Menggali Cemooh dari Sastrawan Perkasa

Abdillah M Marzuqi
29/12/2024 05:05
Menggali Cemooh dari Sastrawan Perkasa
(MI/Duta)

DAPAT dipastikan, publik cukup akrab dengan cerita pendek tersohor berjudul Robohnya Surau Kami. Kendati belum pernah membacanya, minimal pernah mendengar kalimat tersebut. Ya, itulah salah satu karya AA Navis. Judul cerpen tersebut terdengar enak untuk dikutip atau diadaptasi menjadi bentuk kalimat baru seperti 'robohnya moral kami', 'robohnya penghasilan kami', hingga yang menyerempet ke politik, misalnya 'robohnya konstitusi kami'.

Dari satu karya saja, tidak muluk jika dikatakan relevansi karya dan gagasan AA Navis untuk persoalan masa kini tidak diragukan lagi. Dari judul cerpen itu, kata 'robohnya' banyak ditiru untuk merujuk pada kemerosotan berbagai bidang di masa kini. Ini berarti, karya klasik AA Navis sudah menjadi bagian pengetahuan dan acuan bagi masyarakat. Kata itu rasanya bukan hanya milik sastrawan atau akademisi yang akrab dengan karya sastra, melainkan sudah 'merasuk' ke berbagai kalangan, termasuk obrolan warga di warung kopi.

Tidak berlebihan jika Pamusuk Eneste mengungkapkan penggunaan kata 'robohnya' dalam tulisan yang muncul setelah cerpen Navis tersebut patut diduga dipengaruhi oleh kehadiran cerpen Robohnya Surau Kami.

Ali Akbar Navis, begitu nama sang sastrawan yang dikenal sebagai pengamat yang cermat, peneliti yang tekun, juga penulis yang andal. Ia tidak hanya memahami sejarah, masyarakat, dan kebudayaan dengan mendalam, tetapi juga berani mengkritik dan mencemooh apa yang dilihatnya berlawanan dengan nilai dan prinsip hidupnya, sampai dijuluki 'pencemooh kelas wahid'.

Yang lebih penting, sentilan khas Navis untuk mengingatkan bagaimana orang sering salah fokus dalam memaknai apa yang penting dalam kehidupan, masih sangat aktual. Seratus tahun setelah kelahiran Navis di Padang Panjang, 17 November 1924, kekeliruan yang sama telah membawa banyak masalah di tataran lokal dan global. Hal-hal yang disindir Navis masih terus terjadi hingga hari ini

Begitu besar pengaruhnya, sampai-sampai UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) menetapkan Navis sebagai sastrawan yang layak dirayakan hari kelahirannya. Perayaan 100 tahun Navis berlangsung di Paris, Prancis, pada 11-15 November 2024.

Cukuplah untuk tahu tentang salah satu karya sang pencemooh kelas wahid itu. Kini, menjadi layak untuk menyelami lebih dalam agar lebih terinspirasi dengan Navis. Salah satunya dengan membaca buku Seratus Tahun A.A. Navis: Kajian Kritis, Pemikiran, dan Visi Budaya yang diterbitkan oleh Badan Bahasa bekerja sama dengan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI).

Buku ini menghimpun telaah dan refleksi tentang sosok, karya, pemikiran, dan peran AA Navis yang multidimensi, sebagai sastrawan, budayawan, juga intelektual publik. Buku ini menunjukkan bahwa karya dan pemikiran Navis membuka kemungkinan luas untuk diulas dengan bingkai bermacam teori dan pendekatan mutakhir.

Dalam buku ini, ada 44 tulisan dari para pakar sastra, sejarah, linguistik, dan sosial-budaya. Setiap penulis, dengan kepakaran dan fokus berbeda-beda, merujuk pada pengetahuan yang sudah ada sebelumnya tentang Navis sebelum menyampaikan argumentasi masing-masing. Terdapat beberapa perspektif di buku ini dalam memahami karya-karya Navis. Ada pendekatan sosiologis (termasuk sosiologi religius, simbolik, kepariwisataan, primordial, dan kebudayaan), naratologis, hermeneutik, kewacanaan-teks, gender dan feminis, sejarah, estetika tekstualis, memori, psikoanalisis, resepsi, atavisme, multimodal, serta struktural konvensional.

Cukup tebal memang, lebih dari 950 halaman buku dengan banyak materi padat yang menunjukkan kualitas kepakaran dari para penulis. Pembaca tentu tidak harus melahapnya sekaligus karena akan butuh upaya besar untuk mencernanya. Setidaknya, bagi yang belum akrab dengan karya-karya Navis, buku ini akan mampu memberikan gambaran yang menyeluruh tentang cakupan karya sastranya.

Misalnya bagian 'Alam Terkembang Jadi Pelajaran, Menuju Paradigma Minangkabau' yang ditulis Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada. Bagian itu melacak karya Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (ATJG-AKM, 1984) yang ditulis dengan berpijak pada sekitar 97 daftar pustaka. Buku tertua berbahasa Belanda karya Toorn bertahun 1817 membicarakan masalah kekerabatan. Adapun buku termuda ialah tahun 1982, yakni tulisan dalam majalah Optimis. Sebagian besar bacaan yang dijadikan daftar pustaka adalah karya-karya orang Minang yang menulis tentang Minangkabau.

Salam juga mengungkapkan ada tiga tema utama dalam karya sastra (cerpen dan novel) Navis. Pertama, tema yang mempertentangkan perbedaan keyakinan dan praktik beragama, penganut Islam khususnya. Kedua, tema mengontestasikan (dan menegosiasikan) tradisi-adat dan modernitas. Ketiga, terkait dengan kedua hal sebelumnya, masalah-masalah etika-kemanusiaan, ketidakadilan (juga terhadap lingkungan), dan lebih-lebih kemiskinan, baik dalam pengertian kemiskinan ekonomi/material maupun kemiskinan pengetahuan.

Pada bagian lain, Sudarmoko dari Universitas Andalas mengemukakan tulisan bertajuk 'Melacak Pengaruh Sosial Budaya dan Strategi Estetika A.A. Navis'. Penulis banyak membahas tentang pengaruh sosial budaya sekaligus bercerita tentang detail kedirian sang maestro.

Dalam tulisan itu disebut bahwa istri Navis adalah orang pertama yang membaca cerita-cerita yang ia tulis. Sebagai pembaca pertama, istri Navis menjadi filter untuk menguji apakah karyanya layak dikirim ke media massa. Cara ini cukup menarik karena Navis mendapatkan opini dari pembaca pertama untuk mendapatkan masukan. Istri Navis bukanlah seorang ahli yang mendalami sastra, tetapi pandangan atau respons yang diberikan merupakan tanggapan yang dapat mewakili pembaca umum.

Mohd Harun dari Universitas Syiah Kuala mengajukan tulisan berjudul 'Ali Akbar Navis Sastrawan Perkasa'. Harun menyebut Ali Akbar Navis tidak hanya dikenal sebagai sastrawan. Ia juga berprofesi sebagai wartawan dan akademisi. Selain itu, Navis juga pernah berkecimpung dalam arena politik. Dalam dunia kewartawanan (jurnalistik), Navis tidak hanya sebagai wartawan biasa, tetapi juga pernah menjadi pemimpin redaksi.

Tidak hanya berbicara tentang materi ala kajian akademisi dan peneliti sastra, buku ini juga menghadirkan kenangan dari Dedi A Navis yang bercerita tentang keseharian dan kesibukan sang ayah. Pembaca dapat melihat Navis dalam kesehariannya, dari masa ke masa, mendengar suara mesin ketiknya sampai malam hari. Posisi sebagai anggota DPRD dan berbagai jabatan lain tidak mengubah kesederhanaannya, dan pada gilirannya ketika semua jabatan usai, Navis terus menulis untuk menghidupi keluarganya. Tampak dari berbagai kesaksian para penulis bahwa ketenaran dan posisi kuasa tidak mengubah sifat Navis yang bersahaja, sederhana, dan biasa-biasa saja menghadapi masa susah dan senang. Ada pula momen kritis ketika Navis dengan tenang menyiapkan tas berisi pakaian karena merasa sewaktu-waktu akan ditangkap aparat dalam suasana tegang pasca-Peristiwa Malari pada 1974. (M-1)

Data Buku

Judul buku: Seratus Tahun A.A. Navis: Kajian Kritis, Pemikiran, dan Visi Budaya

Penulis: Abdul Kadir Ibrahim, Ali Imron Al-Ma'ruf, Anas Ahmadi, dkk

Tahun: 2024

Penerbit: Badan Bahasa bekerja sama dengan HISKI

Halaman: 962

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya