Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PENDALAMAN pada sisi historis dan kondisi sosiopsikologis diperlukan guna memahami suatu bangsa. Abdul Malik Gismar, pengajar di Program Pascasarjana Universitas Paramadina, mencoba membeberkan bagaimana kondisi bangsa Indonesia melalui bukunya yang berjudul Homo Indonesiaensis: Sebuah Megaproyek Psikologis.
Abdul membuka buku tersebut dengan bab pertama yang membahas soal nasion, nasionalisme, dan sensibilitas psikokultural. Bab itu membahas nasionalisme yang dijadikan landasan dalam membangun bangsa dan negara. Dengan adanya sensibilitas psikokultural dari para pendiri bangsa, dirumuskan bahwa bangsa Indonesia merupakan kebangsaan yang setiap warga negaranya memiliki keragaman hak dan kewajiban yang sama, tak peduli latar belakang golongannya.
Lalu, di bab kedua, Abdul membahas soal kompleksitas psikologis warisan kolonial. Ia mengungkapkan bagaimana sejarah kolonialisme mewariskan dua kompleks psikologis.
Baca juga : Tamasya Nusantara dan Negeri Serumpun lewat Pantun
'Kompleks psikologis yang pertama adalah solidaritas yang muncul dari pengalaman buruk bersama mayoritas populasi ketika berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Subjugasi kolektif ini menumbuhkan perasaan senasib sepenanggungan. Sementara itu, kompleks psikologis yang kedua adalah semangat yang rendah, identitas kolektif yang negatif, dan perasaan minder sebagai akibat dari sistem dan praktik penjajahan yang meletakkan bangsa terjajah sebagai bangsa yang inferior' (hlm 32).
Bahasan mendalam tentang dampak penjajahan dan kolonialisme bagi perkembangan masyarakat Indonesia juga disajikan, seperti aspek sosial dan psikologis. Bahasan berlanjut pada bab ketiga mengenai homo Indonesiaensis. Bab itu menceritakan bagaimana orang Indonesia yang terjajah dan mencoba menjadi manusia baru setelah dijajah Belanda.
Presiden Pertama Indonesia Sukarno bahkan meluncurkan istilah Manusia Indonesia Baru yang artinya manusia sehat jasmani, kuat serta kukuh, dan secara psikologis merupakan pribadi-pribadi yang cerdas, tangguh, dan kesatria. Berlanjut ke bab selanjutnya yang berjudul Kebangsaan Indonesia: di Antara Keragaman dan Persatuan. Abdul menjelaskan bagaimana penjajahan, konflik horizontal, serta perlawanan yang bergejolak di Indonesia ternyata mampu diredam dengan Pancasila. Melalui Pancasila, beragam aliran dapat hidup bersama dan bersatu menjadi Indonesia.
Baca juga : Paus Fransiskus, Kebaruan dalam Keseimbangan
'Pancasila adalah samudra makna hidup yang sangat luas, yang memungkinkan beragam aliran dan ide mengenai kehidupan yang baik (ideas of good life) menemukan muara di sana' (hlm 85).
Penulis pun tak luput membahas soal kepentingan, identitas, dan konflik horizontal. Dalam masyarakat yang majemuk, hubungan antara berbagai macam kelompok dan beragam identitas mustahil untuk dihindarkan. Dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya, interaksi antarkelompok itu berjalan mulus, tetapi gesekan, ketegangan, dan konflik selalu bisa muncul. Di buku itu dijelaskan cara mencegah agar tidak berkembang menjadi konflik yang berkepanjangan dan brutal dengan mentransformasikannya menjadi kolaborasi yang menguntungkan semua pihak.
Namun, konflik berkepanjangan tetap memiliki kans untuk hadir. Di bab enam, dipaparkan sebab apa saja yang membuat konflik tak kunjung usai layaknya lingkaran setan. Kontinuitas konflik menandakan pihak-pihak yang berseteru mengembangkan permusuhan dan prasangka hingga mengakar dalam. Bahkan, tidak jarang, kehidupan sehari-hari sudah disesuaikan sedemikian rupa untuk menghadapi konflik.
Baca juga : Sato Reang, Perjalanan Ibadah dan Keinginan Berbuat Nakal
Bila konflik itu terjadi dalam lingkup kota, akan terjadi segregasi. Setiap kelompok memilih untuk tinggal di bagian kota tertentu, terpisah dari kelompok lain, memilih rute tertentu dan menghindari rute yang lain untuk menuju ke tujuan tertentu, memilih pasar tertentu untuk berbelanja, memilih sekolah tertentu, dan sebagainya. Ciri-ciri itu mengindikasikan adanya ekuilibrium negatif yang mempertahankan dan melembagakan konflik. Dengan kata lain, konflik semacam itu bertahan karena kelompok terjebak di dalam lingkaran setan, yaitu apa pun yang dilakukan kelompok lawan dianggap sebagai hal negatif yang mengancam eksistensi kelompok.
Dalam bab yang sama juga dijelaskan perihal merekam konflik horizontal. Dengan mengutip buku Amin Maalouf, berjudul Name of Identity (2013), disebutkan, jalan untuk mengurus keragaman kelompok ialah menciptakan ruang-ruang publik sehingga individu dari berbagai latar belakang dapat bertemu dan berinteraksi dengan aman serta berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Arena seperti sekolah, klub olahraga, klub musik, dan kelompok hobi, yang keanggotaannya multietnik, multiagama, ialah ruang-ruang publik yang mudah diciptakan dan sangat perlu didukung.
Cara lain ialah menciptakan kebersamaan dan bangun persatuan yang tidak dilakukan dengan jargon-jargon, instruksi, dan seminar-seminar yang penuh doktrin, tetapi melalui kegiatan-kegiatan di ruang-ruang publik yang menyenangkan dan relevan dengan minat dan kebutuhan.
Baca juga : Jalan Panjang Megamerger Bank Syariah
Pada bab ketujuh, Abdul memaparkan soal politik identitas dalam masyarakat majemuk, termasuk perkembangan politik identitas yang melekat di masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Buku itu juga mengungkap politik identitas yang tak bisa dihindari dalam negara demokrasi terbuka.
Politik identitas bisa menjadi negatif apabila menuntut loyalitas yang berlebihan dari anggotanya (demanding excessive loyalty); meletakkan identitas kelompok di atas kesetaraan dan keadilan (elevating identity group above justice) sehingga mengutamakan kepentingan-kepentingan kelompok tanpa menghiraukan keadilan (fairness) dan kesetaraan (equality); dan melibatkan stereotipe negatif (negative stereotyping) terhadap satu kelompok yang dirugikan secara tidak adil karena hal itu dapat menguatkan prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok tersebut. Kemudian disertai dengan kebencian terhadap kelompok lain (hostility towards out-groups), hal itu dapat menimbulkan konflik dan perpecahan dalam masyarakat.
Karena itu, tantangannya ialah bagaimana melawan politik identitas yang negatif. Caranya dengan membangun budaya yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, dan kesamaan kesempatan.
Pada bab terakhir, Abdul mengutarakan soal merayakan keragaman, memastikan keadilan, dan membangun persatuan. Bagian itu mengungkapkan bagaimana Indonesia seharusnya sebagai negara yang mampu memberikan kesetaraan, hak, kebebasan, toleransi, dan tanggung jawab kepada warga negaranya.
Abdul pun mengungkapkan buku itu berbicara mengenai psike atau jiwa orang Indonesia di seputar kelahiran kebangsaan Indonesia, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kebangsaan Indonesia, dan bagaimana mengurus keIndonesiaan itu.
Perlu ditekankan bahwa buku itu tidak berupaya untuk merekonstruksi konsep kebangsaan secara historis, tidak pula akan ketat secara kronologis. Secara lebih khusus, buku itu hendak mengurai bagaimana para pendiri bangsa bergulat menjawab pertanyaan fundamental mengenai negara dan bangsa seperti apa yang hendak mereka lahirkan. Lalu atas dasar apa negara dan bangsa itu hendak dibangun, dan bagaimana merumuskan kebangsaan baru ini. Lalu, setelah negara dan bangsa terbentuk dan merdeka, bagaimana mengurus manusia Indonesia yang sangat beragam dan membangun persatuan di antara mereka.
Secara umum, buku itu layak dibaca untuk menanamkan empati dan rasa persatuan bangsa. Buku itu cocok dibaca bagi pemangku kebijakan yang mengurus hajat hidup orang banyak atau beragam. Dengan membaca buku itu, mereka diharapkan mampu mengambil inti sari tentang kesetaraan, keadilan, dan persatuan yang kemudian diterapkan menjadi sebuah kebijakan publik. (M-3)
Detail Buku
Judul buku: Homo Indonesiaensis: Sebuah Megaproyek Psikologis
Penulis: Abdul Malik Gismar
Penerbit: Mizan
Tahun terbit: Juli 2024
Jumlah halaman: 202
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved