Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

DPP KNPI: Kinerja Pembantu Jokowi Bidang Perekonomian Perlu Perbaikan

Selamat Saragih
28/5/2022 17:50
DPP KNPI: Kinerja Pembantu Jokowi Bidang Perekonomian Perlu Perbaikan
Ketua Umum terpilih DPP KNPI periode 2022-2025, Haris Pertama.(dok.KNPI)

KINERJA pemerintahan bidang perekonomian mendapat sorotan publik karena kinerja yang buruk. Karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengambil langkah berani dengan perombakan kabinet.  

Ada beberapa catatan evaluasi pemerintahan bidang perekonomian, ungkap Haris Pertama, Ketua Umum terpilih DPP KNPI periode 2022-2025, di Jakarta, Sabtu (28/5)

“Pertama, terdapat ketimpangan yang terus meningkat selama kurun waktu 2019 hingga saat ini sudah sangat membahayakan karena jumlah orang kaya yang terus meningkat. Sementara orang yang menjadi pengangguran baru meningkat,” kritik Haris.

Ketimpangan tersebut tidak hanya karena pandemi Covid-19, jelas dia, melainkan juga kebijakan-kebijakan yang dibuat menteri bidang perekonomian memburuk seperti kebijakan perlindungan sosial yang terlambat diberikan selama pandemi juga sangat mempengaruhi.

"Tercatat, jumlah orang kaya baru naik 65 ribu, tingkat ini rasio khususnya di perkotaan mencapai 0,4", jelas Haris.

Dia menambahkan, ketimpangan ini adalah suatu hal yang harus diwaspadai. Sebab, ketimpangan yang terlalu melebar akan sangat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik dalam waktu yang cukup panjang.

"Kedua, mengenai pertumbuhan ekonomi semasa pandemi tidak solid. Sebab pada Kuartal II 2021 pemerintah terlalu terburu-buru melakukan pelonggaran ekonomi, sehingga pada kuartal II ekonominya tumbuh 7,07%, kemudian setelah itu muncul gelombang ke 2 penularan Covid-19 yang mengakibatkan penularan Covid-19 kembali meningkat", ujar Haris.

Haris yang terpilih untuk periode kedua, hasil Kongres Pemuda/KNPI ke XVI di Ternate baru-baru ini, membeberkan kelemahan mendasar dari kinerja buruk pemerintahan bidang perekonomian, terutama mengenai koordinasi kebijakan ekonomi tidak jelas.

"Seharusnya peran-peran yang diisi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian malah dikerjakan oleh kementerian lainnya. Sementara Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) malah dialihtangankan oleh Kemenko Perekonomian bukan di bidang yang terkait dengan kesehatan, sehingga terdapat koordinasi yang tidak jelas", lanjut Haris.

Ketiga, kemenko bidang perekonomian sangat lemah dalam mengelola dana penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

"Jika kita merujuk pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (KPCPEN) terdapat borok yang luar biasa dengan temuan BPK RI selisih dana KC mencapai Rp146,69 triliun, ini semua uang rakyat harus dipertanggungjawabkan", kritiknya.

Dia menjelaskan, persoalan temuan BPK ini berakar dari adanya sebanyak 887 kelemahan pada sistem pengendalian internal, 715 ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dan total 1.241 permasalahan ekonomi yang mencakup efisiensi dan efektivitas.

"Dalam pemeriksaan PC-PEN tersebut, BPK mengidentifikasi sejumlah masalah terkait dan  realisasinya, kemudian pertanggungjawaban, pelaporan PC-PEN, dan manajemen program kegiatan pandemi. Nah ini menteri-nya kerja atau tidur? Atau hanya sibuk nyapres 2024?" kata Haris.

Keempat, masalah kebijakan kartu Pra Kerja yang tidak tepat sasaran dan rawan penyimpangan.

"Implementasi kebijakan kartu pra-kerja banyak masalah, dari sistem pendaftaran yang tidak tepat sasaran, berikutnya fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran sebesar Rp30,8 miliar tidak efisien. Harusnya cukup dengan data NIK KTP, kan NIK sudah terintegrasi dengan data kependudukan lainnya", ujar Haris.

Sorotan aspek lainnya adalah pelaksanaan metode program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang baik.

"Ada dua faktor yang menjadi alasan program pelatihan berpotensi fiktif. Pertama, lembaga pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meski peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih.

Kedua, peserta sudah mendapatkan insentif meski belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta," ujar Haris.

Kelima, persoalan kelangkaan minyak goreng dan kebijakan larangan ekspor CPO yang berimbas pada keresahan masyarakat, petani sawit maupun sektor swasta akibat lemahnya kebijakan yang dikeluarkan jajaran kementerian bidang perekonomian menambah carut marut perekonomian dan politik nasional.

"Larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit," kata Haris.

Ketika sudah ada larangan ekspor kemudian keuntungan perusahaan kelapa sawit jauh berkurang, maka berdampak ke petani. Sebab, pembelian TBS ditekan untuk mengatasi masalah profit perusahaan.

"Menteri jajaran bidang perekonomian khususnya Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan sejak awal tidak memiliki pemahaman komprehensif dari rantai pasok (supply chain) sawit. Hal ini terlihat dari dampak kebijakan larangan eskpor CPO kepada petani sawit yang tidak diantisipasi. Situasi ini akan membuat kolaps industri sawit dan yang paling menjerit pasti petani”, jelas Haris.

Berdasarkan kelima alasan itu, Presiden sepatutnya memberikan kartu merah terhadap jajaran menteri bidang perekonomian, terutama Menko nya, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustriannya. Jika tidak, ini akan memperburuk kondisi ekonomi nasional, terlebih sudah menjelang tahun politik 2024. (OL-13)

Baca Juga: Badan Pangan Nasional Dorong Penguatan Harga Gula Di Tingkat Petani Maupun Konsumen



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya