ingin suatu kolaborasi yang saling menguntungkan dalam rangka investasi,” ungkap Bahlil dalam keterangan resmi, Selasa (24/5). (OL-7)
Ketidakpastian aturan, integritas pasar, dan infrasruktur menjadi hambatan Indonesia menjadi hub pasar karbon Asia Tenggara.
MENTERI Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bakal melakukan pertemuan dengan Menteri Keuangan untuk membahas perihal pajak karbon.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan pasar karbon dunia berpotensi menghasilkan pendapatan Rp8.000 triliun bagi Indonesia.
PEMERINTAH diminta mempertimbangkan kembali penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di 2025. Ruang untuk menunda kebijakan itu dinilai terbuka lebar dan mudah
Pengenalan pajak karbon oleh Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, untuk menekan emisi CO2 dihadapkan pada penolakan.
OJK mengungkapkan Bursa Karbon Indonesia sudah lebih baik dibandingkan bursa karbon di negara-negara lain. Bahkan, di tingkat ASEAN, Indonesia menjadi yang terbesar.
Menperin menyampaikan industri manufaktur nasional kini ada pada titik krusial dalam menghadapi tuntutan global, terutama terkait transisi menuju energi bersih dan pengurangan emisi.
PFI akan membentuk kelompok-kelompok kerja terkait pengurangan emisi karbon yang terdiri dari perwakilan anggota PFI dan didampingi oleh para ahli yang berasal dari ACEXI.
Periset Pusat Riset Hortikultura BRIN Fahminuddin Agus menyatakan lahan gambut merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar, terutama jika tidak dikelola dengan baik.
KESADARAN terhadap konsep bangunan hijau sudah seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab bersama dalam menjaga bumi.
PT Pertamina Gas (Pertagas) sebagai bagian dari Subholding Gas Pertamina berkomitmen mendukung pengurangan emisi melalui program Penghijauan Bumi.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong agenda transisi industri menuju industri hijau yang keberlanjutan dan rendah emisi karbon di Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved