Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
JUMAT (23/4) lalu, sejumlah petinggi negara bertemu secara virtual untuk membahas perubahan iklim. Istilah kerennya KTT Iklim. Forum itu digagas Joe Biden, Presiden AS, negara yang mangkir dari komitmen pertemuan serupa di Paris, Prancis, yang digelar pada 2015. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dari forum yang diprakarsai Biden ini. Komitmen mereka (para pemimpin dunia) masih sama, intinya mereka berjanji menahan agar kenaikan suhu bumi tetap berada di ambang batas 1,5 derajatc celsius (2,7 fahrenheit) seperti era praindustri. Caranya pun kurang lebih sama, antara lain memangkas emisi karbon dengan mengurangi penggunaan energi fosil, serta meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan.
Tidak mengherankan ada saja yang pesimistis meski tidak sedikit pula yang menaruh harapan. "Pemerintah membuat komitmen dan pertanyaan besar berikutnya adalah apakah mereka benar-benar melaksanakannya atau tidak," kata Bill Hare, dari Climate Analytics. Kritik lainnya ialah minimnya bantuan untuk negara-negara miskin untuk mengatasi persoalan iklim meski Biden berjanji meningkatkan pendanaan dari negaranya yang telah dihentikan pendahulunya, Donald Trump. Itu pun belum tentu disetujui Kongres AS yang di dalamnya masih banyak bercokol orang dari Partai Republik.
Beda di AS, beda pula di negara lainnya seperti Tiongkok dan Jepang. September tahun lalu, Presiden Xi Jinping sesumbar negaranya yang menjadi produsen emisi terbesar dunia dan bertanggung jawab terhadap perubahan iklim akan menjadi netral karbon pada 2060. Sementara itu, Jepang dan Korea Selatan berjanji untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050. Mitigasi untuk mengatasi perubahan iklim tentu tak semudah janji. Ia terkait dengan banyak aspek, terutama masalah ekonomi. Pertanyaannya, betulkah mereka serius mau mengurangi penggunaan batu bara dan energi fosil, misalnya, dan beralih ke energi hijau? Maukah mereka mengurangi produksi kendaraan yang banyak menghasilkan polusi?
Mitigasi di level global ini sepertinya memang sukar diharapkan dan biarlah itu jadi tugas para pemimpin negara. Namun, sialnya kita sebagai masyarakat juga tidak bisa lepas tangan begitu saja. Seperti virus, bencana (termasuk yang diakibatkan perubahan iklim) tidak tebang pilih dan dapat menerjang siapa saja. Upaya penyelamatan pada skala kecil inilah yang diperlukan untuk memastikan daya tahan kita terhadap dampaknya. Istilahnya dari mitigasi kita beralih kepada adaptasi. Hal ini memang keniscayaan karena dampak perubahan iklim nyata dan mengandalkan mitigasi tingkat global saja tak akan bisa membuat kita selamat.
Seperti kata pakar komunikasi hijau Wimar Witoelar, masalah energi yang berdampak pada perubahan iklim merupakan masalah global, tapi setiap negara dan setiap individu bertanggung jawab atas masalah tersebut. Karena itu, menurut dia, untuk mengatasi serta menyelamatkan planet ini dan melindungi generasi mendatang, solusinya kembali kepada masyarakat. Boleh dibilang, kita mengalami krisis global yang harus dihadapi dengan solusi lokal.
Ya, saran saya minimal dari sekarang kita tidak buang sampah di sungai, tidak bangun restoran di bantaran kali, mulai mengurangi penggunaan plastik dan kendaraan pribadi, serta disiplin pakai masker. Untuk tindakan yang terakhir ini, selain untuk menghindari virus korona, melindungi kita dari polusi. Pengap memang. Namun, apa boleh buat, anggap saja itu bagian dari laku hidup di era yang katanya disebut ‘new normal’.
Seluruh sumber energi untuk menghasilkan hidrogen masih berkaitan dengan bawah permukaan bumi .Geofisika menjadi salah satu disiplin ilmu yang dapat mengidentifikasinya.
Penelitian dan pilot project perlu digencarkan untuk menyesuaikan algoritma machine learning dengan kondisi geologi Indonesia.
Pengembangan strategis ini mencakup PLTA Cibuni 3 berkapasitas 99 MW di Kecamatan Cidadap dan PLTA Cimandiri 3 berkapasitas 140 MW di Kecamatan Simpenan.
Untuk mengenal lebih dalam terkait Program Pemasaran Bersama PLN dan PLN icon Plus, berikut ini simak infografis yang menjelaskan kedua program tersebut.
PENGGUNAAN solar cell sebagai optimalisasi energi matahari belum dipahami masyarakat. Selama ini, penggunaan solar cell baru diketahui sebatas untuk pemanas air.
Pemanfaatan energi surya dengan dapat berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon.
Ayom All Purpose Sunscreen Body Lotion. Produk yang berfungsi sebagai tabir surya sekaligus body lotion itu memiliki kandungan SPF 50
Sebelum pemanasan global ada pendinginan global. Telaah sebelumnya menunjukkan dunia perlahan-lahan mendingin selama setidaknya 1.000 tahun sebelum pertengahan abad ke-19.
Hasil sejarah itu kemudian digunakan untuk membuat prediksi masa depan dan mengungkapkan kemungkinan tak akan ada es laut di Arktik dalam waktu 15 tahun.
Pemerintah Indonesia telah meninggalkan jejak terkait dengan kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia.
Apalagi, prediksi Jakarta bakal tenggelam dalam 10 tahun mendatang, turut mendapat sorotan dari pemimpin dunia, seperti Presiden AS Joe Biden.
AJANG Jakarta E-Prix ibu kota turut ambil bagian dalam upaya menghadapi perubahan iklim dengan mempromosikan kendaraan ramah lingkungan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved