Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
EKONOM Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi berpandangan, penyebab meroketnya harga komoditas dalam negeri, seperti minyak goreng karena masifnya kegiatan ekspor yang dilakukan pemerintah selama setahun terakhir.
Dikutip laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, kinerja surplus sepanjang 2021 ditopang dari nilai ekspor yang mencapai US$231,54 miliar atau tumbuh sebesar 41,88% (yoy). Hilirisasi komoditas unggulan, seperti turunan produk CPO atau minyak sawit mentah, berhasil mendorong performa ekspor Indonesia.
"Kalau kita bangga ada surplus ekspor akan membuat komoditi yang dari over supply bisa menipis. Jangan membuat kebijakan yang hanya cari keuntungan sesaat , tetapi tidak dipikir jangka panjangnya," jelasnya dalam acara Festival Pesona Kopi 'Jumpa Pakar' yang diselenggarakan Media Indonesia, secara virtual, Selasa (25/1).
Fithra mengatakan, dari hasil simulasi pihaknya bahwa komoditas Indonesia tercatar over supply. Misalnya, produksi minyak sawit mentah Indonesia bisa mencapai 80 juta ton per tahun dengan demand 50 juta ton.
Baca juga: Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Disesuaikan dengan Dinamika Global
"Masalahnya ekspor terbesar kita didominasi komoditi. Kita jangan terlalu sempit pandang soal (ekspor) ini. Tapi, tidak bisa menerawang jauh apakah stok akan aman kedepannya atau tidak. Sama seperti batu bara, kita kan over supply, tapi alami masalah," sebut Fithra.
Pemerintah pun menelurkan program satu harga minyak goreng sebesar Rp14 ribu per liter. Namun, berdasarkan laporan yang dihimpun Media Indonesia, program itu masih sulit diikuti maksimal karena pedagang pasar tradisional masih mematok harga minyak goreng di kisaran Rp18.000-Rp21.000 per liter.
"Makanya ada rencana kita mau menahan ekspor CPO karena soal ini. Di mini market minyak goreng habis terjual. Masalah krusial ini memang pondasi dasarnya ada di kelancaran logistik dan pengawasan perdagangan internasional," kata Direktur Eksekutif Next Policy ini.
Sementara, Guru Besar Tetap Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (Unila) Bustanul Arifin menuturkan, lonjakan harga komoditas ini bersifat seasonal atau musiman.
Di sisi lain dia beranggapan Indonesia bisa menjadi market leader kelapa sawit. Ini didukung dengan luas areal kelapa sawit di Tanah Air yang mencapai 16,5 juta hektare di 2021 dan memproduksi 53,5 juta ton CPO.
"Jangan-jangan kita sudah disebut market leader sawit. Dari 20 tahun terakhir ini eskpor kita terus meningkat. Memang masalah (harga) komoditas ini seasonal, tapi menuju keseimbangan baru," pungkasnya. (OL-4)
PT Global Inovasi Maju (GIM), bagian dari Farmaklik Group, melepas ekspor kopi robusta Rejang Lebong ke pasar internasional.
KOMITMEN mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan memberikan dukungan nyata bagi para pelaku UMKMĀ ditampilkan BRI dalam kegiatan pelatihan ekspor tahun 2025.
Menteri Perdagangan Budi Santoso melepas ekspor produk rempah dan madu produksi pelaku usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) asal Bali, CV Naralia Group, ke pasar Hong Kong.
Sebanyak 54 ton kopi asal Kabupaten Subang, Jawa Barat, resmi diekspor ke Tiongkok melalui skema Sistem Resi Gudang (SRG),
Komoditas pangan olahan sagu milik Sasagu siap menembus pasar internasional. Beberapa produk seperti kue dan kukis telah dilirik pembeli potensial dari Australia, Jerman dan Jepang.
Kanwil Bea Cukai Jateng DIY beri fasilitas kawasan berikat ke PT Long Well untuk dorong ekspor, investasi Rp690 M, dan serapan 16.700 tenaga kerja.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved