Nasib Pengemudi Online di Luar Negeri Kian Terpuruk Selama Pandemi

Adiyanto
28/12/2020 14:09
Nasib Pengemudi Online di Luar Negeri Kian Terpuruk Selama Pandemi
Sergei Fyodorov salah seorang pengemudi taksi online di California, AS(JOSH EDELSON / AFP)

PANDEMI covid-19 telah memorak-morandakan ekonomi. Pembatasan aktivitas manusia membuat perputaran roda perekonomian tersendat. Para pekerja lapangan, baik di Paris, Kuala Lumpur, atau pun California, khawatir tidak dapat lagi bertahan hidup dengan penghasilan minim yang membuat mereka semakin rentan.

Pekerja di sektor ini melibatkan jutaan orang dalam berbagai bidang, mulai pengemudi ojek online hingga kurir pengiriman. Wissem Inal, salah satunya. Pria Prancis ini mesti menempuh lebih dari 700 kilometer (450 mil) seminggu dengan skuternya, mengantarkan berbagai jenis makanan di pinggiran Kota Paris setiap malam.

"Saat ini, dengan adanya lockdown saya pulang cuma mengantongi 500 euro (kurang lebih Rp8,7 juta) bersih sebulan," kata pria 32 tahun yang telah bekerja sebagai kurir makanan sejak 2017. Itu pun dia mesti nyambi sebagai driver di dua tempat.

Inal sulit melihat sisi baik dari pekerjaannya saat ini dan mengkritik kalkulasi algoritma yang diterapkan Deliveroo (perusahaan tempatnya bekerja saat ini) dalam menentukan ordernya.

"Kiriman senilai enam euro pada siang hari hanya bernilai tiga euro di malam hari. Anda tidak bisa mencari nafkah dengan pekerjaan ini, kecuali bersedia hidup seperti budak," tegasnya. Untuk kehidupan di Paris, penghasilan Inal tentu tak mencukupi.

Baru-baru ini, dia pun bergabung dengan asosiasi pengemudi jasa pengiriman demi berupaya memperbaiki kondisi kerjanya. "Kita harus bisa membela diri," tegasnya.

Hal yang sama dialami Erica Mighetto. Awalnya dia sangat menikmati pekerjannya karena bisa memilih jam kerja sendiri. Mighetto tinggal di Sacramento. Ia harus mengemudi lebih dari satu jam ke daerah San Francisco pada akhir pekan karena ada lebih banyak pekerjaan. Dia rela tidur di mobilnya atau  membayar US$25 untuk menyewa sebuah kamar.

Pada 2017, dia bisa mendapat upah US$60- US$80  untuk satu jam sebagai pengemudi taksi online tetapi serangkaian pemotongan suku bunga menyebabkan pendapatanya turun menjadi US$20 pada awal tahun dan menjadi kurang dari US$10 pada bulan Maret.

Dia juga marah pada algoritma yang dianggapnya tidak jelas dan merusak.

“Jika teman-teman (pengemudi lainnya) mendapat tawaran bonus US$50 untuk melakukan 20 perjalanan per minggu, algoritma akan menawarkan US$350  tetapi untuk 120 perjalanan seminggu,” katanya.

Untuk mendapatkan order yang cukup dan mengklaim bonus, pengemudi seperti Mighetoo harus bekerja keras dan dengan upah lebih rendah. "Anda berada di lubang hitam lingkaran setan seperti ini," kata Mighetto.

"Saya pribadi menyebutnya pekerjaan berdasarkan permintaan. Tidak ada fleksibilitas. Anda harus bekerja saat ada permintaan. Anda akan bekerja hingga larut malam, akhir pekan yang panjang, dan setiap hari libur."

Pada musim semi, dia berhenti mengemudi karena takut tertular covid-19. Namun, ia kini harus berjuang untuk mendapatkan tunjangan pengangguran sebesar US$ 450 per minggu, lebih tinggi dari yang ia terima dari pekerjaan sebelumnya.

Dia memang pernah menerima tunjangan tambahan US$600 per minggu yang merupakan kebijakan pemerintah AS sebagai bagian dari langkah-langkah stimulus covid-19 tetapi itu habis setelah empat bulan.

Mighetto harus menerima kenyataan pahit hasil referendum California yang didukung oleh Uber, yang membatalkan undang-undang negara bagian yang akan memaksa perusahaan transfortasi online untuk mengakui pengemudi mereka sebagai karyawan, dan membayar mereka upah dan tunjangan minimum.

Para pemilih California menyetujui tindakan tersebut dengan 58% suara.

"Kita seharusnya tidak melucuti buruh dari perlindungan dasar tenaga kerja sehingga orang bisa mendapatkan tumpangan murah," katanya.

Pengalaman yang kurang lebih sama dialami Amal Fahmi. Pria berusia 24 tahun ini,  bekerja di jasa pengiriman.

Dia adalah salah satu dari banyak orang Malaysia yang mencari nafkah dengan mengantarkan makanan, obat-obatan, dan lainnya dengan sepeda motor di Petaling Jaya, pinggiran Kuala Lumpur.

Sebelum covid-19 melanda, dia adalah pengemudi Grab di Johor, Malaysia selatan.

"Saya bisa dengan mudah mencari nafkah. Tapi setelah wabah ini, hidup menjadi sulit karena banyak orang kehilangan pekerjaan dan penghasilan saya berkurang," kata Amal kepada AFP saat dia menunggu di luar sebuah department store untuk pesanan kesembilannya hari itu.

Mengingat prospek suram di Johor, dia pun pergi ke ibu kota.

“Tidak ada kesempatan kerja di kota asal saya karena kualifikasi akademis saya kurang,” jelasnya.

Amal menghasilkan sekitar US$700 sebulan jika dia bekerja lembur. Hari itu, dia menghasilkan rata-rata hariannya US$27 setelah 14 jam yang melelahkan."Sekarang banyak pekerja seperti saya. Ini semakin sulit," katanya.

Amal inginnya memilih pekerjaan tetap, tetapi tidak sepenuhnya menyesali jalan yang dia pilih.

“Yang memotivasi saya adalah saya bosnya. Saya bisa mengatur waktu saya," ujarnya tertawa. (M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya