Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
PERKEBUNAN kelapa sawit di Indonesia, masih didominasi oleh perkebunan rakyat baik itu swasta maupun kemitraan dengan luasan yang mencapai 6,72 hektare atau sekitar 41 persen. Bahkan pada 2030 diproyeksikan luasan perkebunan rakyat ini mencapai 60 persen.
Sayangnya kata Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper Yogyakarta, Dr.Ir. Purwadi, M.S., sebagian besar pekebun swadaya beroperasi secara mandiri, seringkali tanpa dukungan teknis dari penyuluh ataupun pendamping. "Akibatnya, pekebun swadaya tidak hanya menjadi produsen kelapa sawit yang paling tidak produktif di Indonesia, tetapi juga cenderung beroperasi tanpa mengikuti prinsip Good Agriculture Practices (GAP)," kata Purwadi, Selasa (12/4).
Menurut dia, ketiadaan dukungan teknis juga merupakan hambatan utama bagi pekebun swadaya untuk memenuhi standar keberlanjutan usahatani kelapa sawit.
Di sisi lain, ujarnya, pemerintah telah berkomitmen mewujudkan pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan melalui diterbitkannya Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Peraturan ini katanya menekankan kewajiban semua pelaku usaha budidaya kelapa sawit untuk memperoleh sertifikasi ISPO.
Khusus pelaku usaha pekebun swadaya, pemberlakuannya disertai dengan tenggang waktu lima tahun hingga 2025. Setelah tahun 2025, kewajiban untuk pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO tidak dapat lagi dihindari oleh para pekebun sawit swadaya.
Saat ini, tahun 2022, tenggat waktu yang diberikan hanya menyisakan 3 tahun. Sementara itu jumlah kebun swadaya yang telah tersertifikasi berdasarkan data Partnership for Indonesia's Sustainable Agriculture (PISAgro) baru mencapai 11 KUD/Kebun Plasma, 1 BUMDES dan 6 Koperasi/Asosiasi Kebun yang penguasaannya setara dengan 12,8 ribu hektare atau 0,19% dari total luas 6,72 juta hektar kebun kelapa sawit swadaya. Dalam mekanisme sertifikasi ISPO pekebun swadaya diwajibkan memenuhi 5 prinsip dan 30 indikator.
"Implementasi ISPO tidak mudah karena tingkat kesiapan dari kelompok pekebun untuk melakukan sertifikasi masih sangat rendah," tegasnya.
Mantan Rektor INSTIPER Yogyakarta itu menegaskan masih banyak hambatan yang harus diselesaikan di tingkat pekebun untuk mewujudkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
Alih-alih memperbanyak perkebunan yang bersertifikasi ISPO, penerapan ISPO secara wajib tanpa diikuti pembenahan dan pendampingan justru akan berpotensi mengeksklusi (mendiskriminasi) pekebun swadaya karena mereka masih belum siap dan banyak menghadapi kendala pemenuhan aspek penilaian.
Metode pendampingan konvensional kepada pekebun swadaya dalam rangka memenuhi prinsip keberlanjutan tidak dapat lagi diandalkan karena diantaranya keterbatasan jumlah penyuluh, distribusi pekebun yang terpisah - pisah, serta keterbatasan sumberdaya menyebabkan transfer pengetahuan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara optimal.
Adanya pandemi Covid-19 semakin menurunkan reliabilitas atau keandalan metode pendampingan konvensional dalam menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
Di era digital saat ini, jangkauan telekomunikasi sudah cukup luas dan hampir menjangkau sebagian besar lokasi perkebunan kelapa sawit rakyat.
Terbuka peluang mekanisme pendampingan baru menggunakan platform digital yang memiliki efisiensi dan keterjangkauan yang lebih luas dibanding pendampingan konvensional.
Platform Sawitkita
Dalam upaya eksplorasi metode penyuluhan tersebut, serta untuk mempercepat pemenuhan prinsip keberlanjutan usahatani kelapa sawit sebagaimana prinsip dan kriteria ISPO maka Fakultas Pertanian INSTIPER Yogyakarta bekerja sama dengan Yayasan Kehati melalui program Strengthening Palm Oil Sustainability in Indonesia (SPOS) telah mengembangkan platform penyuluhan digital bagi petani kelapa sawit di Indonesia bernama Sawitkita.
SawitKita adalah sebuah platform terintegrasi yang terdiri dari 3 pilar utama. Pertama, SawitKita menyediakan system pakar yang dapat mendampingi pekebun dalam mengambil keputusan operasional kebun. System pakar yang tersedia saat ini meliputi system pakar persiapan lahan (LahanKita), system pakar pembibitan (BibitKita), system pakar pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPTKita), system pakar pemupukan (FertiKita), system pakar administrasi keuangan (DanaKita), dan system pakar pengelolaan panen (PanenKita).
Pilar kedua dari SawitKita adalah Learning Management System (LMS) yaitu SawitKita Learning. SawitKita Learning terdiri dari 21 kursus budidaya sesuai kebutuhan penerapan GAP dan BMP di perkebunan kelapa sawit. Pilar ketiga adalah fitur diskusi HelloPlanters. Pada fitur ini pengguna dapat berinteraksi langsung dengan pakar untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi terkait budidaya kelapa sawit.
Hingga saat ini, katanya Platform SawitKita telah diunduh dan digunakan oleh lebih dari 1.500 user. Mereka terdiri dari pekebun kelapa sawit, pengurus kelompok tani, masyarakat umum, hingga pelajar dan akademisi. Pengguna berasal dari 20 provinsi di Indonesia, terutama provinsi yang menjadi sentra budidaya kelapa sawit seperti Riau, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. (OL-13)
Di tengah permintaan pasar yang terus meningkat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, pertumbuhan produksi kelapa sawit dalam lima tahun terakhir justru stagnan.
Kontribusi industri kelapa sawit sebagai penyumbang devisa terbesar negara kini menghadapi ancaman baru yaitu regulasi yang saling tumpang tindih dan ketidakpastian hukum.
DALAM beberapa pemberitaan, pemerintah menyatakan bahwa produksi minyak kelapa sawit nasional ditargetkan mencapai 100 juta ton pada tahun Indonesia emas 2045.
Pasar properti di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan menunjukkan tren pertumbuhan positif. Faktor utama yang mendorong perkembangan ini adalah stabilnya harga komoditas lokal.
Pemerintah terus memperkuat komitmennya terhadap pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan melalui berbagai langkah strategis, salah satunya dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2025.
Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) secara resmi mengumumkan transisi kepemimpinan eksekutifnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved