Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Tarif PPN Naik Daya Beli Masyarakat Tertekan Berat

M. Ilham Ramadhan Avisena
11/5/2021 21:03
Tarif PPN Naik Daya Beli Masyarakat Tertekan Berat
Pedagang melayani pembeli emas perhiasan di pusat pertokoan emas di kawasan Pasar Besar, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (9/5)(Antara)

RENCANA pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan (2022) akan menekan daya beli masyarakat. Sebab akan berimbas pada kenaikan harga-harga barang.

"Daya beli yang sudah tertekan akan semakin tertekan lagi," kata Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) Rizal E. Halim,  dalam diskusi virtual bertajuk PPN 15%, Perlukah di Masa Pandemi?, Selasa (11/5).

Naiknya tarif PPN akan berimbas pada naiknya harga barang yang dibeli oleh masyarakat. Hal itu akan menjadi faktor pertimbangan bagi masyarakat untuk membelanjakan uangnya.

Sebab, masyarakat juga memahami pandemi covid-19 memberikan ketidakpastian dan tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. Oleh karenanya, kata Rizal, penaikan tarif PPN akan melengkapi keengganan masyarakat untuk melakukan konsumsi.

Dia memperkirakan kenaikan tarif PPN pada tahun depan justru akan menghilangkan optimisme pemulihan Indonesia. Itu terjadi karena pertumbuhan ekonomi ditunjang oleh konsumsi masyarakat. Rizal menyarankan agar pemerintah memberikan perlindungan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat di tengah situasi saat ini.

"Tapi yang terjadi adalah secara sadar kita melihat banyak kebijakan sektoral yang seolah-olah tidak dilakukan koordinasi kebijakan di tingkat atas," ucapnya.

Setali tiga uang, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menyebut rencana pemerintah menaikkan tarif PPN akan berdampak pada turunnya pendapatan negara.

"Tarif itu dinaikkan terus menerus bahkan melebihi titik optimal. Itu justru menurunkan pendapatan atau penerimaan secara agregat," ujarnya.

Heri menjelaskan kenaikan PPN pasti meningkatkan biaya produksi dan jika pandemi masih berlangsung pada 2022 maka masyarakat akan menahan daya belinya. Menurutnya, keputusan masyarakat untuk menahan konsumsi membuat permintaan barang dan jasa akan turun sehingga berdampak pada sektor usaha yaitu penurunan utilisasi.

Kemudian jika sektor usaha menurunkan utilitisasi produksi dan penjualannya maka berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja sehingga pendapatan masyarakat akan turun.

"Jika pendapatan masyarakat turun maka konsumsi turun dan akan menghambat pemulihan ekonomi pasca pandemi. Kalau pemulihan ekonomi terhambat tentu saja pendapatan negara tak kunjung optmal," urai Heri.

Dia menyarankan pemerintah memperluas basis pajak dengan menjaring Wajib Pajak (WP) baru dan bukan justru menaikkan tarifnya. "Dicoba untuk menjaring WP baru salah satunya dengan menertibkan ritel non Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang mengunakan fasilitas non PKP," tuturnya.

Penertiban tersebut harus dilakukan karena banyak pengusaha kelas menengah dan bawah yang menyiasati agar dapat menggunakan fasilitas non PKP. Itu dilakukan sengan membagi perusahaan menjadi beberapa CV namun pemilik masih sama agar mereka mendapat fasilitas non PKP.

"Ambang batas PKP dinaikan jadi Rp4,8 miliar tadinya Rp600 juta. Jika itu dikembalikan lagi dari Rp4,8 miliar diturunkan menjadi lebih rendah maka akan lebih banyak terjaring WP baru seharusnya mampu jadi PKP tapi karena disiasati jadi banyak kecolongan," pungkasnya. (OL-13)

Baca Juga:Ada Larangan Mudik, Arus Logistik Malah Meningkat



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya