Sepuluh Perempuan Merespons Masa

Fathurrozak
03/4/2022 10:00
Sepuluh Perempuan Merespons Masa
Pengunjung saat melihat karya Pameran Indonesian Women Artists #3: Infusions Into Contemporary Art di Galeri Nasional, Jakarta.(MI/ANDRI WIDIYANTO)

SEMBILAN figur perempuan dengan berbagai rupa busana berjejer di depan panel berwarna merah. Kain-kain yang mereka kenakan menjadi representasi latar belakang figur tersebut. Ada yang dibalut dengan kain tenun, ada yang mengenakan kebaya, ada pula yang berhias kain batik.

Sembilan figur itu ialah karya Sri Astari Rasjid berjudul 9 Pearls from Heaven yang menjadi pembuka dalam presentasi pameran Infusions Into Contemporary Art di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat. Kesembilan figur perempuan itu diciptakan Astari yang juga mantan Duta Besar RI di Sofia, Bulgaria, dari wayang golek dengan tinggi 150-an sentimeter. Menjadi kekhasan Astari sebagai seniman yang punya fokus pada seni patung.

Selain Astari (1953), ada juga karya-karya dari sembilan perupa perempuan lain yang ikut serta. Mereka ialah Arahmaiani, Bibiana Lee, Dolorosa Sinaga, Dyan Anggraini, Indah Arsyad, Melati Suryodarmo, Mella Jaarsma, Nunung W S, dan Titarubi.

Kesamaan mereka ialah berusia lebih dari setengah abad dan secara konsisten tetap berkarya di lebih dari dua dekade. Ke-10 perempuan itu lahir dalam rentang 1948-1969 dengan Nunung yang jadi paling senior dan Melati Suryodarmo yang lahir paling belakang (1969).

Karya-karya yang dipamerkan mulai instalasi, patung, lukisan, hingga seni pertunjukan. Arahmaiani (1961) menampilkan karya monumental Lingga Yoni yang menggabungkan unsur Arab pegon dan konsep visual lingga dan yoni. Dyan Anggraini (1957) menampilkan karya permenungan personal dari rutinitas harian berwujud 24 sketsa berjudul Koor Bungkam miliknya yang dituangkan di atas kertas-kertas dinas kantor tempatnya bekerja.

Karya-karya yang muncul juga bukan melulu olahan dari karya yang sudah ada. Namun, banyak juga para perempuan perupa tersebut menciptakan karya terbaru mereka untuk pameran itu.

Seperti Nunung W S (1948) yang membawa lukisan akrilik di atas kanvas berdimensi 180x500 sentimeter dengan gaya abstraknya untuk menginterpretasikan nama surat di salah satu Alquran, an-Nisa. Karya tersebut Nunung garap pada 2021. Ada pula karya Dolorosa (1952) berupa patung berdimensi 19x48x74 sentimeter dari materi fiber­glass berjudul Aku dan Ajal yang diciptakan pada 2022. Karya terbaru Dolorosa itu terkesan impresionis dan literal dengan memperlihatkan figur manusia yang berdiri di depan liang kubur bila dibandingkan dengan karya-karya khasnya yang lebih abstraktif.

Indah Arsyad (1965) juga membawa instalasi video terbarunya, The Ultimate Breath, yang menampilkan ruang gelap dengan permainan cahaya dan material kaca disertai unsur audio untuk membangun nuansa yang lebih imersif. Sementara itu, Melati Suryodarmo (1969) yang sekaligus menjadi seniman yang paling muda dalam pameran itu memperpanjang usia karya performanya, Amnesia.

Mella Jaarsma (1960) yang lekat dengan karya kontemporer penggabungan material fesyen dengan model, membawa karya yang merespons situasi pandemi. Ia menampilkan seri karya Wearing the Horizontal yang memanfaatkan kulit pohon.

"Karya ini dibuat saat awal pandemi covid. Bagaimana kita bisa memikirkan kehidupan, berada dalam situasi kita bisa hidup dan mati. Karya ini antara seperti vertikal dan baju yang horizontal. Menunjukkan menuju masa depan, suatu saat harus berbaring. Ini dibuat dengan kulit pohon, saya melakukan penelitian, dulu kulit pohon dipakai sebagai baju di Indonesia, sebelum tekstil masuk," kata Mella dalam pembukaan pameran, Selasa (29/3).

Karya Mella tersebut berkorelasi dengan karya Dolorosa yang juga merespons situasi pandemi dan membicarakan kematian. Selain keduanya, Bibiana Lee (1956) juga membawa karya terbarunya yang juga merespons situasi pandemi dan beririsan dengan tema kemanusiaan. Ia menyuguhkan karya interaktif I Am not a Virus berupa samsak berwarna kuning dan dibubuhi dengan tulisan di sisi-sisinya.

Bibiana barangkali merupakan representasi dari triple minoritas. Merupakan seorang perempuan nonmuslim dan keturunan Tionghoa, ia membicarakan diskriminasi dan merekam opresi yang dialaminya. Selama bermukim di luar negeri, ia juga melihat sinisme yang dialami orang Asia di tengah pandemi covid yang bermula dari Tiongkok.
Titarubi (1968) juga membawa salah satu karya monumentalnya, History Repeats Itself, karya instalasi kapal raksasa dan sosok hantu yang berdiri di atasnya dengan balutan warna emas. Karya tersebut memiliki fokus tema terkait sejarah Indonesia dan kolonial, serta menjadi upaya pembacaan masa lalu bangsa Indonesia sebagai bangsa pelaut.

Dari karya-karya yang tersaji oleh 10 seniman dengan usia mereka semua berada di atas 50 tahun, tentu menandakan daya lenting para perempuan seniman tersebut dalam mencipta meskipun juga, sayangnya, karya-karya mereka jarang tercatat.
Tentu pameran edisi ketiga seri Indonesia Woman Artist (IWA) itu perlu diapresiasi sebagai upaya mencatat perempuan perupa dalam sejarah seni Indonesia. Sejak digagas pada 2007 dan berlanjut pada 2019 yang diisi jajaran perupa muda, IWA bisa menjadi cara untuk merebut narasi sejarah seni yang kerap kali didominasi nama-nama seniman laki-laki.

"Karya-karya yang ditampilkan dari 10 perempuan perupa ini bukan saja soal estetiknya, tapi karya-karya mereka juga memikirkan kemanusiaan dan banyak isu. Penting untuk diperbarui. Mereka para perupa yang usianya semua di atas 50 tahun dan telah berkarya lebih dari dua dekade. Jadi, kalau bukan kami yang melakukan (pencatatan) ini, siapa lagi nanti?" kata kurator sekaligus salah satu penggagas Indonesia Woman Artist Carla Bianpoen, Selasa (29/3).
Ke depan, IWA juga merencanakan untuk mengadakan biennale seniman perempuan untuk lebih banyak meng­akomodasi nama-nama seniman dan membawa karya mereka pada publik luas. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya