Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Penceramah Jenaka

Ono Sarwono
15/12/2024 05:00
Penceramah Jenaka
Ono Sarwono Penyuka Wayang(MI/Ebet)

SETIAP orang memiliki watak atau tabiat masing-masing, yaitu sifat batin manusia yang memengaruhi pikiran dan tingkah laku. Oleh karena itu, orang satu dengan lainnya berbeda. Misalnya ada yang berwatak suka bercanda, ada pula yang jutek.

Dalam jagat wayang, watak menjadi poin sangat penting mengingat bahwa wayang menjadi bagian dari ajaran atau wahana pendidikan kepribadian. Dari setiap kisah para tokohnya, kita bisa belajar atau menemukan mana watak yang baik dan tidak.

Di antara para tokoh terdepan yang wataknya menarik ialah Bathara Narada. Dewa karismatik yang bertempat tinggal di Kahyangan Sidikpangudal-udal itu berwatak kocak. Setiap kali mejang atau berceramah diselingi dengan guyon (bercanda).

 

Penasihat dewa

Narada yang gemar berkelakar sudah tampak sejak muda. Namun, bukan berarti berkepribadian yang tidak serius. Bila punya cita-cita, ia mengejarnya sepenuh hati, apa pun risikonya. Terutama bidang ilmu, sejak belia tiada henti memburu.

Berkat kepintaran dan penguasaan berbagai ilmu, Narada yang saat kecil bernama Kanekaputra berpredikat resi. Narada ialah putra Sanghyang Caturkanaka-Dewi Laksmi, jadi ia cucu Sanghyang Wening, adik Sanghyang Wenang.

Pada suatu ketika Kanekaputra berkehendak menjadi staf khusus (penasihat) raja Kahyangan Jonggring Saloka. Ikhtiarnya dengan bersemadi mengambang di atas samudra sambil menggenggam cupu manik yang memancarkan sinar ke langit.

Penguasa Kahyangan Sanghyang Manikmaya alias Bathara Guru takjub melihat cahaya tersebut. Diutuslah sejumlah dewa kepercayaannya, antara lain Bathara Sambu, Bathara Brahma, Bathara Bayu, dan Bathara Wisnu, untuk menyelidiki.

Keempat dewa itu mendapati bahwa teja yang menghias langit berasal dari seorang lelaki muda nan tampan yang sedang gentur mengheningkan cipta di tengah lautan luas. Sambu kemudian menggugah dan menanyakan maksud serta tujuan bertapa.

Petapa itu memperkenalkan diri bernama Kanekaputra dan ingin menjadi penasihat pemimpin dewa. Sambu dan adik-adiknya bergumam lalu menertawakannya, kecuali Wisnu yang tampak memperhatikan lelaki itu dengan penuh tanda tanya.

Kanekaputra tidak bereaksi apa-apa dan kembali bersemadi. Karena merasa tak diacuhkan, Sambu dan saudara tersinggung lalu mengusir petapa. Tiba-tiba muncul keajaiban, tubuh Kanekaputra mengeluarkan lesus yang melemparkan para pengganggunya.

Hanya Wisnu yang selamat dari empasan angin dahsyat. Wisnu yang sejak awal tidak berbuat kasar kepada petapa, dengan sopan memohon pamit lalu menyusul saudaranya yang ketakutan lari tunggang-langgang kembali ke kahyangan.

Setelah mendapat laporan, Guru bergegas menemui gerangan yang membuatnya penasaran. Ia mengonfirmasi, apakah benar Kanekaputra ingin menjadi penasihat pemimpin dewa. Hal itu dibenarkan karena merasa memiliki cukup ilmu.

Kemudian terjadilah adu ilmu di antara keduanya. Setiap pertanyaan Guru dijawab Kanekaputra dengan benar. Bukan hanya jawaban yang didapat, Guru merasa bertambah ilmu. Sebaliknya, Guru selalu gagu menjawab pertanyaan Kanekaputra.

Lama-kelamaan Guru merasa diremehkan karena setiap menjawab, Kanekaputra selalu membanyol. Guru gemas lalu keluarlah kata-kata ‘badut’. Seketika wajah Kanekaputra menjadi tua dan lucu dengan muka mendongak. Badannya pendek-gemuk dan jalannya bak mentok.

Guru menyesali ucapannya. Oleh karena ia menyadari kalah berilmu, Kanekaputra diangkat menjadi paranpara dewa dan diberi nama Sanghyang Narada. Sesuai dengan jabatannya, Narada diberi tempat tinggal Kahyangan Sidikpangudal-udal.

Dalam perjalanannya, terbukti Narada benar-benar sebagai penjaga muruah para dewa, titah pengatur kehidupan makhluk tribuana. Ia disegani dan dihormati. Namun, satu hal yang tak berubah, tetap gemar membanyol.

Narada dikenal alim, cerdas, periang, ramah, dan jujur. Ceramahnya ringan dan menarik. Banyolannya terkontrol dan tak pernah kebablasan sehingga tidak ada yang merasa diejek atau direndahkan. Malah gemar mengolok-olok diri sendiri.

Misalnya, ketika Narada keliru memberikan pusaka kahyangan. Anugerah yang seharusnya diberikan kepada Arjuna, tapi karena ketidakcermatannya, panah yang bernama Kuntawijayadanu diserahkan kepada Karna Basusena.

Waktu itu Bathara Guru mengutus Narada memberikan pusaka kepada Arjuna yang sedang tapa brata di hutan. Kesatria Pandawa itu mendapat tugas dari keluarga mencari pusaka guna memutus tali pusar jabang Tetuka, putra Werkudara-Arimbi.

Sesampainya di hutan, Narada mendapati lelaki tampan yang sedang bersemadi. Ia mengira pria itu Arjuna lalu digugah dan diceramahi yang intinya permintaannya dikabulkan dewa. Pusaka diberikan lalu Karna yang mirip Arjuna segera pergi.

Setelah itu, Narada tidak segera kembali ke Kahyangan. Ia ber-healing sejenak di hutan untuk melepaskan penat. Tiba-tiba ia bertemu panakawan yang menjelaskan keberadaanya di tengah belantara sedang menemani Arjuna bertapa.

Narada menyebut dirinya sudah memberikan anugerah kepada Arjuna. Namun, Petruk, Bagong, dan Gareng bersamaan mengatakan bendara mereka belum beranjak dari tempat semadi. Seketika Narada ‘siuman’ bahwa dirinya keliru.

Narada menggugah Arjuna dan tak segan meminta maaf atas kecerobohannya. Dengan berkelakar bahwa kekeliruan itu disebabkan dirinya sudah manula dan mata rabun, apalagi tidak mengenakan kacamata karena ketinggalan.

 

Tidak merendahkan

Menurut kisah-kisah lainnya, peran Narada memberikan pencerahan bagi setiap makhluk yang mendapat masalah atau kesulitan memahami dinamika kehidupan. Dalam aktivitasnya itu, selalu dikemas dengan bersenda-gurau, tapi tetap santun.

Jadi, meskipun status kedudukannya di atas para titah, Narada tidak meremehkan siapa pun. Kenapa demikian? Karena semua makhluk ciptaan-Nya. Tidak elok dan tak pantas merendahkan pihak lain meski golongan gedibal sekalipun.

Narada ialah contoh figur penceramah berkelas. Ilmunya tinggi dan luas tak menjadikannya jemawa. Predikatnya sebagai dewa tak membuatnya sok ‘suci’ dan merasa derajatnya lebih baik ketimbang titah lain. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya