Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
PANDEMI covid-19 menjadi bencana kemanusiaan dan ekonomi terbesar abad ini. Jutaan orang meregang nyawa karena patogen tersebut. Di India, kita melihat bagaimana ratusan mayat bergelimpangan dan terpaksa dikremasi massal. Di Brasil, Peru, Argentina, dan negara Amerika Latin lainnya serta Afrika, pemandangan yang kurang lebih sama kita saksikan di layar kaca. Meski tidak seseram di negara-negara tersebut, kita di Indonesia, pun nyaris mengalami hal serupa saat kapasitas Wisma Atlet, Kemayoran dan Taman Pemakaman Umum Pondok Rangon, Jakarta Timur, disesaki pengidap korona.
Sejauh ini, suka tidak suka, disiplin menjaga protokol kesehatan dan mengurangi mobilitas merupakan cara paling minimal yang bisa kita tempuh agar tidak tertular. Ingat pesan ibu. Cara lainnya, tentu saja dengan vaksinasi. Namun, itu pun harus dilakukan menyeluruh, global, bukan parsial. Sebab, percuma jika satu negara divaksin, sedangkan lainnya tidak dan mobilitas manusia tidak lagi terbatas berkat kecanggihan teknologi transportasi.
Tiap negara tentu ingin menjadi yang pertama mendapat alokasi vaksin. Kita mungkin masih ingat pada Februari lalu, ketika Amerika Serikat mengumumkan tidak akan menyumbangkan dosis apa pun ke negara-negara miskin sampai memiliki pasokan yang berlimpah. Tidak lama kemudian, India pun menghentikan ekspor vaksinnya. Semua ini tentu keputusan politik, karena mereka mementingkan untuk memvaksinasi populasi warganya sendiri. Negara-negara di kawasan Uni Eropa, terutama yang kaya, pun setali tiga uang. Masing-masing memiliki ego dan ogah berbagi, bahkan hanya untuk sekadar melonggarkan hak paten atau lisensi.
Menurut artikel di The Guardian, hingga Maret lalu, sekitar 450 juta dosis vaksin telah diberikan di seluruh dunia, atau sama dengan 5,8 dosis untuk setiap 100 orang. Tetapi, di negara-negara termiskin, hampir tidak ada yang divaksinasi. Membiarkan virus bersirkulasi memberi waktu patogen itu untuk berkembang dan bermutasi, tentu sangatlah berbahaya. Inilah yang patut disesalkan. Pada pertemuan tingkat tinggi Dewan Keamanan, pertengahan Februari lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres bahkan telah mengkritik keras hal ini. Pendistribusian vaksin, kata dia, sangat tidak adil dan tidak merata karena 10 negara menguasai 75% dari semua vaksin secara global. Mereka hanya memberikan kepada yang mampu membayar. Padahal, menurut Guterres, ada 130 negara yang belum menerima satu pun dosis vaksin. “Pada saat kritis ini, pemerataan vaksin merupakan ujian moral terbesar bagi masyarakat global,” ujarnya seperti dikutip Aljazeera.com, saat itu.
Dia menyerukan program vaksinasi global untuk segera menyatukan mereka yang memiliki kekuatan untuk memastikan distribusi vaksin yang adil. Mereka adalah para ilmuwan, produsen vaksin, dan mereka yang dapat mendanai upaya tersebut. Merekalah, kata Guterres, yang harus memastikan semua orang di setiap negara mendapatkan vaksinasi sesegera mungkin. Dia juga meminta kekuatan ekonomi terkemuka dunia dalam Kelompok G20 untuk membentuk satuan tugas darurat yang memiliki kapasitas untuk menyatukan perusahaan farmasi dan pelaku industri dan logistik utama. Guterres berharap, produsen vaksin bisa mengabaikan hak kekayaan intelektual, sehingga perusahaan lain bisa memproduksi vaksin sesuai dengan komposisi yang telah diberi izin edar darurat.
Virus memang tidak terlihat secara kasat mata, tapi di tengah wabah ini kita telah menyaksikan ‘patogen’ lain yang jauh lebih mengerikan; egoisme dan keserakahan manusia. Tidak mengherankan jika di awal pandemi ini merebak, masker dan peralatan seperti tisu toilet pun jadi rebutan, apalagi vaksin yang nilainya menggiurkan. Ini sungguh ironi, di saat sebagian bangsa mampu berkolaborasi membangun dan mengeksplorasi planet lain di stasiun luar angkasa, mereka justru seolah lupa dengan nasib saudara lainnya di bumi yang sedang sekarat digerogoti pandemi.
Vaksinasi shingrix terbukti sangat efektif mencegah cacar api dan neuralgia pada pasien yang sudah terkena cacar api.
Vaksinasi BCG pada anak di negara-negara yang tinggi angka TB efektif untuk mencegah penyakit TB yang berat seperti TB di selaput otak, atau TB milier yang dapat menyebabkan sesak napas.
Demam setelah imunisasi pada anak adalah salah satu efek samping yang sering terjadi dan menjadi kekhawatiran banyak orang tua.
Inggris menjadi negara pertama di dunia yang memvaksinasi IMS gonorea, yagn difokuskan pada pria gay dan biseksual.
Vaksin HPV memberikan kesempatan bagi tubuh untuk membangun respon imunitas terhadap beberapa tipe HPV.
Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada 2024 adalah 87,3% dan antigen baru seperti PCV dan RV adalah 86,6%. Cakupan ini masih di bawah target untuk terbentuknya herd immunity.
Vaksin penguat atau booster Covid-19 masih diperlukan karena virus dapat bertahan selama 50-100 tahun dalam tubuh hewan.
Pelatih timnas Portugal Fernando Santos pun memanggil bek Lille Tiago Djalo untuk menggantikan posisi Pepe.
Bayern melaporkan kedua pemain itu saat ini melakukan isolasi mandiri di lokasi masing-masing dengan Hernandez tengah berada di Maladewa.
Torres baru bergabung dengan Barcelona dari Manchester City pada pekan lalu dan diperkenalkan di Camp Nou beberapa jam sebelum dinyatakan positif covid-19.
"Real Madrid mengumumkan bahwa Marco Asensio, Gareth Bale, Andriy Lunin, dan Rodrygo, serta asisten pelatih Davide Ancelotti positif covid-19."
Di awal pandemi, Ratu mengungsi ke Istana Windsor, di barat Inggris, bersama suaminya Pangeran Philip.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved