Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Paus Fransiskus, Kebaruan dalam Keseimbangan

A Eddy Kristiyanto Guru Besar Sejarah Gereja STF Driyarkara, Jakarta
08/9/2024 05:05

SEORANG teolog dari Brasil, Leonardo Boff, menulis Francis of Rome and Francis of Assisi: A New Springtime for the Church (2014). Ia membandingkan dua Fransiskus yang dia kenal. Dua pribadi satu nama itu memperlihat dan menyuarakan agenda, visi, dan makna perutusan yang kurang lebih sama. Bagi Boff, Fransiskus bukan sebuah 'nama', melainkan style of life yang menitikberatkan semangat pelayanan, kerendahan hati, pengampunan, compassion, pengharapan, kehidupan alam ciptaan, serta kemuliaan Allah.

Jika merujuk pada nubuat Paus Paulus VI (mendiang), nama 'Fransiskus' itu berbahaya, bahkan Adrian House (The Paulist Press, 2003) mengimbuhi nama itu dengan revolusi. Di manakah kerevolusioneran hidup Fransiskus? Hal itu terlihat pada puncak-puncak hidup yang dicatat dan direfleksikan Thomas Celano, malahan oleh Bonaventura.

 

Baca juga : Belajar dari Paus Hadapi Problem Menuju Indonesia Emas

Agenda belum selesai

Setelah mencermati judul utama buku Gereja yang Mendengarkan berikut isinya, saya terkesan. Buku itu menarasikan muktamar (konsili) ekumenis Vatikan II (1962-1965) yang berkelindan (dalam narasi Prastowo) dengan Paus Fransiskus sebagai peristiwa. Karena itu, rasanya tepat sekali buku itu merupakan punjungan untuk Paus Fransiskus yang melakukan visitasi di negeri kepulauan ini.

Konsili Vatikan II yang berakhir 60 tahun lalu menghasilkan 16 dokumen (9 dekret; 4 konstitusi, 3 pernyataan/deklarasi). Dengan tepat, Prastowo menyebut unsur asasi dan kebaruan hasil konsili itu, misalnya historisitas, jasa para persona, cara kerja (metode) yang kembali ke sumber, semangat pemutakhiran (aggiornamento), pandangan-sikap teologis terhadap dunia, agama-agama nonkristiani, alat-alat komunikasi sosial, ritus, dan lainnya.

Baca juga : Unika Atma Jaya Semarakkan Kedatangan Paus di Sepanjang Jalan Sudirman

Kalau kita menilik struktur naskah (tidak termasuk Prolog dan Epilog dari dua alumnus Universitas Maximilianus, Freiburg iB, yakni Adrianus Sunarko [xvii-xxvii] dan Paul B Kleden [199-216]), buku Prastowo itu membuat 35 nomor. Sebanyak 11 nomor bicara tentang Vatikan II, lainnya bicara tentang (sekitar) Paus Fransiskus. Hal itu dapat ditilik dari Indeks, nama Fransiskus dan Vatikan II merupakan dua 'item' yang paling banyak disebut.

Dari para sejarawan dan teolog Konsili Vatikan II, seperti Giuseppe Alberigo, Joseph A Komoncak, kita mendapat informasi bernas. Kendati segala jasa, kontribusi, dan keterbukaan, Vatikan II masih menyisakan agenda. Hal-hal yang dapat dirujuk, misalnya reformasi kepemimpinan, kongregasi suci (dikasteri), tata kelola perundang-undangan gerejawi. Inilah institusi gerejawi yang mendengarkan dunia, ketidakadilan, ketidakdamaian, kekerasan, penyalahgunaan, diskriminasi, kemiskinan, keserakahan, dan lain sebagainya.

Buku itu memuat informasi serbaringkas, isi dan kaitannya baik situasi sesaat maupun kondisi Indonesia. Misalnya Natal, Teologi Trinitas, homili berikut dokumen-dokumen SC (hlm 76, 104); NA (hlm 65, 69); GS (hlm 31); PO (hlm 180); LG (hlm 96); IM (hlm 36, 40), katekese, Ibu-Bumi (hlm 157), dan lainnya.

Baca juga : Pelaku Teror Kunjungan Paus Fransiskus Pernah Baiat ke ISIS

Karya itu bukan saja enak dibaca. Cakupannya luas, mengasah disputasi selanjutnya, tetapi juga menginspirasi pembaca untuk menembus masalah hidup kita, masyarakat yang plural, persoalan kemanusiaan, termasuk perjalanan ke kekedalaman (interioritas).

Hampir separuh dari paparan Prastowo menyibukkan diri dengan perspektif dan pesan seorang Paus Fransiskus. Beberapa hal besar dilakukan Paus Fransiskus, antara lain Sinodalitas gereja (hlm 151, 183, bahkan ada lampiran). Fransiskus juga berhasil menggulirkan 'batu besar' yang bergeming pada masa Paus Yohanes Paulus II dan Benedictus XVI, yakni sexual abuse (para pelakunya melibatkan hierarki institusi gereja), korupsi dalam gereja, dan lain sebagainya.

Selain itu, Paus Fransiskus melakukan reformasi berkenaan dengan Kuria (lembaga yang mengurus tata kepemimpinan gerejawi), yang lebih menekankan pelayanan dan bukan kekuasaan yang berbasis pada paham klerikalisme dan feodalisme), berikut keprihatinan dan perhatian Paus Fransiskus pada orang-orang kecil, terpinggirkan, tak berdaya, Ibu-Bumi, dan persaudaraan.

Baca juga : Densus 88 Dalami Motif 7 Terduga Pelaku Teror saat Kunjungan Paus Fransiskus

Sebagus-bagusnya Konsili Vatikan II, ia masih menyisakan agenda yang belum selesai digarap, apalagi kalau kita melihat langsung di lapangan dan akar rumput. Sekadar menyebut pekerjaan tertunda, misalnya, reformasi sentralisme dalam dikasteri dan peranan perempuan dalam kekuasaan dan pelayanan gereja.

 

Kejam pada Ibu-Bumi

Salah satu hal menarik yang diangkat Prastowo ialah teori pendulum (hlm 139) dalam konteks eklesiologi. Namun, dalam ilmu historia ecclesiastica ada terminologi 'antinomi', yang rupanya tidak dikenali R McBrien dan G Zizola, yang menjadi rujukan Prastowo.

Dengan 'antinomi' yang berlaku dalam komunitas gerejawi, dimaksudkan dua dalil yang keberadaannya sama-sama sahih dan kesannya tolak-menolak, tetapi sama-sama diperlukan. Contohnya ialah suci-dosa, inkarnatoris-eskatologis, yuridis-karismatis, ortodoks-heterodoks, dan katolik-partikular.

Menurut dalil antinomi dinamika komunitas gerejawi terbujur dalam bentuk yang pada dirinya contradictio in terminis. Teori pendulum (mungkin lebih tepat bukan teori, melainkan hipotesis pendulum) dapat diterapkan untuk situasi konklaf, mengingat kepemimpinan sebelum saat ini terlalu konservatif, dan pada gilirannya kini ditarik pada yang liberal, sekurang-kurangnya moderat; dan tidak tepat diterapkan dalam lingkup dan dinamika komunitas gerejawi.

Keunggaulan karya itu terletak dalam keluasan sumber bacaan dan hal itu terlihat dalam tuturan yang mengalir tanpa merepotkan diri untuk verifikasi sumber. Sebagai model jurnalisme, buku itu terlahir dari sumber bacaan. Namun, sebagaimana maksud buku itu ditulis, kiranya pokok itu tercapai, yakni bagi 'rekan awam' yang tergerak dan terpanggil menghidupi keterlibatan di ruang publik.

Kekuatan buku itu terletak antara lain dalam analisis jujur tentang gereja beberapa dekade terakhir ini, terutama yang menandai keprihatinan Paus Fransiskus. Dalam pembacaan saya, Prastowo hendak mendudukkan kontekstualisasi pesan-pesan Fransiskus hic, nunc et tunc (di sini, sekarang, dan yang melampaui). Selain itu, pembicaraan tentang kandungan historis sebelum Konsili Vatikan II cukup baik dipresentasikan. Bagaimana penjelmaan inkarnasi dan konsekensi nubuat kenabian dalam diri (martir) Uskup Romero diartikulasikan secara tepat.

Tak luput dari bidikan Prastowo ialah diskusi tentang peran perempuan dalam gereja (hlm 99), karakter sosial Vatikan II (hlm 117). Ada sejumlah keterangan yang kurang akurat (di hlm 1, 29, 48, 126, 143, 242). Namun, karena sifatnya yang berciri ‘jurnalistis’ dan ‘berita’ (dari mingguan Hidup), tidak pada tempatnya para pembaca menuntut akurasi dan presisi yang detail.

Lebih lanjut kita dapat melacak, misalnya mengapa Mario Bergoglio memilih nama Fransiskus (Assisi dan bukan Xaverius), mengapa peran dan kontributor utama dalam Benedictus XVI bagi Lumen Fidei luput dari perhatian; mengapa Evangelii Gaudium tidak diangkat sebagai program kepemimpinan dan pelayanan Paus Fransiskus?

Kalau diharapkan buku itu memberi inspirasi segar bagi gerakan moral yang digali dari Vatikan II dan warisan Paus Fransiskus, buku itu dapat berperan khusus. Vatikan II dan Paus Fransiskus mengejawantahkan kebaruan dalam keseimbangan. Hal itu dijabarkan dalam aktivitas perjumpaan dan diskursus yang membumi di antara masyarakat warga.

Yang diperlukan dewasa ini kiranya ialah pola pikir (mentalitas), visi tentang dunia yang global dan mendasar, dengan tindakan-tindakan terukur dan lokal. Beginilah cara Paus Fransiskus menyentakkan kita: “Jangan pernah mengatakan dirimu mencintai Tuhan, jika perlakuanmu terhadap alam ciptaan masih ‘kejam’." (M-3)

 

Detail Buku

Judul: Konsili Vatikan II. Gereja yang Mendengarkan. Terus Berubah – Tetap Setia

Penulis: Yustinus Prastowo

Penerbit: Lamalera

Tahun terbit: 2024

Ukuran: 14 x 21 cm

Tebal: xlii + 244 halaman



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya