Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Harga Gas US$6 Mmbtu Perlu Dievaluasi

(RO/E-3)
17/12/2020 04:45
Harga Gas US$6 Mmbtu Perlu Dievaluasi
PGN PERLUAS PEMANFAATAN GAS BUMI KE INDUSTRI MENENGAH( ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.)

RENCANA Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menaikkan harga gas khusus bagi industri yang tidak memiliki performa bagus menjadi di atas US$6 per mmbtu (million british thermal unit) didukung banyak ka langan. Pasalnya, jika tidak memberikan multiplier effect bagi masyarakat dan perekonomian, kebijakan harga US$6 per mmbtu akan merugikan negara.

“Saya rasa satu tahun cukup untuk dievaluasi. Apakah industri-industri tersebut layak atau tidak mendapatkan harga gas tersebut? Jika tidak, sebaiknya dikembalikan seperti awal,
atau dialihkan untuk industri yang lebih layak,” kata Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan di Jakarta, kemarin.

Kebijakan harga gas US$6 per mmbtu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres tersebut kemudian diturunkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.

Aturan teknisnya dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.

Dalam Kepmen 89 ESDM itu disebutkan tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus US$6 per mmbtu, yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Skema harga itu berlangsung dari 2020 sampai 2024.

“Jadi, yang perlu diubah saya rasa cukup Kepmen 89 ESDM saja karena yang mengatur industri mana saja yang mendapat jatah US$6 per mmbtu ada di situ,” katanya.

 Karena itu, Mamit meminta Kemenperin,Kementerian ESDM,Kementerian BUMN, dan KementerianKeuangan duduk bersama danmengevaluasi regulasi harga gasindustri itu.

“Rangkaian evaluasi ini perlu dibuka. Jangan sampai nanti dampaknya adalah harga gas turun, tetapi multiplier effect-nya tidak terlihat. Karena yang dipotong ini adalah jatah negara, jangan sampai negara justru dirugikan,” katanya.

Mamit mengatakan berdasarkan perhitungannya, negara bisa kehilangan potensi pendapatan sebesar US$14,39 juta atau Rp223,13 miliar dengan kurs Rp15.500 dengan pengurangan harga gas di hulu itu.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam dalam Oil & Gas Stakeholders Gathering 2020, Rabu (9/12), mengusulkan penaikan harga gas khusus bagi industri yang tidak memiliki performa bagus.

Selama kebijakan tersebut diterapkan, terdapat industri yang belum memberikan dampak seperti yang diharapkan. (RO/E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya