Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

APBN Digerus Covid-19, Beban Fiskal di Proyek EBT

Mediaindonesia.com
11/9/2021 09:42
APBN Digerus Covid-19, Beban Fiskal di Proyek EBT
Pekerja melakukan perawatan panel surya di PLTS milik Hotel Santika Premiere Palembang, Sumatra Selatan.(Antara/Nova Wahyudi.)

PADA salah satu pasal di RUU EBT yang sedang digodok, PLN diwajibkan membeli atau menyerap listrik yang dihasilkan dari pembangkit-pembangkit energi terbarukan. Selain itu, anggaran negara akan kian terbebani karena salah satu pasal pada RUU EBT menyebutkan bahwa negara akan membayar kelebihan selisih biaya pokok produksi listrik dan harga jual dari energi terbarukan.

Kemudian pada revisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018, PLN akan dikenai skema tarif ekspor-impor net-metering listrik sebesar 1:1. Artinya, tidak ada selisih tarif yang akan menjadi sumber pendapatan PLN di saat menerima, menyimpan, maupun menyalurkan kembali listrik dari PLTS atap milik konsumen. PLN berpotensi merugi karena di saat yang sama harus mengeluarkan biaya investasi untuk penyimpanan, jaringan distribusi, hingga SDM.

Untuk pembahasan RAPBN tahun depan saja, lanjutnya, pemerintah dan DPR telah berdebat panas mengenai realokasi anggaran yang dianggap mendesak sekaligus anggaran untuk bantalan sosial. "Tentu ini akan menjadi perdebatan serius juga ke depan. Artinya nanti ada pos-pos belanja lain yang harus dikorbankan dan dialihkan untuk menutup anggaran pengembangan EBT," katanya.

Namun demikian, dia menilai bahwa draf RUU EBT yang sedang disiapkan justru sangat kental dengan intervensi pemerintah untuk mendorong transisi energi. "Nah kita mendukung ada tadi, burden sharing antara pemerintah dan nonpemerintah. Tetapi bentuk-bentuk konkretnya seperti apa? Nah ini kan yang perlu dielaborasikan di draf RUU tadi?" katanya.

Jangan sampai, lanjutnya, Indonesia hanya menjadi pasar dalam aksi pengembangan EBT global ke depan. Abra mengingatkan bahwa untuk saat ini saja, dengan rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) green infrastructure, Indonesia telah menjadi target pasar. "Kita bisa menyimpulkan bahwa untuk saat ini, yang diuntungkan memang negara-negara produsen, penghasil teknologi, dan infrastruktur dari sumber energi terbarukan. Nah kita menjadi objek atau menjadi pasar," katanya.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto menyebutkan bahwa APBN seyogianya hanya digunakan sebagai pemantik. Dia mencontohkan penggunaan APBN antara lain pada rancangan kebijakan berupa kerangka pendanaan, kerangka regulasi, dan kerangka teknis terkait dengan penyiapan tenaga kerja, kebutuhan rantai pasok industri manufaktur pendukung energi terbarukan dalam negeri, serta penetapan tarif yang pro pengembangan energi terbarukan.

"Swasta dapat berperan melalui berbagai skema pembiayaan inovatif yang telah disiapkan oleh pihaknya. Di antaranya skema financing, kerja sama government-badan usaha, dan crowdfunding atau urun dana," ucapnya. 
Menurut Arifin, RUU EBT yang menjadi inisiasi lembaga legislatif saat ini masih dibahas di DPR. Dia menyebutkan bahwa proses pembahasan formal antara DPR dan pemerintah belum dimulai.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebutkan bahwa transisi energi memiliki tujuan yang positif sudah menjadi komitmen pemerintah dan ditetapkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) serta diratifikasi pada Paris Agreement. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sektor energi terbarukan memang sudah menjadi bagian dari komitmen bersama.

Namun demikian, dia mengingatkan ada risiko fiskal dalam draft RUU EBT yang sedang dipersiapkan oleh DPR serta pada draf revisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 demi mendorong percepatan transisi energi ke energi baru dan terbarukan. Oleh karena itu, ujarnya, perlu koordinasi antara kementerian teknis serta Kementerian Keuangan yang mengatur soal anggaran negara. "Tetapi yang perlu kita sadari bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan aspek lingkungan harus balance. Biasaya negara-negara di dunia akan fokus pada pertumbuhan. Setelah titik tertentu baru fokus pada lingkungan," katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, umumnya terdapat rasio antara GDP per kapita dengan kerusakan lingkungan. Saat ini, posisi GDP per kapita Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara maju, yakni hanya 3.121 per 2020. Sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat sudah mencapai level GDP per kapita sebesar 63.000, Singapura sebesar 58.000, dan rata-rata negara di Eropa sudah memiliki GDP per kapita lebih dari 30.000. "Jadi perbandingannya sangat jauh. Apakah kita yang GDP-nya masih di 3.000-an itu harus berkomitmen seperti negara-negara yang GDP per kapitanya sudah di kisaran 60.000? Harus kita tanyakan kembali kepada kita," ujar Komaidi.

Lebih luas lagi, Komaidi menyebutkan bahwa rata-rata bauran energi terbarukan dalam produksi listrik global pada 2020 masih di kisaran 11%. Begitu pula rata-rata bauran energi terbarukan pada energi primer yang berkisar di angka 10%-11%. Dalam realitanya, ujar Komaidi, ada negara dengan bauran energi terbarukan di atas 11% dan ada negara dengan bauran energi terbarukan kurang dari 11%. 

Baca juga: Isu Selisih Dana PEN Hanya Masalah Definisi

Namun itu berarti, lanjutnya, rata-rata bauran energi terbarukan di tingkat dunia masih jauh dari target bauran energi terbarukan yang ditetapkan dan kini dikejar oleh pemerintah Indonesia untuk di dalam negeri sebesar 23% pada 2025. Di sisi lain, Komaidi melanjutkan, bahwa rata-rata GDP negara-negara yang telah mendorong percepatan bauran energi terbarukan lebih dari US$30.000 per kapita. GDP Indonesia masih berada di kisaran US$3.100 per kapita. (OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya