Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Demi Bumi

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
10/1/2021 00:35
Demi Bumi
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

PADA akhir Oktober dan awal November 2020, dua topan dahsyat menghantam Filipina, memorakporandakan negara itu hanya dalam beberapa hari. Sebelumnya, kebakaran hutan menghancurkan lebih dari 20% hutan di Australia, menghanguskan lebih dari 1.400 rumah, serta menewaskan hampir satu juta hewan. Para ahli menghubungkan sejumlah peristiwa itu sebagai dampak dari perubahan iklim.

Paparan di atas ialah fakta, bukan cuplikan film-film fiksi ilmiah. Namun, jika ingin membayangkan bagaimana dahsyatnya bencana semacam itu, tidak ada salahnya juga jika Anda menonton film-film, seperti Chasing Ice (2012) atau dokumenter An Inconvenient Sequel: Truth to Power (2017). Film-film tersebut dapat dilihat di kanal Youtube. Bukan untuk menakut-nakuti. Setidaknya, di situ kita bisa mendapat gambaran bagaimana bahayanya dampak perubahan iklim.

Soalnya, bukan cuma kerusakan alam di muka bumi, dampak perubahan iklim juga telah memengaruhi kesehatan mental manusia. Istilah medisnya eco-anxiety. Kondisi yang digambarkan American Psychological Association (APA) sebagai ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan. Hal ini, menurut APA, makin sering dialami orang belakangan ini.

Sebuah jajak pendapat baru-baru ini, yang juga dilakukan APA, menyebutkan sebanyak 68% orang dewasa di AS mengaku sedikit cemas terhadap kondisi lingkungan. Sekitar setengah dari mereka yang berusia antara 18 dan 34 tahun mengatakan stres yang mereka alami karena memikirkan seputar perubahan iklim, telah memengaruhi kehidupan sehari-hari.

Mungkin di tengah kesibukan bergunjing di media sosial, hal-hal semacam itu belum atau barangkali tidak menjadi perhatian utama masyarakat kita. Peristiwa kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, topan/badai, mungkin hanya dibaca sekilas seperti halnya berita kasus curanmor atau pencurian helm, apalagi peristiwanya bukan terjadi di depan mata kepala sendiri.

Namun, percayalah cepat atau lambat, itu akan semakin sering kita lihat atau bahkan alami. Apalagi kini dunia makin terhubung. Peristiwa kecil di suatu tempat bisa berdampak di tempat lain. Bukankah pandemi covid-19 ini juga berawal dari seseorang yang batuk di Wuhan? Begitu pula mencairnya es di Kutub Utara yang telah menyebabkan banjir di sejumlah negara.

Namun, kita tak perlu terlampau cemas berlebihan seperti sebagian masyarakat AS yang dipaparkan dalam studi APA, apalagi kini kita juga sudah dibuat stres oleh pandemi covid-19. Namun, jangan juga terlalu apatis. Lebih baik berbuat sesuatu untuk ikut mereduksi dampak perubahan iklim meski itu cuma tindakan kecil. Remaja yang bergiat sebagai aktivis lingkungan, Greeta Thunberg, misalnya, membuat resolusi di ultahnya yang ke-18 tahun ini dengan berhenti membeli baju baru untuk selamanya. Seperti kita tahu, konsumsi yang dilakukan manusia, entah itu pangan, fesyen, maupun kendaraan, atau barang-barang elektronik, sedikit banyak berpengaruh pada kerusakan alam.

Kita bisa juga mulai ikut berpartisipasi seperti yang dilakukan remaja asal Swedia itu, misalnya, dengan mengurangi penggunaan plastik atau berkebun seperti yang marak dilakukan sebagian masyarakat akhir-akhir ini. Kegiatan positif semacam itu patut diteruskan. Intinya, do it something. Mumpung hari ini bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Nasional, tidak ada salahnya mulai sekarang kita lebih peduli pada kelestarian alam. Bukan untuk gagah-gahan, melainkan demi kepentingan kita sendiri dan planet yang kita tinggali bersama ini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya