Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Pajak Sembako Bisa Pengaruhi Ketahanan Pangan

Mediaindonesia.com
14/6/2021 13:42
Pajak Sembako Bisa Pengaruhi Ketahanan Pangan
Pedagang sembako di di Pasar Induk Rau di Serang, Banten. Pemerintah berencana memberlakukan PPN untuk sembako.(ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

WACANA pemerintah ingin memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sembako dan pendidikan menjadi 12% melalui revisi kelima Undang-undang No 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menuai banyak protes dari masyarakat, legislatif, dan partai politik.

Kenaikan ini meskipun masih dalam pembahasan dipastikan akan membebani ekonomi masyarakat dan pelaku usaha yang selama ini sudah sangat tertekan selama menghadapi pandemi Covid-19.

Lebih dari itu, wacana tersebut dapat memporakporandakan upaya pemulihan ekonomi nasional yang dilakukan pemerintah.

Forum Komunikasi Pengusaha dan Pedagang Pangan (FKP3) dengan tegas menolak rencana kenaikan PPN sembako.

Ketua FKP3 Aminullah, mengungkapkan dengan PPN yang lama saja (10%) para pedagang sudah sulit menjual barang-barangnya. Karena pasar makin sepi akibat Covid-19. Apalagi rencana mau dinaikkan 12%, bakal banyak pedagang gulung tikar karena masyarakat akan mengerem konsumsi.

Aminullah mengingatkan, masyarakat dan pedagang kecil sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dibebankan pajak tinggi. Saat ini masih bisa dagang saja sudah bersyukur. "Apa tidak ada sumber pendanaan lain yang bisa digali pemerintah untuk menutupi krisis anggaran negara," ujarnya pada keterangan Senin (14/6).

Di tempat lain, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, pengenaan PPN terhadap sembako mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Apalagi, lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal.

"Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi, apalagi di tengah pandemi ketika pendapatan masyarakat berkurang,” tegas Felippa.
 
Pangan, lanjut Felippa, berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56% dari pengeluaran rumah tangga mereka. 

"Pengenaan PPN pada sembako tentu saja akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut, terlebih lagi karena PPN yang ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen," ungkapnya.

Sementara itu, terkait polemik masih banyak dana gelap dari permainan rente ekonomi seperti kuota impor yang bisa menjadi pemasukan negara hingga triliunan rupiah ketimbang mengenakan PPN, Felippa menanggapi persoalan tersebut terjadi karena banyak diskresi dalam prosesnya dan tidak transparan.

Penetapan kuota impor sangat tergantung pada diskresi pihak-pihak yg menerbitkan izin. 

"Maka dari itu kami menyarankan beralih ke sistem impor yg lebih otomatis dan transparan. CIPS merekomendasikan penggunaan sistem lisensi impor otomatis dimana permintaan dan penerbitan izin impor dilakukan secara otomatis," katanya.

Selanjutnya, salah satu usulan untuk menambah anggaran negara adalah penetapan tarif impor pangan, menurut Felippa, sistem tarif memiliki dampak positif 

"Sistem tarif untuk menggantikan sistem rekomendasi dan kuota impor memiliki dampak positif, karena lebih dapat diprediksi dan dihitung bagi pelaku usaha. Sistem tarif juga mengurangi celah rente," tutupnya.

Sementara itu, Mulyadi dari Perkumpulan Pengusaha Bawang Putih Nusantara (PPBN) mengusulkan dari pada pemerintah menaikkan PPN terhadap sembako yang bakal merugikan masyarakat dan pemulihan ekonomi nasional, lebih baik pemerintah mengambil peredaran dana hitam hasil permainan dugaan jual beli kuota impor pangan.

Mulyadi menjelaskan, banyak sekali pangan impor seperti gula, bawang putih, dan buah-buahan luar negeri yang dikenakan wajib rekomendasi impor dan persetujuan impor dari kebijakan rekomendasi impor yang berpotensi menjadi rente ekonomi yang nilainya bisa triliunan rupiah setiap tahun.

"Kalau pemerintah mempunyai niat dan keberanian untuk mengganti regulasi rekomendasi impor dengan kebijakan relaksasi dan tarifisasi, maka dana triliunan rupiah yang selama ini dinikmatin oleh segelintir orang atau kelompok dari jual beli kuota impor bisa diselamatkan untuk menambah kas negara," katanya.

Mulyadi menegaskan, "Jangan rakyat dan pedagang kecil yang dibebanin pajak yang tinggi, harusnya praktek jual beli kuota yang bersumber dari rekomendasi impor tersebut yang harus dihapus pemerintah, dan digantikan dengan sitim tarif agar negara bisa mendapatkan dana tambahan untuk mengatasi krisis keuangan negara." (RO/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik