Upskilling Tenaga Kerja Solusi Hadapi Revolui Industri

Ghani Nurcahyadi
14/6/2021 23:34
Upskilling Tenaga Kerja Solusi Hadapi Revolui Industri
Pelatihan di Balai Latihan Kerja Banyuwangi(Antara/Budi Candra Setya)

LAPORAN World Economic Forum pada tahun lalu memperkirakan bahwa 85 juta pekerjaan akan hilang dan digantikan oleh mesin.Namun 97 juta pekerjaan baru akan timbul dan beradaptasi dengan pembagian jenis kerja antara manusia, mesin dan algoritma. Pandemi Covid-19 turut menjadi katalisator dalam tren tersebut.

Anggota Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ratri Sryantoro Wakeling mengungkapkan, Job Survey yang dilakukan World Economic Forum menunjukkan bahwa 84 persen perusahaan yang disurvei menyatakan akan mengakselerasi digitalisasi bisnis proses dan memperluas working from home atau remote working,

Selanjutnya, kata Ratri yang juga Wakil DIrektur Utama PT Hotel Sahid Jaya itu, sebanyak 50 persen perusahaan menyatakan bakal mengakselerasi adopsi teknologi untuk otomatisasi pekerjaan yang saat ini dianggap masih manual.

Dan ternyata 13 persen dari perusahaan menyatakan pengurangan tenaga kerja yang terjadi akibat Covid-19 akan dilakukan secara permanen.

Ratri menilai, perusahaan-perusahaan ini sudah siap menjalankan kenormalan baru dalam melakukan operational busines-nya.

"Kita tahu bahwa perusahaan-perusahaan yang mengadopsi digitalisasi dan otomasi ini tujuan bertujuan untuk meningkatkan konsistensi kualitas, produktifitas dan output, menurunkan biaya dan mengoptimalkan proses efisiensi," ujar Ratri dalam Kesiapan Ketenagakerjaan Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang digelar Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada.

Di sisi lain, survei Man Power Group di tahun 2019 menemukan bahwa lebih banyak perusahaan besar itu cenderung melakukan percepatan tersebut, selain dipicu oleh pandemi.

Tetapi, kata Ratri, menarik juga untuk melihat bahwa 94 persen perusahaan yang menyatakan akan melakukan disrupsi akibat Covid-19. Mereka, kata Ratri, akan meningkatkan, atau setidaknya mempertahankan jumlah tenaga kerja mereka.

"Jadi hal ini sebenarnya menurut kami adalah menandakan bahwa perusahaan-perusahaan itu sebenarnya memahami bahwa otomasi proses ini masih memerlukan manusia atau work force (tenaga kerja) yang mapan dan siap untuk driving proses transformasi ini, serta memastikan proses ini menjadi sesuatu yang lebih sustainable dan berkesinambungan," tukasnya.

Ratri menjelaskan, dari konsensus beberapa studi yang mensurvei berbagai stakholders telah menyetujui bahwa lapangan kerja yang tercipta itu akan lebih besar ketimbang pengurangan lapangan kerja akibat otomasi. Namun, pekerjaan-pekerjaan bisnis baru tersebut akan berbeda secara fundamental daripada pekerjaan yang hilang.

Baca juga : Menperin : Vaksinasi Pacu Produktivitas Industri Elektronik RI

Pekerjaan tersebut akan lebih berfokus pada human mission interaction yang membutuhkan skil kognitif yang lebih tinggi. Oleh karenanya, Ratri menambahkan, pencarian solusi kreatif dan self management semakin meningkat menuju tahun 2025. Solusi yang dapat dilakukan, menurut Ratri adalah reskilling dan upskilling perusahaan.

Reskilling adalah program untuk meningkatkan kemampuan baru bagi tenaga kerja perusahaan, sedangkan upskilling adalah program untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja.

"Proses reskilling dan upskilling keseluruhan workforce ini membutuhkan share purpose yang dipahami secara fundamental oleh pegawai maupun perusahaan. Proses ini membantu mengoptimalkan resources yang sudah ada di perusahaan untuk mendukung proses transformasi. Benefitnya juga adalah talenta tersebut pastinya sudah memahami operational bisnis dan visi bisnis yang dijalankan," imbuhnya.

Ratri mencontohkan perusahaan yang telah sukses melaksanakan program tersebut, sehingga mampu bertahan bahkan berkembang.

Provinsi Emilia-Romagna di Italia, kata Ratri, selama berdekade-dekade telah memproduksi garment yang high-end dan luxury yang dijual di fashion house terkemuka. Namun, perusahaan tersebut harus menghadapi kenyataan adanya industri tekstil yang diotomasi secara signifikan bisa menghasilkan produk berkualitas sama dengan harga yang jauh lebih murah. Akhirnya demand untuk high-end pabrik yang diproduksi secara manual semakin berkurang.

"Tapi pada saat yang sama region tersebut masih memiliki sebuah industri sport car yang memiliki demand yang sangat kuat. Sebut saja brand Lamborgini, Ferrari, Masserati, Dallara untuk memiliki fasilitas produksi di sana mereka tidak dapat menemukan tenaga kerja. Maka pada saat itu Experis Tech bekerja sama dengan Dallara melakukan reskilling textile workers tersebut untuk bekerja di high-end otomatif manufacturing," jelasnya.

Mereka, kata Ratri, berbekal Masters Degree engineering, kemudian dapat segera ditransisikan ke industri otomotif dan menghasilkan 243 graduate.

Ratri menjelaskan, sebanyak 70 persen tenaga kerja mereka langsung ditempatkan di sektor motor sport dan mendapatkan 30 persen dari wage increase alias kenaikan upah.

"Sementara itu, di APINDO kami bekerja sama dengan Kemenaker, memanfaatkan program Balai Latihan Kerja untuk meningkatkan kapasitas persaingan perusahaan dan memastikan link-and-match antara tenaga kerja terampil dan kebutuhan pasar kerja, dengan fokus membantu memberikan tenaga pelatih dari pelaku industri dan membentuk BLK Komunitas di sektor tertentu, terutama di daerah-daerah yang tidak memiliki BLK memadai," pungkasnya. (RO/OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya