Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Merajut Kepercayaan

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
03/1/2021 00:35
Merajut Kepercayaan
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

PADA pertengahan 1990-an, adik perempuan saya sering menegur ayah lantaran lupa mencuci tangan ketika pulang kantor. Alasan dia, ayah bisa saja membawa virus atau bakteri ketika masuk rumah.

Kekhawatiran adik saya, yang kala itu duduk di tahun pertama Akademi Kesehatan Lingkungan, sebenarnya masuk akal. Namun, kita (termasuk saya kala itu) mungkin menganggap kekhawatiran itu berlebihan, terlalu parno (paranoid) kalau kata netizen.

Namun, lihatlah sekarang, orang bisa beberapa kali mondar-mandir mencuci tangan lantaran takut tertular virus korona. Aktivitas itu seolah jadi kebiasaan baru masyarakat. Padahal, sejak di sekolah dasar atau bahkan mungkin taman kanak-kanak, kita telah diajarkan tentang pentingnya aktivitas tersebut, terutama sebelum makan. Di sekolah menengah, pada mata pelajaran biologi, kita pun diajarkan tentang sejumlah penyakit yang dapat diakibatkan virus maupun bakteri dan bagaimana cara penularannya.

Kini, ketika pandemi merebak di mana-mana, kita tiba-tiba tersadar selama ini telah mengabaikan dan meremehkan science. Padahal, menurut sejarawan Yuval Noah Harari, meski terlihat sepele, kebiasaan mencuci tangan merupakan salah satu kemajuan terbesar bagi kesehatan manusia. Tindakan sederhana ini telah menyelamatkan jutaan nyawa setiap tahun. Kebiasaan (pentingnya mencuci tangan dengan sabun), kata dia, baru ditemukan ilmuwan pada abad ke-19. Sebelumnya, bahkan dokter dan perawat yang mengoperasi pasien pun, tidak pernah mencuci tangan.

“Saat ini miliaran orang setiap hari mencuci tangan, bukan karena mereka takut pada aturan, melainkan karena mereka memahami fakta dan tujuan sebenarnya,” kata profesor di Universitas Hebrew, Jerussalem, tersebut dalam tulisannya di Financial Times, pertengahan Maret lalu.

Tahun 2020 yang muram telah mengajarkan kita banyak hal. Selain pentingnya memercayai sains, kita juga harus percaya pada otoritas publik dan juga media. Selama beberapa tahun terakhir, kepercayaan itu mungkin telah dirusak oknum (termasuk politikus) yang tidak bertanggung jawab. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dunia.

Menurut Harari, belum terlambat untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat, asalkan disertai keterbukaan informasi yang jelas. Apa yang dikatakan penulis buku Sapiens dan Homo Deus itu, menjadi krusial. Apalagi, kini sebagian orang masih belum percaya tentang efektivitas vaksin, belum lagi info seputar kehalalan dan anggapan remeh serta curiga terhadap negara asal-usul produsen vaksin tersebut.

Di sinilah perlunya penjelasan seterang-terangnya dari otoritas berwenang, terutama pakar kesehatan dan ahli virus. Paparkanlah seputar kegunaan, efektivitas, dampak, penerimaan, serta mekanisme distribusinya dan apa pentingnya program tersebut sehingga masyarakat paham. Selama menyangkut kesehatan dirinya, mereka pasti akan peduli, apalagi di tengah wabah yang telah menjadi trauma massal umat manusia ini. Tidak perlu paksaan, apalagi disertai kekerasan.

Masyarakat pun mesti mafhum agar kehidupan yang baru beberapa hari memasuki 2021 ini bisa kembali normal seperti tahun-tahun sebelumnya, salah satunya tergantung sukses tidaknya program vaksinasi. Hal lain yang juga harus diingat tetap jaga kebersihan dan patuhi protokol kesehatan dengan menjaga jarak, memakai masker, serta mencuci tangan dengan sabun. Percayalah, kita mampu melewati wabah ini karena alam tidak pernah ingkar terhadap perilaku manusia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya