Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

LPEM UI Minta Pemerintah Perbaiki Tata Niaga Minyak Goreng

 Fetry Wuryasti
01/3/2022 12:20
LPEM UI Minta Pemerintah Perbaiki Tata Niaga Minyak Goreng
Warga antri untuk membeli minyak goren tanpa kemasan yang di jual murag di Pasar Kramatg Jati, Jakarta, Kamis (3/2/2022).(MI/Moh irfan)

DALAM beberapa minggu terakhir terjadi kelangkaan minyak goreng di tingkat pengecer dan konsumen. Kelangkaan ini adalah situasi yang ironis mengingat posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia.

Selain itu situasi ini juga ironis mengingat pemerintah Indonesia telah banyak mendukung usaha sawit nasional seperti melalui bantuan advokasi atas hambatan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa, program mandatori biodiesel 30% (B30), yang selain bertujuan mengembangkan energi ramah lingkungan juga memperkuat permintaan dalam negeri. Sehingga mengurangi risiko fluktuasi harga internasional bagi usaha sawit.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI melihat terdapat beberapa hal yang diduga menjadi penyebab kelangkaan ini.

Untuk itu diperlukan langkah kebijakan dalam jangka pendek untuk mengatasi penyebab kelangkaan, juga langkah strategis untuk memitigasi terulangnya krisis semacam ini pada masa mendatang.

"Hal ini penting mengingat tingginya kebutuhan minyak goreng untuk rumah tangga maupun industri di Indonesia," kata peneliti LPEM FEB UI Mohamad D. Revindo, Selasa (1/3).

Baca juga: Berkurangnya Pasokan Sapi Australia Picu Kenaikan Harga Daging 

Penyebab pertama yang diduga memicu kelangkaan ini adalah naiknya harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dunia yang menjadi bahan baku minyak goreng.

Sepanjang 2021, harga CPO sudah mengalami kenaikan 29%. Kenaikan ini disebabkan pemulihan ekonomi global pasca pandemi Covid-19 yang diiringi peningkatan permintaan rumah tangga maupun bahan baku industri dunia.

Sebagai akibatnya, produsen CPO Indonesia lebih memprioritaskan pasar ekspor dan produsen minyak goreng harus membeli bahan baku dengan harga yang lebih tinggi.

Kedua, terjadi kenaikan biaya operasional pada rantai pasok dan rantai produksi minyak goreng. Kenaikan ini salah satunya disebabkan oleh peningkatan biaya logistik laut yang telah terjadi sejak akhir tahun 2021. Penyebab utamanya yaitu kelangkaan kapal karena tingginya kebutuhan pengangkutan seiring dengan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19.

Ketiga, kebutuhan CPO untuk program B30 juga sempat diduga berpengaruh pada kelangkaan minyak goreng. Apalagi dalam penyaluran CPO untuk B30 terdapat insentif subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).

Meski demikian, dugaan ini telah mendapat bantahan mengingat kebutuhan untuk program B30 dan industri petrokimia hanya sekitar seperlima dari total produksi CPO nasional.

Keempat, terdapat dugaan terjadi persaingan antar kelompok distributor. Aparat keamanan menyampaikan temuan awal dimana distributor yang ada tidak mendapatkan pasokan dan setelah krisis ini berakhir diperkirakan akan muncul banyak distributor baru yang sebelumnya tidak memiliki bisnis inti distribusi minyak goreng.

Terdapat beberapa pilihan kebijakan untuk memperbaiki tata niaga minyak goreng dan menjamin ketersediaannya bagi konsumen dalam negeri, sekaligus mengatasi kelangkaan dalam jangka pendek maupun mencegah krisis serupa terjadi pada masa mendatang.

Dalam jangka pendek setidaknya terdapat tiga langkah yang dapat dipertimbangkan. Pertama, pemerintah dapat meminta produsen yang memiliki perkebunan sendiri untuk tetap mengalokasikan sebagian CPO-nya untuk produksi minyak goreng.

Dengan bahan baku yang diperoleh dari perkebunan sendiri, maka produsen tersebut tidak mengalami kerugian aktual meskipun harga CPO internasional sedang tinggi.

Produsen tersebut hanya akan mencatat kerugian potensial, yang dapat dikompensasi oleh pemerintah tanpa menggunakan dana publik. Misalnya, atas komitmen tersebut produsen tersebut dapat memperoleh akses pasar ekspor yang terbuka dari berbagai perjanjian perdagangan internasional baik Preferential maupun Free Trade Agreement yang sedang dilakukan pemerintah.

Kedua, melakukan operasi distribusi. Cara ini berbeda dengan operasi pasar dimana pemerintah memotong jalur penjualan dengan mengambil barang dari produsen atau distributor kemudian menjualnya langsung ke konsumen.

"Operasi distribusi memastikan adanya pasokan dari produsen dan distributor ke pengecer," kata Revindo.

Dengan cara ini pasokan tetap terjamin dan pengecer tetap dapat melayani konsumen dan menikmati keuntungan yang wajar.

Ketiga, membuka kepada publik data produsen dan distributor yang memasok tiap daerah/provinsi. Dengan cara ini pemerintah dapat melibatkan publik dalam mengawasi tata niaga minyak goreng dan mengidentifikasi pelaku usaha yang merugikan masyarakat.

Sedangkan alam jangka panjang, terdapat beberapa langkah kebijakan yang dapat dipertimbangkan pemerintah untuk memperbaiki tata niaga secara berkelanjutan.

Pertama, mewajibkan produsen dan distributor untuk menyisihkan sebagian persediaan minyak goreng yang ada di gudang mereka, misalnya 10%–20% untuk dikelola pemerintah.

Persediaan ini tetap menjadi milik dan berada di Gudang produsen/ distributor, tetapi distribusinya dilakukan atas pengetahuan pemerintah. Dengan cara ini pemerintah tidak perlu memiliki sistem pergudangan tersendiri tetapi memiliki cadangan stok yang dapat digunakan untuk operasi distribusi saat terjadi kelangkaan.

Persediaan dapat diperbaharui secara berkala atau ketika harga CPO dunia sedang turun.Kedua, pemerintah perlu memiliki ruang pantau (war room/situation room) yang menggunakan teknologi untuk memantau perkembangan produksi, stok (pada tingkat produsen maupun distributor) dan pengiriman berbagai bahan pokok (domestik maupun impor) secara real time.

Dengan cara ini maka kelangkaan bahan pokok dapat diantisipasi dari beberapa hari sebelum terjadi kelangkaan, misalnya dari identifikasi menipisnya stok atau terlambatnya pasokan distribusi.

Kesenjangan pasokan yang diantisipasi ini kemudian segera diatasi dengan stok yang terpantau dari gudang terdekat, baik yang dimiliki pemerintah ataupun stok distributor yang dikelola pemerintah. Agriculture War Room yang diinisiasi Kementerian Pertanian dapat menjadi model awal yang dapat dikembangkan.

Ruang pantau yang akan dikembangkan haruslah dikelola Bersama oleh semua kementerian yang terkait seperti Kementerian Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, Perhubungan, Kemenko Perekonomian dan Kemenko Maritim.

Ketiga, memandatkan adanya kontrak antara produsen, distributor dan pengecer dengan nilai dan jumlah yang komitmennya ditentukan selama setidaknya satu tahun ke depan. Dalam hal ini diperlukan peran pemerintah membentuk clearing house yang menjamin penegakannya.

Keempat, meninjau kembali skema subsidi program B30. Program B30 sendiri tidak perlu dibatalkan karena memiliki banyak manfaat seperti transisi energi ramah lingkungan, menghemat devisa negara, sekaligus stabilisasi permintaan CPO.

"Akan tetapi perlu ditinjau kembali skema subsidi yang ada agar tidak berpotensi mengurangi minat produsen mengolah CPO menjadi minyak goreng," kata Revindo.

Kelima, mengembangkan potensi penggunaan minyak jelantah (used cooking oil) untuk biodiesel. Tantangan terbesar dalam hal ini adalah sulitnya mekanisme dan tingginya biaya pengumpulan minyak bekas pakai dari konsumen.

"Terakhir, dalam jangka Panjang juga perlu mulai dikembangkan minyak nabati alternatif. Beberapa alternatif yang sumbernya tersedia di Indonesia adalah minyak kelapa atau jagung," kata Revindo. (Try/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya