PENAIKAN cukai produk rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lain (HPTL) saat ini masih menjadi perdebatan di kalangan pelaku industri. Selain memengaruhi peningkatan harga produk, itu juga berkaitan dengan perbedaan rasio cukai antarproduk rokok elektrik yang masih timpang dan dinilai signifikan.
Perbedaan rasio cukai tersebut terlihat jelas. Cukai vape sistem tertutup (closed system) lebih tinggi 13 kali lipat dari sistem terbuka (open system), meski sama-sama menggunakan likuid yang mengandung nikotin. Vape sistem terbuka dengan sistem tertutup memiliki perbedaan pada distribusi dan pengisian likuid. Pada vape sistem terbuka, likuid diisi ulang secara manual oleh pengguna. Pada vape sistem tertutup, pengguna tidak perlu mengisi likuid secara manual karena cairan sudah terpasang bersama cangkangnya. Perawatan vape sistem tertutup lebih simpel dan dinilai lebih aman, mengingat pengguna tidak bisa sembarang mengisi likuidnya.
"Kalau kita hitung dengan mililiter, cukai open system memang lebih murah dari closed system. Ini bisa dilihat di peraturan keuangan terbaru, cukai untuk open systemRp445 per mililiter. Cukai untuk closed system Rp6.030 per mililiter," papar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Penghantar Nikotin Indonesia (Appnindo) Roy Lefran dalam keterangan tertulis, Senin (23/5).
Roy menjelaskan lebih lanjut bahwa bagi organisasi dan anggotanya fokusnya bukan melihat sistem yang lebih menguntungkan dan merugikan atau yang lebih mahal dan murah dari perbedaan pengenaan cukai dari sistem tertutup atau terbuka. Yang penting baginya ada perhatian dari pemerintah dalam bentuk peraturan yang dapat melindungi keberadaan industri rokok elektrik dan HPTL. "Dengan ada aturan, kami punya kepastian dalam berusaha. Ini sudah cukup untuk kami bisa berkembang. Dulu sebelum diatur toko-toko dirazia di mana-mana, karena regulasinya belum jelas," tambah Roy.
Pihaknya masih memiliki waktu untuk berdialog dengan pemerintah. Dalam dialog nanti, Appnindo akan meminta kepada pemerintah agar ada penyesuaian tarif cukai yang lebih adil serta lebih murah bagi rokok elektrik dan HPTL. "Contoh, tahun lalu untuk closed system cukainya lebih tinggi sekitar Rp8.000 sekian per mililiter. Namun dengan dialog intensif dan ekstensif serta edukasi yang memadai, pemerintah akhirnya paham bahwa perlu ada penyesuaian cukai. Tahun ini cukai close system turun dari sekitar Rp8.000 menjadi Rp6.000 sekian. Saya rasa besaran cukai ke depan itu akan ada dinamika yang bisa dibicarakan," tegasnya.
Roy Lefran mengakui perbedaan dalam penerapan cukai pada rokok elektrik dan HPTL terbuka dan tertutup berdampak negatif. Selain itu, keuputusan pemerintah dalam mengenakan tarif juga masih berdasarkan perkiraan bukan hasil kajian yang ilmiah. "Memang cukai yang diberikan pemerintah saat ini masih berdasarkan katanya, seperti katanya bahaya, katanya tidak mana, dan katanya chemical. Jadi, belum berdasarkan saintifik. Harapan kami pada pemerintah bahwa semua regulasi harus berdasarkan saintifik bukan based on katanya atau ketakutan. Harapan kami, semua regulasi harus berdasarkan saintifik. Setiap produk yang memberikan dampak lebih ringan atau meringankan, itu harus lebih murah," paparnya.
Ia lalu memberikan contoh di negara-negara maju, mobil listrik itu tidak ada pajak dibandingkan mobil bensin. Ini karena emisi mobil bensin lebih tinggi sementara pada mobil listrik tidak ada. Dengan penghapusan pajak, ini memberikan insentif bagi para produsen untuk berlomba-lomba menciptakan mobil elektrik. "Namun pemerintah belum melihat rokok elektrik sebagai upaya bagi perokok dewasa yang ingin berhenti merokok atau mengurangi dampak risikonya. Harapan kami semoga Indonesia bisa meniru kebijakan yang ada di negara luar. Misalnya di UK atau Eropa lain. Mereka sangat mendukung rokok elektrik karena secara saintifik terbukti memberikan dampak yang jauh lebih ringan," papar Roy.
Saat ini jumlah perokok elektronik atau HPTL sekitar 2,2 juta. Dibandingkan konsumen rokok konvesional atau nonelektrrik, jumlah perokok elektrik masih sangat kecil. Namun demikian Roy mengaku belum dapat memastikan pengguna rokok elektrik dengan sistem tertutup maupun sistem terbuka. Hal ini karena setiap produk punya segmen yang berbeda. "Orang yang suka hobi nongkrong mungkin dia cenderung pakai yang sistem terbuka. Buat yang ingin simpel, tak ingin ribet, bisa sekali pakai buang dan cepat, uapnya sedikit, dan tidak menganggu orang, cenderung pakai yang closed system," tuturnya.
Roy juga mengakui belum tahu produsen rokok elektrik lebih memilih sistem tertutup atau terbuka, karena tergantung mereka. "Hitungan cukainya melekat dengan bisnis yang kita jalankan. Kalau kita menjalankan yang closed system dikenakan cukai closed system. Begitu pun dengan yang open system," tambahnya.
Baca juga: Moody's Pangkas Peringkat Utang Ukraina, Prospek Negatif
Appnindo punya tiga program dalam rangka memajukan industri rokok elektrik sekaligus agar pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas perpajakan atau cukai bagi pelaku industri rokok elektrik. "Pertama, stop under age. Kami sangat melarang penjualan untuk di bawah umur. Ini karena tidak boleh menciptakan perokok baru. Produk ini diciptakan untuk membantu perokok dewasa supaya berhenti atau mengurangi risiko," tukas Roy.
Kedua, edukasi supaya orang tahu bahwa perokok dewasa sekarang punya kesempatan untuk mencoba produk yang rendah risiko. "Seperti penikmat kopi. Orang minum kopi supaya tidak diabetes, bisa minum kopi tanpa gula. Pada perokok dewasa tidak bisa seperti itu. Dengan kehadiran produk baru ini dia bisa memilih rokok tanpa tar. Ketiga, kami akan selalu menjadi mitra pemerintah dalam menyusun regulasi. Harapan kami dengan tiga hal tersebut, pemerintah bisa terus menerus menciptakan regulasi berdasarkan asas efektivitas," tandas Roy Lefran. (OL-14)