Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Baik itu iPhone terbaru atau speaker pintar generasi berikutnya, banyak orang tidak dapat menahan diri untuk tidak menghabiskan uang saat gawai (gadget) baru diluncurkan.
Sementara pencinta gawai sering dilihat sebagai materialistis, sebuah studi baru menunjukkan bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, para peneliti dari Duke University menyarankan bahwa orang yang suka membeli perangkat baru suka belajar tentang teknologi baru.
"Terlepas dari asumsi yang dipegang orang tentang gadget teknologi - yaitu, bahwa mereka adalah pembelian materialistis dan bahwa orang yang mencintai gadget adalah orang yang materialistis - hasil kami menunjukkan bahwa mencintai gadget terkait dengan pertumbuhan pribadi," kata Dr Justin McManus, penulis utama studi tersebut, seperti dilansir Daily Mail, kemarin.
Dalam studi mereka, tim mulai memahami apakah mengidamkan gawai terbaru berarti Anda materialistis, atau apakah itu mempromosikan sesuatu yang lebih memuaskan.
Sekelompok 926 peserta mengambil bagian dalam penelitian ini. Pertama, peserta diminta untuk menilai apakah mereka menganggap berbagai pembelian sebagai materialistis.
Ini termasuk pembersih rumah tangga, peralatan rumah tangga, buku pengembangan diri, gadget, sepatu lari, jeans biru, makanan hewan, berlangganan surat kabar nasional utama, enam bungkus bir, dan tiket bioskop.
Selanjutnya, peserta diminta untuk menilai mengapa mereka biasanya membeli gawai dengan motif berikut – 'Saya senang mempelajarinya', 'Saya menggunakannya sebagai simbol status', 'Saya menggunakannya untuk berafiliasi dengan orang lain', 'Saya menggunakannya untuk merasa unik' atau 'Saya menggunakannya untuk merasa kuat.'
Hasil penelitian bagian pertama mengungkapkan bahwa gadget dipandang sebagai barang yang paling materialistis, disusul bir enam bungkus dan tiket bioskop.
Sebaliknya, pembersih rumah tangga, makanan hewan peliharaan, dan peralatan rumah tangga dipandang sebagai barang yang paling tidak materialistis.
Namun, di bagian kedua penelitian, para peneliti menemukan bahwa peserta paling mungkin membeli gawai dengan motivasi untuk mempelajarinya.
"Hubungan ini didorong oleh orang-orang yang merasa lebih kompeten dan lebih jelas ketika orang secara konsisten memprioritaskan keterlibatan dalam kehidupan sehari-hari mereka, daripada kesenangan," jelas Dr McManus.
Para peneliti percaya bahwa temuan ini dapat memberikan 'peta jalan' kepada konsumen tentang bagaimana menghasilkan kesejahteraan yang paling baik dari gadget mereka.
'Untuk memaksimalkan kesejahteraan dari konsumsi, kami mendorong konsumen untuk belajar tentang produk baru; carilah gadget yang mendorong kenikmatan intrinsik dan khususnya yang dapat mengarah pada pembelajaran keterampilan baru,' tulis para peneliti dalam studi mereka, yang diterbitkan dalam Personality and Individual Differences.
'Perilaku mencintai gadget yang dapat memberikan tantangan ideal juga akan bermanfaat.
Secara tradisional, orang mungkin juga mengalami pertumbuhan pribadi ketika perilaku mencintai gadget menyebabkan perubahan yang dirasakan dalam diri.'
Studi ini muncul tak lama setelah para peneliti di Ruhr University di Bochum menemukan bahwa bagi orang-orang yang materialistis, Facebook bertindak seperti alat untuk membantu mereka mencapai tujuan mereka.
Para peneliti menyurvei ratusan pengguna Facebook tentang aktivitas media sosial mereka, kecenderungan materialisme, dan objektifikasi serta instrumentalisasi teman-teman Facebook. Tim menemukan bahwa orang materialistis menggunakan Facebook jauh lebih sering daripada yang lain, dan dengan intensitas yang lebih besar, sebagai cara untuk mencapai tujuan dan merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. (M-2)
TAK mudah melangkah keluar dari kenyamanan, namun Almi membuktikan bahwa keberanian mencoba membuka pintu peluang besar.
Era Soekamto mengatakan akan terus melestarikan dan mempromosikan batik melalui karya-karya rancangannya sebagai seorang desainer serta menghadirkan platform Nusantara Wisdom.
Riset Akademik dalam Olahraga Prestasi Studi yang dilakukan Reilly, Bangsbo, dan Franks (2000) mencatat bahwa olahraga prestasi tidak lagi sekadar ajang unjuk kekuatan fisik dan bakat alami.
Profesor di Indonesia memiliki waktu yang sedikit untuk melakukan riset atau penelitian karena waktunya dihabiskan untuk mengajar di kampus.
Pentingnya regulasi yang proporsional, khususnya di sektor kesehatan. Salah satu contohnya adalah perlunya pendekatan berbasis bukti dalam mengatur produk tembakau alternatif.
WAKIL Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie optimis terhadap masa depan riset Indonesia.
C-Hub atau Connectivity Hub dirancang untuk menjadi pusat dinamis bagi penelitian interdisipliner, pertukaran budaya, dan keunggulan akademik.
TIM peneliti asal Korea Selatan berhasil menciptakan inovasi baru pengalihan molekuler yang bisa membalikkan transisi sel kanker menjadi tidak ganas.
Vitamin D kerap diasosiasikan sebagai suplemen yang mampu memperlambat penuaan. Vitamin D memang penting untuk membangun otot dan tulang.
Penelitian ini berawal dari kearifan lokal masyarakat Jawa yang telah lama memanfaatkan sarang tawon angkut-angkut untuk menyembuhkan luka, terutama pada bekas khitan.
Perpanjangan kerja sama ini merupakan tonggak penting hubungan dan kolaborasi kedua perguruan tinggi yang telah berjalan selama 10 tahun.
Para peneliti dari Vesuvius Challenge berhasil menguraikan gulungan naskah PHerc. 172 yang terkubur akibat letusan Gunung Vesuvius, mengungkap judul dan penulisnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved