Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
INDONESIA dan Timor Leste merupakan dua negara bertetangga yang memiliki hubungan cukup dekat sejak Timor Leste meraih kedaulatan pada 2002. Saat ini, Timor Leste dan Indonesia pun tetap berbagi Pulau Timor. Indonesia mengambil bagian barat pulau tersebut, sedangkan Timor Leste mengambil Pulau Timor bagian timur serta eksklave Oecusse-Ambeno.
Jauh sebelum itu, perbedaan sikap antara Indonesia dan Timor Leste tentu pernah terjadi. Kedua negara sempat memperebutkan Pulau Timor. Tragedi perang sipil antara kaum pro kemerdekaan (Fretilin) versus kaum pro integrasi (UDT-Apodeti) dari 1976 hingga 1999 pernah terjadi di Timor Leste. Perbedaaan visi bernegara itulah yang menjadi pemicu tragedi perang. Saat itu, satu kelompok menginginkan kemerdekaan penuh, sementara yang lain menginginkan otonomi khusus sekaligus menuntut pertanggungjawaban pemerintah kolonial.
Ada pula kelompok yang merasa Timor-Portugis tidak perlu mendeklarasikan kemerdekaan. Itu disebabkan, baik secara kultural, geopolitik, maupun ekonomi, sebelum era kolonialisme mereka ialah bagian dari Nusantara yang mana negara terdekat ialah Republik Indonesia.
Kisah perjalanan Timor Leste dan Indonesia itulah yang kemudian dijadikan kisah pada sebuah novel berjudul Bumi Lorosae yang ditulis oleh Wahyuni Refi. Menariknya, Bumi Lorosae memiliki rangkaian cerita dengan beberapa tokoh utama. Refi dengan cerdas membungkus kisah hubungan antara Indonesia-Timor Leste menjadi lebih kekinian. Ia mengambil tokoh-tokoh berlatar belakang masa kini, tetapi tetap menampilkan fakta-fakta sejarah yang pernah terjadi pada masa lampau.
“Novel ini menceritakan termin waktu yang merupakan tonggak sejarah bagi kedua bangsa ini, yakni waktu ketika masih sebagai Timor-Portugis, Timor-Timor, dan Timor Leste. Pada rentang waktu tiga periodisasi itu, ada hal yang cukup pelik dan menimbulkan traumatik karena ada konflik (antara Indonesia dan Timor Leste) di tengah-tengahnya,” tutur Refi saat ditemui Media Indonesia dalam peluncuran buku Bumi Lorosae, Kamis (6/2).
Novel itu mengisahkan tiga tokoh, yaitu Martino da Costa, pria dari Timor Leste yang mendedikasikan segenap stamina mudanya guna menyingkap misteri kematian Noemia (saudara perempuannya) dalam sebuah eksekusi pada 1980 (masa konflik di Timor Leste). Ia pun mengalami aral dan rintangan yang hampir merenggut nyawa. Oliveira bekerja keras menyelesaikan riset doktoralnya tentang prahara Timor Timor demi membuktikan kebenaran atas pilihan ideologis faksi pro integrasi.
Sementara itu, di tempat lain, Widya Iswara (perempuan asal Indonesia) menantang bahaya demi membebaskan ayahnya dari tudingan penjahat perang Timor Leste. Widya mencoba untuk berpemikiran terbuka atas perilaku sang ayah, bukan sebuah kejahatan semata, melainkan ada sisi kemanusiaan. Di sisi lain, ada pula Boby Adiguna Rahman alias Elito kecil yang sangat terobsesi untuk menemukan silsilah biologisnya yang ternyata berujung dalam timbunan prahara Bumi Lorosae.
Kompleksitas seteru politis era dekolonisasi Timor-Portugis, pengalaman kelam perang saudara yang menelan ratusan korban, intrik-intrik operasi klandestin, percobaan pembunuhan, benturan-benturan keras antarpihak yang bertingkai, keterlibatan asing dalam prahara Timor-Timur, hingga romansa-romansa ganjil dalam generasi baru Timor-Leste-Indonesia terhimpun dalam sebuah tenunan pengisahan yang runyam dan berkelindan, tapi terasa menantang. Tajam, tapi tak melukai. Sangar, tapi subtil. Buas, tapi tidak berbahaya.
Meski dibungkus dalam bentuk novel, Refi menyebut bahwa tokoh-tokoh yang dihadirkan tidak serta-merta karangan. “Tokoh yang hadir (dalam novel) bisa dibilang antara realitas dan fiksi. Ceritanya pun ada yang real, ada juga fiksinya karena enggak mungkin juga saya pure real karena saya butuh jembatan untuk bisa menghadirkan kisah ini, jadi antara yang real memang ada dan fiksi ada,” jelasnya.
Novel itu didasarkan pada fakta yang diriset selama sekitar dua tahun. Selama masa itu, dia melakukan perjalanan ke beberapa wilayah di Timor-Leste untuk bertemu masyarakat sekitar hingga tokoh-tokoh penting setempat demi menggali cerita-cerita yang pernah terjadi kala itu. Dengan perjalanan panjang itulah, Refi meyakini kalau fakta-fakta yang dilahirkan pada novel ialah kejadian yang benar adanya.
“Jadi, selama hampir dua tahun saya sudah mengelilingi 13 distrik di Timor Leste, semuanya sudah saya jejaki, dan saya bertemu dengan semua masyarakat, juga dengan pemangku kepentingan di sana. Jadi, apa yang saya tuangkan dalam novel adalah catatan perjalanan saya, yang saya coba ingin bagikan kepada semua khalayak dan saya bungkus dalam kisah,” terangnya.
Menceritakan kembali sejarah konflik di Timor Leste (pada 1976-1999) tentu tidak sedikit yang beranggapan kalau buku itu seolah membuka luka lama, membuka kembali ruang diskusi tentang siapa yang benar dan salah atas konflik pada masa lampau itu.
Penulis menegaskan kehadiran novel itu tidak untuk dilihat dari sudut ‘membuka luka lama’. Baginya, pergulatan itu akan selalu ada dan tidak akan pernah berhenti. Justru dengan pergulatan pemikiran, pergulatan pendapat itu akan memperkaya dan membuat publik semakin utuh melihat sebuah sejarah. Refi mencoba menceritakan kembali konflik yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste pada masa lampau lewat novelnya bisa menjadi pembelajaran bersama.
“Kalau mengambil dari salah satu chapter favorit dalam novel Bumi Lorosae ini, ada di sana sebenarnya yang menunjukkan, kita selalu bicara bahwa sejarah itu adalah masa lalu, tapi bukan hanya sekadar masa lalu, bagi saya sejarah adalah pembelajaran hidup untuk kita untuk menapak ke depan,” tegasnya.
“Jadi kalau kita ngomong bahwa Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarahnya dan jangan pernah sekali pun lupakan sejarah, menurut saya itu benar karena memang untuk menuju sekarang ini harus ada masa lalu,” terangnya. (M-3)
Judul buku: Bumi Lorosae
Penulis: Wahyuni Refi
Penerbit: Widyaiswara Revolusi Sejati
Tahun terbit: Februari 2025
Jumlah halaman: 550
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved