Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
Di tengah munculnya sejumlah kasus degradasi lingkungan, ada sedikit kabar baik bagi kelangsungan hidup manusia di planet ini. Sebuah laporan dari Perserikatan Bangsa-bangsa, Senin (9/1) menyebut lubang di lapisan ozon yang telah mengancam Bumi sejak 1980-an, mulai menyusut.
Sebelumnya, penemuan lubang besar di atmosfer, lapisan gas yang melindungi kehidupan di Bumi dari radiasi ultraviolet, memicu kewaspadaan dan tindakan global. Lantas, bagaimana lubang itu sekarang bisa menyusut?
Berikut beberapa tindakan yang dilakukan pembuat kebijakan, ilmuwan, dan kalangan industri yang telah bekerja sama bertahun-tahun untuk menutup lubang tersebut, seperti disarikan dari AFP:
1975-84: Lubang di atas Antartika
Antara tahun 1975 dan 1984, ahli geofisika Inggris Joseph Farman melakukan penelitian menggunakan balon cuaca yang mengungkapkan penurunan lapisan ozon secara bertahap dan mengkhawatirkan di stratosfer, persisnya tepat di atas pangkalan ilmiah Teluk Halley di Antartika. (lihat foto/grafis)
"Lubang" ini, yang biasa muncul selama musim semi belahan bumi selatan, melengkapi temuan dua ahli kimia dari University of California, Mario Molina dan Sherwood Rowland.
Mereka berpendapat bahwa zat chlorofluorocarbons (CFC) yang banyak digunakan dalam lemari es dan hairspray dan bahan aerosol lainnya, telah menjadi penyebab menipisnya lapisan ozon. Kedua peneliti tersebut memenangkan hadiah Nobel kimia pada1995 untuk penelitian mereka.
1985: Perjanjian pertama
Pada Maret 1985, sebanyak 28 negara menandatangani Konvensi Wina untuk Perlindungan Lapisan Ozon. Itu merupakan perjanjian internasional pertama tentang masalah ini. Mereka berkomitmen untuk memantau penipisan ozon dan dampaknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Amerika Serikat, yang telah melarang penggunaan CFC dalam aerosol pada tahun 1978, ikut meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1986.
1987: Protokol Montreal
Kesepakatan Wina membuka jalan bagi Protokol Montreal dua tahun kemudian. Kesepakatan ini menetapkan target untuk menghentikan produksi dan konsumsi bahan perusak ozon secara bertahap.
Awalnya, kesepakatan ini ditandatangani oleh 24 negara dan kemudian diikuti anggota Masyarakat Ekonomi Eropa (sekarang UE), hingga akhirnya diratifikasi oleh semua anggota PBB. Hal itu menjadikannya salah satu perjanjian lingkungan paling sukses yang pernah ada.
Kesepakatan itu bertujuan untuk memangkas setengah penggunaan CFC dan gas halon (banyak digunakan dalam alat pemadam kebakaran) selama 10 tahun.
Pada akhir 1987, setelah para ilmuwan mengungkapkan lubang di Antartika semakin besar, perusahaan kimia besar juga setuju untuk mengembangkan bahan alternatif yang tidak terlalu berbahaya untuk CFC.
1989: Kawah di atas Kutub Utara
Pada awal tahun 1989, area yang menipis juga terdeteksi di lapisan ozon di atas Kutub Utara.
Pada tahun 1990, Protokol Montreal diperkuat untuk mengakhiri produksi CFC di negara-negara industri pada akhir tahun 2000. Negara-negara kaya juga setuju untuk membantu negara-negara miskin memenuhi biaya untuk mematuhi protokol tersebut.
Setahun kemudian, Tiongkok bergabung dengan kesepakatan itu, diikuti India yang bergabung pada tahun 1992.
1995: HCFC
Pada akhir 1995, Uni Eropa telah melarang total CFC dan juga mulai menghilangkan gas pengganti yang disebut HCFC (hydrochlorofluorocarbons), Bahan ini digunakan dalam alat pendingin dan penyejuk udara. Keduanya dianggap menguras ozon dan merupakan penghasil gas rumah kaca yang kuat.
Pada konferensi bulan Desember itu, negara-negara industri setuju untuk melarang HCFC pada tahun 2020.
2006: Rekor lubang
Lubang terbesar yang pernah terlihat di lapisan ozon di atas Antartika tercatat pada akhir September 2006.
Oleh karena itu, setahun kemudian, target yang dicanangkan pada kesepakatan bersejarah di Montreal untuk untuk penghapusan HCFC oleh negara-negara berkembang, dipercepat.
2016: Lubang mulai mengecil
Pada Juni 2016, peneliti AS dan Inggris menulis di majalah Science bahwa lubang di Antartika menyusut. Mereka berharap untuk sepenuhnya pulih pada tahun 2050.
2023: Pemulihan dalam empat dekade
Pada 9 Januari 2023, PBB mengumumkan bahwa lapisan ozon berada di jalur yang benar untuk pulih sepenuhnya dalam empat dekade.
Tapi, mereka memperingatkan skema geo-engineering (manipulasi/rekayasa cuaca) yang kontroversial untuk menghentikan laju pemanasan global, dapat membalikkan kemajuan itu. (AFP/M-3)
DI tengah krisis iklim yang kian nyata dan ketidakadilan sistemis terhadap perempuan yang terus menganga, Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar kepemimpinan yang cerdas dan tegas.
Ketika wilayah jelajah buaya menyempit akibat alih fungsi lahan dan pembangunan permukiman, buaya cenderung masuk ke lingkungan manusia untuk mencari makan.
PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) menyelenggarakan serangkaian kegiatan lingkungan bertema Beat Plastic Pollution atau Hentikan Polusi Plastik.
Sebagai bentuk implementasi nyata dari komitmen terhadap prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG), Krakatau Posco menjalankan program konservasi mangrove di Desa Lontar, Serang
Hotel ibis Palembang Sanggar dengan bangga mengumumkan keberhasilan meraih sertifikasi Green Key, sebuah penghargaan prestisius bertaraf internasional
Kepolisian RI dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk sinergi dalam penegakan hukum guna memastikan kelestarian lingkungan hidup Indonesia.
Lokapasar khusus produk rumah tangga dan gaya hidup atau home and living, Renos, menggelar Renos Fair 2025 berkolaborasi dengan Semasa Piknik.
PT Pertamina mendorong produk-produk ramah lingkungan besutan Namira Ecoprint untuk bisa menjelajahi pasar internasional melalui program UMK Academy 2025.
Inisiatif pengembangan produk baja yang efisien energi dan ramah lingkungan merupakan langkah penting dalam memperkuat daya saing industri nasional.
PT Bank Negara Indonesia (BNI) terus menunjukkan komitmennya sebagai lembaga keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Tahun 2024, Indonesia sendiri menyumbang hampir 34 juta ton sampah.
Nah, itulah yang kita lakukan di Savyavasa. Jadi luxury bukan dari apa yang kita lihat, tapi orang bisa merasakan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved