Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
THE Parker, wahana tanpa awak milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), berhasil mencapai atmosfer terdekat Matahari. Kabar itu mereka umumkan dalam pertemuan American Geophysical Union, Selasa, (14/12).
Atmosfer itu kini mereka namai dengan sebutan 'korona'. Para ilmuwan NASA akhirnya berhasil menjalankan misi tersebut setelah melakukan percobaan selama delapan kali sejak misi itu dimulai pada April lalu.
Dari keberhasilan kali ini, para ilmuwan berharap Parker dapat membawa pulang data tentang 'korona' dan matahari, yang kemudian akan diteliti beberapa bulan lagi. Ilmuwan Johns Hopkins University, Nour Raouafi mengatakan pencapaian kali ini sangat menarik.
Menurutnya, matahari tidak memiliki permukaan yang padat. Oleh karena itu korona adalah atmosfer yang tepat untuk dijelajahi. Wilayah ini memiliki medan magnet yang sangat kuat karena cukup dekat, dan dari situ pula akan membantu upaya penelusuran akan ledakan matahari yang dapat memengaruhi kehidupan di Bumi.
Misi Parker sendiri pertama kali diluncurkan pada 2018. Kala itu, Parker berada di jarak 8 juta mil (13 juta km) dari pusat matahari dan mulai dapat merasakan angin matahari. Sejak sat itu perjalanan eksplorasi Parker terus berlanjut, bahkan sudah keluar masuk korona sebanuak tiga kali.
"Masing-masing transisi berjalan mulus. Tapi ini paling dramatis karena bisa berada di sana selama sekitar lima jam," kata Ilmuwan dari University of Michingan,Justin Kasper, seperti dilansir dari The Guardian, Minggu, (19/12).
Kasper menambahkan, eksplorasi Parker ini berjalan dengan sangat cepat karena melaju dengan kecepatan lebih dari 62 mil (100 kilometer) per detik. Meski begitu, Parker tetap dapat memberikan gambaran terbaru, dimana korona tampak lebih berdebu dari pada yang pernah diperkirakan sebelumnya.
"Eksplorasi korona di masa depan akan membantu para ilmuwan untuk lebih memahami asal usul angin matahari bagaimana angin itu dipanaskan, dan dipercepat ke luar angkasa," imbuhnya.
Parker selanjutnya akan dikirim kembali ke korona hingga ke titik terdekat matahari hingga 2025 mendatang. Keberhasilan percobaan kesembilan ini sendiri berlangsung pada Agustus lalu, dimana laporannya kini juga telah dipublikasikan lewat jurnal American Physical Society. (M-4)
Peneliti berhasil mengembangkan metode fotokatalitik untuk memecah bahan kimia berbahaya PFAS menggunakan sinar matahari.
Temuan ini juga dapat membuka area penyelidikan baru dalam berbagai masalah kesehatan lain yang terkait dengan keselarasan jadwal tidur dan jam sirkadian manusia.
Sinar ini terdiri dari berbagai jenis radiasi elektromagnetik, termasuk cahaya tampak, ultraviolet (UV), dan inframerah.
UPF atau Ultraviolet Protection Factor merupakan tingkatan perlindungan kain dari paparan sinar UV
Bagi masyarakat yang memiliki risiko lebih besar terkena kanker kulit ini dapat menggunakan tabir surya yang mampu menghalau UV A dan UV B.
Kalsium dan fosfor dalam Vitamin D3 dibutuhkan sebagai nutrisi untuk menguatkan tulang. Vitamin D3 berperan untuk kesehatan tulang dan otot.
Penelitian ini memberikan pandangan yang lebih lengkap mengenai pembentukan tata surya kita 4,5 miliar tahun yang lalu, yang tidak bisa didapatkan hanya dari meteorit yang jatuh ke Bumi.
Model ini diperkirakan mampu memberi peringatan dini terhadap badai matahari yang berpotensi mengganggu satelit, jaringan listrik, serta sistem komunikasi global.
Penelitian terbaru mengungkap longsor unik di Bulan, Light Mantle di Lembah Taurus-Littrow, kemungkinan dipicu puing dari tumbukan kawah Tycho.
Para ilmuwan telah mengamati aktivitas manusia di tata surya untuk menentukan lokasi terbaik untuk mencari sinyal dari kehidupan alien.
Dua letusan kembar tersebut menjadikan 20 Agustus sebagai salah satu hari paling dramatis dalam aktivitas matahari.
Wahana antariksa Juno milik NASA berhasil menangkap sinyal aneh berupa gelombang plasma raksasa di zona aurora di atas Kutub Utara Jupiter.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved