Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Jalan Panjang Megamerger Bank Syariah

Rahmatul Fajri
11/8/2024 05:04
Jalan Panjang Megamerger Bank Syariah
Cover buku Mega Merger in the Pandemic Era, Kepemimpinan dan Tantangan Merger Bank Syariah Indonesia(Dok. PT Kreasi Karya Igico)

STATUS sebagai negara dengan mayoritas beragama Islam rupanya tak membuat pamor lembaga keuangan syariah unggul jika dibandingkan dengan bank konvensional. Salah satu faktor yang menjadi penyebab sulitnya bank syariah berkembang ialah permodalan sehingga membuat lebih lambat dalam melakukan ekspansi, membesarkan aset, mengucurkan pembiayaan, dan menambah dana pihak ketiga (DPK).

Hal itu diungkap Direktur Utama Bank Syariah Indonesia (BSI) (2021-sekarang) Hery Gunardi pada bukunya yang berjudul Mega Merger in the Pandemic Era: Kepemimpinan dan Tantangan Merger Bank Syariah Indonesia. Buku itu mengisahkan perjalanan merger PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) dan menjadi pemimpin ekonomi syariah nasional.

Bagian pertama buku itu akan mengulas soal sejarah, potensi ekonomi, dan keuangan syariah. Pada bagian awal, Hery menjelaskan soal perbankan syariah yang dikenal masyarakat sejak tiga dekade lalu ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat pada 1 November 1991.

Baca juga : Memoar untuk Martir Pengabdian Iran

Ia pun mengulas pamor bank syariah di negara yang mayoritas warganya muslim. Tentu hal itu mengusik para pemangku kebijakan, termasuk pemerintah. Berbagai upaya dan langkah telah ditempuh, tetapi tetap tidak bisa memaksimalkan akselerasi pertumbuhan perbankan syariah secara signifikan. Berbagai edukasi dan sosialisasi juga digencarkan, tetap saja tingkat kesadaran masyarakat untuk berbank syariah masih minim. Seperti jauh panggang dari api.

Harus ada jalan luar biasa yang mesti ditempuh pemerintah dan pemangku kebijakan terkait. Sejatinya, keinginan untuk membesarkan perbankan syariah telah ada sejak dekade lalu. Berbagai ide pun bermunculan sebagai langkah mengakselerasi perbankan syariah di negeri ini, mulai mengonversi bank konvensional menjadi bank syariah hingga ide penggabungan (merger) bank syariah pelat merah atau badan usaha milik negara (BUMN).

Presiden Joko Widodo yang memiliki komitmen membesarkan ekonomi syariah telah berancang-ancang. Pada Mei 2019 dirilis Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, salah satu targetnya ialah meningkatkan skala usaha ekonomi dan keuangan syariah, termasuk di dalamnya perbankan syariah. Peningkatan skala usaha perbankan syariah didorong untuk menjadi penopang pembiayaan bagi ekonomi syariah ataupun industri halal.

Baca juga : Strategi Memimpin di Kala Turbulensi

Sejalan dengan pembuatan masterplan, pemerintah merancang langkah merger bank syariah milik Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yakni PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI Syariah. Rancangan merger itu dimulai sejak awal Maret 2020.

Sejatinya, ide merger telah dimulai saat pewacanaan yang dimunculkan Dahlan Iskan ketika menjabat menteri BUMN pada 2013. Kemudian mencuat kembali pada 2016. Namun, ide tersebut belum dapat diejawantahkan. Banyak faktor penyebabnya, di antaranya tingkat pembiayaan bermasalah (non-performing financing/NPF) yang masih dinilai tinggi, dianggap bisa membuat merger tidak menghasilkan manfaat maksimal.

Langkah merger dinilai menjadi sebuah upaya untuk meningkatkan permodalan bank syariah secara anorganik. Dengan peningkatan modal yang signifikan, ekspansi bank syariah pun akan jauh lebih besar. Akhirnya dilakukan merger pada tiga bank syariah milik Himbara, dimulai pada awal Maret 2020, rampung pada 1 Februari 2021 dengan berdirinya PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk.

Baca juga : BSI Gandeng Qasir.id untuk Dorong Digitalisasi 24 Ribu UMKM

Dalam merger itu, PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS) menjadi perusahaan cangkang atau entitas yang menerima penggabungan (merger) sebagai entitas survivor. Kemudian, hasil penggabungan itu menjelma menjadi BSI, yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham BRIS.

Di buku itu pun Hery mengungkapkan keinginannya agar bank syariah yang baru menjadi lebih modern, universal, inklusif, dan digandrungi kaum milenial. Untuk urusan branding, ia menunjuk konsultan Landor Associates. Hery memberikan brief dan guidance untuk nama dan logo baru bank hasil merger nantinya.

Setelah itu, konsultan mempresentasikannya kepada Hery. Mulai usul nama, warna, hingga logo. Pertemuan dan presentasi pertama belum memberikan hasil yang diharapkan. Lanjut, ke pertemuan kedua dengan diskusi yang cukup intens. Sesuai dengan tujuannya bisa bersaing di kancah global, Hery ingin nama bank hasil merger harus membawa nama negara.

Baca juga : BSI Perlu Perbaiki Reputasi Perusahaan

Dalam diskusi dan presentasi saat itu sudah mulai mengerucut, ada dua nama yang direkomendasikan, yakni Bank Syariah Indonesia (BSI) dan Bank Amanah Indonesia Syariah (BAIS). Akhirnya, disepakati namanya BSI.

'Saya jelaskan kenapa memilih nama BSI, bukan Amanah. Saya katakan bahwa Amanah sudah dipakai oleh satu bank di Filipina (Al Amanah Islamic Investment Bank, Filipina). Juga ada satu perusahaan pembiayaan (credit company) yang notabene bad company, menggunakan nama tersebut. Menteri BUMN merespons, "Kalau begitu ya jangan, kita pilih nama BSI saja." Akhirnya, disepakatilah nama dan logo BSI seperti ini', tulis Hery.

 

Tantangan pada masa pandemi

Pada bab selanjutnya, dikisahkan tantangan merger pada saat pandemi covid-19. Bukan hanya soal menyatukan tiga bank asal yang memiliki karakter, visi-misi, gaya, dan budaya yang berbeda-beda, tetapi juga semua itu harus dilakukan pada saat krisis dan ketika mobilitas benar-benar terbatas.

Di situlah pentingnya peran seorang pemimpin. Di setiap organisasi mana pun, baik lembaga pemerintahan, institusi bisnis, maupun organisasi sosial dan kemasyarakatan, diperlukan seorang pemimpin. Apalagi pada masa krisis yang bisa menghadirkan dua kondisi, hancur atau bangkit.

BSI lahir di tengah krisis. Proses pembentukan, segala persiapan, pembuatan visi dan misi, juga organisasi, dilakukan di tengah krisis. Tentunya peran seorang pemimpin menjadi titik kritis untuk membawa transformasi di tubuh lembaga baru itu.

Pemimpin tidak hanya direktur utama atau orang nomor satu yang mengendalikan organisasi besar ini dari kantor pusat BSI di Jakarta, tetapi juga para pemimpin di setiap tingkatan dan wilayah. Sebagai hasil dari gabungan tiga bank syariah milik BUMN, organisasi BSI tersebar hingga ke wilayah-wilayah yang terdiri dari kantor kas, kantor cabang kelas 1, 2, dan 3, juga kantor area. Total ada lebih dari 1.200 kantor cabang dengan lebih dari 20 ribu karyawan. Sebuah organisasi yang sangat besar.

Selayaknya seorang konduktor besar yang memimpin sebuah orkestra, kepemimpinan dalam menakhodai organisasi sebesar BSI juga harus dilakukan secara harmonis agar alirannya dapat meresap hingga ke tingkatan yang paling dalam.

 

Bangun budaya baru

Dalam buku itu, Hery juga mengungkapkan BSI harus mampu membangun budaya baru, melakukan transformasi budaya, yang dapat mengarahkan jalannya menjadi top global player yang membawa harum nama Indonesia, dalam situasi pandemi covid-19. Melalui buku itu, ia mengungkap caranya.

Pertama, organization behavior. Segala yang berbelit-belit diurai menjadi lebih sederhana agar mudah dimengerti. Orang pintar harus didukung gaya komunikasi yang bagus.

Kedua, technology and digital capability. Saat ini BSI sedang membangun open banking, nantinya bisa terkoneksi dengan lembaga keuangan lain seperti fintech dan e-commerce. Tentunya harus dengan keamanan yang kuat.

Ketiga, HC management. BSI harus membangun HC management yang modern. Administrasinya harus rapi. Dengan begitu, manajemen database juga menjadi lebih baik. Keempat, new culture. Rumah besar BSI harus memiliki budaya yang bagus. AKHLAK (amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif) yang dicanangkan BUMN menjadi new culture yang diterapkan BSI. Implementasi budaya itu tidak bisa hanya dijalankan di kalangan tertentu, tetapi juga harus menyeluruh di semua lapisan organisasi. Leader harus menjadi role model dan memberikan contoh, tidak hanya memberikan arahan, tetapi juga harus walk the talk.

Kelima, risk management framework. Tidak hanya portofolio risk, operational risk, tetapi juga risiko-risiko yang lainnya. Keenam, modern distribution footprint. Penataan distribusi footprint BSI harus terus dilakukan mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan nasabah. Ketujuh, strong branding. Selain bisnis yang maju, BSI harus membangun branding yang kuat, harus banyak dipublikasikan di berbagai media. Cabang dan wallsign.

Kedelapan, product development harus terus mengikuti requirement dan kompetisi yang ada di pasar. Dengan begitu, produk-produk BSI akan selalu relevan dan bersaing.

Pada akhirnya, jerih payah dan kerja sama semua pihak membuat nama BSI mulai dikenal. Dalam hitungan bulan pascamerger BSI sudah mencatatkan prestasi gemilang dengan dinobatkan sebagai salah satu bank terbaik di dunia atau The World's Best Banks 2021 oleh Forbes.

Buku itu mampu menggambarkan ekosistem perbankan syariah dan perjalanan merger Bank Syariah Indonesia di tengah tantangan pandemi covid-19. Hery mampu menuliskannya dengan runut dan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Meski buku itu bertema perbankan dan terkesan serius, pembaca masih dapat memahami dan mencerna buku itu.

Buku itu juga mencantumkan testimoni dari Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin, Menteri BUMN Erick Thohir, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, dan bankir senior Agus DW Martowardojo tentang perjalanan Bank Syariah Indonesia. Dengan demikian, pembaca juga dapat mendapatkan sisi lain dari para pemangku kebijakan tentang pentingnya merger BSI.

Buku itu cocok untuk bankir, pejabat, dan para profesional perbankan yang ingin mengetahui bagaimana membangun sebuah bank yang awalnya belum mendapat tempat di hati masyarakat hingga bisa meraih ragam penghargaan. Namun, di sisi lain, buku itu tidak menerangkan secara terperinci tantangan yang dihadapi saat pandemi covid-19, padahal jika berkaca pada judul buku, seharusnya cerita dan kisah selama pandemi bisa digambarkan secara terperinci di dalam satu bab khusus. Secara umum, buku itu bisa menjadi salah satu referensi yang layak dibaca untuk perkembangan dunia perbankan pada masa depan.(M-3)

 

Detail

Judul: Mega Merger in the Pandemic Era, Kepemimpinan dan Tantangan Merger Bank Syariah Indonesia

Penulis: Hery Gunardi

Penerbit: PT Kreasi Karya Igico

Tahun terbit: Mei 2024

Jumlah halaman: 232

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya