Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SAAT ini pajak merupakan sebuah instrumen penting dalam jalannya sebuah pemerintahan dan tulang punggung keberlangsungan sebuah negara. Pungutan pajak merupakan sumber utama penerimaan sebuah negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Pungutan pajak menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara dalam APBN. Bahkan nilai penerimaan pajak dapat mencapai lebih dari 80% dari total penerimaan negara.
Ironisnya, menurut Direktur Jenderal Pajak (DJP) periode 2001-2006 Hadi Poernomo, kendati pajak memiliki peran yang sangat krusial tersebut, namun dalam kurun waktu 12 tahun terakhir Indonesia tidak pernah mencapai target penerimaan pajak.
“Padahal jika dilihat GDP (gross domestic product) Indonesia terus mengalami peningkatan. Tidak perlu perhitungan analisis-analisis yang rumit untuk menyatakan bahwa ada yang salah dengan sistem perpajakan di Indonesia,” ujarnya dalam keterangan yang disampaikan dalam acara diskusi bertema Wajibkah DJP di Bawah Langsung Presiden? pada Selasa (28/9).
Menurut Hadi, dalam dunia perpajakan, substansi hukum--salah satu dari tugas unsur penegakan hukum--khususnya hukum perpajakan di Indonesia diatur secara lengkap mulai dari konstitusi dalam UUD 1945 sampai dengan peraturan menteri sebagai bagian politik hukum implementasinya. DJP menjalankan 14 regulasi setingkat konstitusi dan undang-undang.
Semua UU tersebut memberikan kewenangan atributif kepada DJP. Dengan payung hukum UUD Negara RI 1945, mengemban amanat dua belas undang-undang dan satu UU APBN yang menetapkan target penerimaan dalam satu tahun. Menurutnya, itu tugas berat yang memerlukan kelembagaan yang kuat dan memadai.
“Sedangkan struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum yang menjalankan substansi hukum tersebut. Berbicara mengenai struktur hukum perpajakan, otoritas perpajakan merupakan wakil negara dalam pemungutan pajak atau penerimaan,” jelasnya.
“Semakin lengkap kewenangan otoritas pajak, diharapkan semakin baik sistem perpajakan sebuah negara,” imbuh Hadi.
Ia mengatakan, pada Oktober 2003, bergulis ide reformasi kelembagaan pada reformasi perpajakan yang sebenarnya bukan hal baru. Reformasi struktur kelembagaan DJP tersebut kemudian diungkapkan lagi oleh dalam visi mengenai reformasi perpajakan pada saat sebelum menjabat sebagai presiden, yaitu saat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Konsisten dengan ide yang dilontarkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam janji kampanye mereka, hal tersebut kemudian dituangkan dalam Nawa Cita Jokowi-Jusuf Kalla 2014.
Nawa cita tersebut kemudian diakomodasikan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019.
RPJMN tersebut kemudian direspons Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/20015. Merespon hal tersebut, Dirjen Pajak membentuk Kepdirjen Pajak Nomor 95/PJ/2015 tentang Renstra DJP 2015-2019.
“Reformasi kelembagaan DJP tersebut kemudian diusulkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo untuk diatur dalam undang-undang melalui surat Presiden nomor R-28/Pres/05/2016 tanggal 4 Mei 2016 hal Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, RUU KUP Pasal 95 ayat (2) yang berbunyi “Lembaga berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.”
“Namun belakangan, Menteri Keuangan mengesahkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.01/2016 yang diduga menganulir jalannya reformasi kelembagaan DJP tersebut,” kata Hadi.
Hadi berpendapat DJP wajib di bawah langsung presiden karena beberapa alasan. Pertama, UU Nomor 28 Tahun 2003, Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007, Pasal 95 ayat 2 RUU KUP 2016 melalui surat Presiden nomor R-28/Pres/05/2016, Perpres Nomor 2 Tahun 2015 mengenai RPJMN 2015 s/d 2019, Nawa Cita Mei 2014, Pernyataan Gubernur DKI (calon Presiden RI) pada 22 April 2014, dan 14 Undang-Undang memberikan kewenangan atributif kepada DJP. (RO/OL-09)
Bagaimana semestinya pemerintah bersikap agar situasi dan kondisi yang ada tak benar-benar menjelma menjadi bencana?
Potensi nilai kerugian negara akibat perbuatannya mencapai Rp2,5 miliar.
Sampai saat ini tapping box sudah terpasang sebanyak 185 unit.
Tiga sektor pajak daerah yang sudah mencapai target bahkan melebihi adalah sektor hiburan, reklame, dan sarang burung walet
Menjelang akhir tahun, penerimaan pajak daerah sudah melampaui target
Perubahan perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkaitan dengan terbitnya UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Tahun 2020 menjadi masa yang berat bagi perekonomian Indonesia secara menyeluruh, seiring memburuknya ekonomi global akibat pandemi covid-19.
Selain aspek hukum harus juga diperhatikan etika, asas kepatutan dan prinsip pengelolaan APBN yang sehat, inklusif dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
PADA penghujung semester pertama tahun anggaran 2024, informasi kinerja keuangan negara yang dipublikasi menyajikan kinerja APBN 2024 yang kurang mengembirakan.
Badan Layanan Umum (BLU) merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual.
Potensi kerugian negara dalam kasus tersebut dinyatakan mencapai Rp48 miliar.
Dana bagi hasil tersebut bisa digunakan untuk menangani wabah covid-19 beserta dampak yang ditimbulkan di Jakarta.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved