Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
Pasir dalam gelas waktu
menghambur
ke dalam plasmaku.
Lalu di sana tersusun gurun
dan mungkin oase
tempat terakhir burung-burung.
(Nota untuk Umur 49 Tahun, Goenawan Mohamad, 1990)
ADA apa dengan burung-burung? Pertanyaan itu tebersit ketika melihat judul buku baru Tempo Publishing, 80 Tahun Burung-burung, Goenawan Mohamad di Mata Sahabat. Burung, kata tunggal, rasanya masih bisa dinalar. Burung-burung…
Pertanyaan itu kemudian saya simpan seiring rekam digital acara peluncuran buku tersebut pada akhir Agustus silam, berjalan.
Mencapai usia 80 tahun bisa dikatakan sebagai suatu hal yang tidak biasa. Angka Harapan Hidup orang Indonesia per tahun lalu saja ‘hanya’ di kisaran 71 tahun. Maksudnya, mereka yang lahir di tahun 2020 punya harapan (untuk) hidup sampai di umur tersebut. Angka Harapan Hidup itu sudah lebih tinggi daripada, katakanlah, mereka yang lahir sedasawarsa atau dua dasawarsa lalu, berkat perbaikan gizi, teknologi kesehatan, dan kemajuan lain.
Jadi, cukup istimewa bagi mereka yang melampauinya, apalagi menyentuh kepala delapan. Makin istimewa lagi jika di usia tersebut, seseorang masih terus berproses dan menghasilkan sesuatu.
Goenawan Mohamad ialah salah satunya. Sosok dengan banyak predikat --jurnalis, esais, seniman, penyair, dramawan, budayawan, intelektual ialah sejumlah di antaranya—itu baru saja memasuki usia ke-80 pada 29 Juli lalu. Sebagai ‘salam’, belasan sahabat GM, demikian nickname yang identik dengan dirinya, menulis kesaksian yang lantas dibukukan dalam 80 Tahun Burung-burung, Goenawan Mohamad di Mata Para Sahabat.
Direktur Utama Tempo, Arif Zulkifli, dalam acara peluncuran mengatakan buku tersebut merupakan bingkisan Tempo dan para sahabat GM untuk kiprahnya yang membanggakan di berbagai bidang, khususnya dunia sastra dan jurnalistik. Mereka yang terlibat dinilai mengetahui titik-titik tertentu dalam hidup sang penulis Catatan Pinggir tersebut, titik-titik yang tidak banyak diketahui orang awam
“Menurut saya GM itu bukan orang yang suka disoroti sejarah hidupnya, apalagi aspek-aspek pribadinya. Dia paling tidak suka, sehingga kalau minta GM untuk menulis biografi, itu adalah permintaan yang sia-sia,” ujar Arif.
Buku ini merangkum beberapa tema besar, di antaranya soal GM dan Tempo, GM dan kemerdekaan pers, GM dan seni, GM dan kebudayaan, hingga GM dan dunia pemikirannya. “Itu kita susun. Itu juga tidak gampang karena kita lihat bahwa GM itu dalam 80 tahun usianya, mulai dari usia 20an ketika mulai menulis, itu kegiatannya banyak sekali dan minatnya dari ufuk ke ufuk,” imbuhnya.
Dalam acara peluncuran, Direktur Tempo periode 1971--1994, Harjoko Trisnadi, mengungkapkan kisahnya ketika mendirikan dan memperjuangkan eksistensi majalah Tempo bersama GM adalah hal yang tidak akan pernah ia lupakan. Ia menceritakan pengalamannya ketika ia, GM, dan beberapa pimpinan media massa lain dipanggil menghadap Menteri Penerangan RI Harmoko, di tahun 1991.
“Pak Harmoko di tengah-tengah uraiannya menyampaikan akan bahaya kembalinya PKI menyusupi media massa, dan dia juga mengatakan bahwa ada media yang mempekerjakan orang-orang Lekra. Di luar dugaan, tiba-tiba GM memotong pembicaraan Harmoko dan dengan lantang mengatakan ‘sebutkan saja, Pak, siapa pers itu!’” ujar Harjoko.
Aksi GM itu diakui Harjoko merupakan hal yang sangat berani dan nekat. Semua yang hadir bergeming. Sempat khawatir akan kelanjutan nasibnya dan GM yang mewakili Tempo kala itu, ia bersyukur bahwa Harmoko tak terpancing emosi.
“Saya perhatikan wajah Harmoko menunjukkan kemarahan, tapi dia hanya diam dan sesaat kemudian baru dia mengatakan bahwa semua harus hati-hati. Itu satu hal yang luar biasa dan tidak bisa saya lupakan,” ucapnya.
Keberanian dan konsistensi dalam menjaga apa yang diyakininya, itu dikatakan Harjoko sebagai hal paling menonjol dari GM, yang mungkin hanya bisa dilihat oleh para sahabat seperjuangannya.
Cerita menarik lain diutarakan Direktur Tempo 2007-2017, Bambang Harymurti. Alkisah, beberapa waktu pascapembredelan Majalah Tempo untuk kedua kalinya, Harymurti mendapat informasi dirinya hendak ditahan Kopassus yang saat itu dikomandoi Mayjen Prabowo Subianto. Enggan untuk lari, ia memilih menghadapi masalahnya langsung, walau belum tahu duduk persoalannya.
Diaturlah pertemuan dengan Prabowo. “Saya datang, ngeri-ngeri, dengan sopir. Saya minta dia foto, pulang dan proses fotonya, catat jamnya. Saya masuk, ngobrol, tiba-tiba ada telepon dari jenderal lain.”
Sambil menunggu, ia diminta Prabowo untuk melihat sebuah laptop. “’Ini kamu lihat yang kita sita dari kelompok ekstrem’. Itu laptop disita dari Tanahtinggi, waktu itu ada ledakan di sana,” ungkap Harymurti. Ia merujuk pada peristiwa bom di Tanahtinggi, Jakarta Pusat, pada Januari 1998.
Di laptop itu, ia mendapati sejumlah file notulensi rapat dengan nama ‘Pak Brewok’ berseliweran di dalamnya. Harymurti tersadar, figur yang dimaksud di situ ialah GM. “Waktu itu dia kayak Che Guavara lah, kumis segala macam. Tapi, Prabowo menyangka itu Pak Surya Paloh, apalagi saat itu saya dan beberapa teman sedang direkrut Pak Surya untuk Media Minggu (edisi akhir pekan koran Media Indonesia). Saya diam saja. Dalam hati, ya biarin aja. Akhirnya Pak Surya diperiksa,” kenangnya.
Dari situ, ia menyadari GM aktif dalam berbagai kegiatan di bawah tanah. Satu modus operasi, yang menurutnya lazim dilakoni GM pada masa gerakan Manifes Kebudayaan di era 1960-an. “GM emang biasa operasi klandestin, mirip comandante lah, kayak di Amerika Latin,” kata Harymurti.
Tulisan dewa
Ketika bicara GM, sukar untuk tidak mengaitkannya dengan ‘Catatan Pinggir’, kolom yang mulanya bernama Fokus Kita dan sejak 1977 masih terus terbit tiap pekan di Majalah Tempo. Di situ lah, GM biasa menyuarakan lirih gumaman-gumaman dalam benaknya.
Uu Suhardi, mantan redaktur bahasa Tempo yang menyunting ‘Caping’, selama dua dekade mengatakan, awalnya kolom itu sempat mendapat perlakuan berbeda. Dianggap tidak perlu disunting lantaran itu ialah tulisan seorang Goenawan Mohamad yang notabene pendiri Tempo.
“Kami pikir ini tulisan dewa, buat apalagi disunting? Tapi, setelah majalahnya terbit, Mas Goen kirim surel, dengan tulisan besar semua, ‘tolong tulisan saya diedit juga’.”
Yang unik dari Caping, bagi Uu, ialah karakternya yang separuh puisi. Ada rima, ada permainan bunyi, yang ditekankan dalam diksi-diksi pilihan GM. Seperti bagaimana GM mempertahankan bunyi ‘th’ dengan menulis mithos, alih-alih ‘mitos’ sebagaimana kata bakunya. Kadang demi bunyi, GM menolak satu kata diganti kata lain yang bermakna sama.
“Dari bunyi itu, penafsiran atau penyerapan bisa berbeda walau maknanya sama. Dua pulu tahun lebih mengedit ‘Caping’, Mas Goen ternyata suka salah nama diri atau nama tempat. Kalau menemukan, senang karena, oh ternyata Mas Goen enggak sempurna,” beber Uu sambil tertawa.
Tidak hanya yang berlatar Tempo, sahabat-sahabat GM dari lingkaran lain, seperti Stanley, Rizal Mallarangeng, ataupun Ayu Utami turut membagi kesaksian mereka mengenai pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, itu. Kegemaran GM terhadap filsafat, sosok GM yang pemikir, dan selalu berorientasi pada karya hadir dalam tulisan-tulisan mereka.
"GM adalah seorang pemikir yang sangat mengikuti perkembangan filsafat barat tapi selalu meneruskan pemikiran-pemikiran para pendiri bangsa," ujar Ayu.
Ia mengatakan, meski tidak pernah menulis soal Tjipto Mangunkusumo, GM sangat mengagumi sosok tersebut. Sosok Tjipto yang selalu terbuka terhadap perbedaan dan tidak menggunakan sentimen identitas menjadi panutan GM dalam menjalani kehidupannya.
“Saya melihat GM sebagai orang yang memiliki kesamaan dengan Tjipto Mangunkusumo, sebagai orang yang radikal dan sama sekali tak mau menggunakan sentimen identitas dalam memperjuangkan apapun. Saya melihat Mas Goen juga begitu, bahwa perjuangan itu tidak boleh didasari oleh identitas-identitas apapun,” pungkasnya.
Sebagai sebuah bingkisan ulang tahun, buku ini tampaknya telah memenuhi tujuannya dalam mengapresiasi GM. Kehadiran 80 Tahun Burung-burung, Goenawan Mohamad di Mata Para Sahabat bisa jadi pilihan menarik untuk mereka yang ingin memetik inspirasi dari kehidupannya, walau tidak (mungkin) meneropong seluruh sepak terjang dari sosok yang diibaratkan sebagai burung langka itu.
Tepatnya, burung langka dalam sangkar intelektual modern Indonesia, seperti diumpamakan oleh pakar politik Asia Tenggara, R William Liddle, dalam kata pengantar buku Catatan Pinggir 3.
Ah, lagi-lagi burung… Ini mengingatkan saya, betapa kecewa ketika tamat menyaksikan acara peluncuran, tidak terjawab rasa penasaran akan judul yang tersemat pada buku. Untunglah beberapa hari kemudian, Arif bersedia memberi jawaban. "Diambil dari sajak GM, Nota untuk Umur 49 Tahun," begitu katanya.
Jawaban Arif menarik rasa keingintahuan lain. Jadi, ada apa antara GM dan burung-burung? Saya memperhatikan bahwa avatarnya di Twitter ialah foto burung, juga novelnya Surti + Tiga Sawunggaling yang berkenaan dengan lukisan burung-burung di kain batik yang menjelma ‘hidup’.
Tapi, saya tidak keburu mengejar jawaban Arif. Tenggat tepat di depan mata. Barangkali, ya siapa tahu, akan ada cerita GM dan burung-burung di lain waktu. (M-2)
DATA BUKU
Judul : 80 Tahun Burung-burung, Goenawan Mohamad di Mata Para Sahabat
Penerbit : Tempo Publishing
Tim Penulis : Arif Zulkifli, Arvianti Armand, Ayu Utami, Bambang Harymurti, Butet Kertaredjasa, Harjoko Trisnadi, Hilmar Farid, Irawan Saptono, Laksmi Pamuntjak, Sitok Srengenge, S Malela Mahargasari, Putu Setia, Qaris Tajudin, Rizal Mallarangeng, Tosca Santoso, Stanley, Tony Prabowo, Uu Suhardi, dan Wahyu Dhyatmika
PERNAHKAH terpikir rasanya bekerja sebagai insinyur atau (engineer) di sebuah perusahaan migas besar bahkan ditempatkan di negeri orang?
Buku Ternyata Tanpamu ialah kumpulan puisi tentang perjalanan kehilangan dan perjalanan emosi.
PANDANGAN seputar kecantikan yang membawa dampak positif pada beberapa hal dalam kehidupan tertuang di buku The Essentiality of Beauty yang diluncurkan oleh perusahaan kecantikan Loreal.
Ingin mati, tapi malah mengurus penguburan jenazah. Ingin mati, tapi malah tertunda gara-gara seporsi mi ayam.
Membungkus kisah hubungan antara Indonesia-Timor Leste menjadi lebih kekinian.
BISA jadi hari-hari berlalu bersemangat dalam berkegiatan seperti sekolah atau bekerja, tanpa pernah mengerti apa itu kesepian.
PELUNCURAN buku Mengarungi Jejak Merajut Asa, 75 Tahun Indonesia Tiongkok yang diterbitkan IRCiSoD digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Kamis, (22/5).
KPU Klaten, Jawa Tengah, meluncurkan dua buku tentang penyelenggaraan Pilkada 2024 di Kabupaten Klaten. Peluncuran kedua buku ini digelar di salah satu hotel di Klaten, Kamis (24/4).
Gajah Tidur yang Terbangun: 50 Tahun Inovasi Digital Metrodata.
METRODATA, perusahaan yang bergerak di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), meluncurkan buku Gajah Tidur yang Terbangun: 50 Tahun Inovasi Digital Metrodata
Gender dalam bahasa tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial budaya tempat bahasa itu berkembang dan digunakan.
Fishipol UNY meluncurkan sebuah buku eulogi berjudul 'Supardi, Dari Taman Siswa ke Santiniketan: Humanis, Humoris, Harmonis' pada Jumat, 14 Maret 2025.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved