Masker

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
18/10/2020 02:20
Masker
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

IA hanya sehelai kain. Dilengkapi dua tali pengikat, ukurannya cuma pas untuk menutupi hidung hingga dagu. Masker, begitu kita menyebutnya. Sebelum pandemi korona merebak, benda ini biasanya dipakai petugas medis dan pengangkut sampah. Kalau kita sering bepergian dengan kendaraan umum, seperti Trans-Jakarta, MRT, atau KRL, beberapa orang kadang juga terlihat mengenakan aksesori ini. Entah karena kesadaran kalau udara di Jakarta penuh polusi atau sekadar untuk menutupi hidung yang pesek.

Namun, akhir-akhir ini masker menjadi primadona dan perlengkapan wajib dalam berbusana. Di kantor, supermaket, pasar, dan kendaraan umum, ramai orang mengenakan masker. Mulai pejabat, artis, maupun orang biasa. Termasuk saya, yang dulu ogah pakai karena bikin pengap dan susah napas. Tidak hanya di Indonesia, masker juga dikenakan sebagian besar warga negara di dunia.

Bukan sekadar aksesori, masker malah kini sudah jadi objek hukum yang melibatkan aparatus negara. Menurut situs Mask4All, setidaknya ada lebih dari 50 pemerintahan di dunia yang mengeluarkan aturan soal masker, termasuk Indonesia. Sanksinya beragam. Mulai kerja sosial membersihkan jalan hingga denda ratusan ribu. Namun, seperti aturan penggunaan seat belt atau helm, ada saja pihak yang melanggar.

Di Amerika Serikat lebih unik lagi. Masker, bahkan jadi perdebatan dan identitas politik. Sebagian warga di ‘Negeri Paman Sam’ memang mematuhi otoritas kesehatan dan mau mengenakan masker untuk membatasi penyebaran covid-19, tetapi sebagian lain menolak karena dianggap membatasi kebebasan individu.

Jajak pendapat Pew Research Center seperti dikutip The Guardian baru-baru ini menyebutkan, Partai Demokrat lebih cenderung setuju penggunaan masker, sebaliknya di kubu Republik. Banyak gubernur Partai Demokrat yang mewajibkan warganya mengenakan masker. Joe Biden, calon presiden dari Partai Demokrat mengatakan, jika dia terpilih akan mewajibkan orang mengenakan masker di ruang publik.

Sebaliknya, anggota Partai Republik ragu-ragu untuk memandatkan penggunaan masker, bahkan ketika di negara bagian mereka mulai ada lonjakan kasus baru setelah aturan lockdown dilonggarkan. Donald Trump, presiden dari Partai Republik, bahkan terang-terangan menolaknya. Dia tegas menyebut penggunaan kain kecil tersebut sebagai pernyataan politik para penentangnya. Trump pun mengejek Biden, rival politiknya, karena mengenakan masker di muka umum.

Pesan para elite tersebut tentu membingungkan publik sehingga menjadikan masker sebagai culture war (perang budaya). Beberapa toko memasang tanda yang memberi tahu pelanggan bahwa mereka tidak diwajibkan memakai masker. Sementara itu, karyawan ritel di tempat lain, harus menghadapi makian pelanggan yang menolak untuk memakainya.

Masyarakat, terutama para karyawan toko, menjadi korban pertama perang wacana ini. Kasus paling ekstrem terjadi di Flint, Michigan, seorang satpam supermarket ditembak pada 4 Mei lalu. Persoalannya sepele, dia menegur seorang ibu agar putrinya memakai masker untuk memasuki toko. Sang ibu tidak terima dan marah, lalu memanggil suaminya yang lantas menembak sang penjaga toko tadi hingga tewas.

Beberapa ahli mengatakan resistansi terhadap masker bisa berasal dari pesan pejabat kesehatan pada awal pandemi yang membingungkan. Kita juga mungkin ingat ketika di awal pandemi, WHO mengatakan masker tidak diperlukan bagi siapa pun yang tidak menunjukkan gejala. Namun, belakangan pernyataan itu diralat sehingga orang banyak menimbun, terutama masker medis, sehingga harganya melambung. Aturan itu kemudian berubah lagi, masker dari kain biasa pun bisa untuk menangkal penyebaran virus.

Ini yang lalu membuka peluang bisnis. Dari penjahit rumahan hingga rumah mode dunia, ramai-ramai memproduksi masker. Dari yang harganya goceng (Rp5.000) di pinggir jalan hingga puluhan juta buatan Louis Vuitton. Dari yang polos, warna-warni, hingga bermotif batik. Begitulah, masker kini telah menjadi bagian dari komoditas budaya, politik, maupun ekonomi. Bukan lagi sekadar kain lusuh penangkal virus dan ingus.

Menyikapi wacana dominan kultural semacam ini, kata Stuart Hall yang memodifikasi teori hegemoni Antonio Gramsci, kita boleh menerima (memakainya sesuai aturan), bernegosiasi (sekadar menggantungkannya di leher), atau bahkan menolaknya (tidak memakai sama sekali dan menganjurkan orang untuk tidak menggunakannya). Terserah Anda, mau ikut Biden atau Trump. Kalau saya sih menyarankan gunakanlah dengan penuh kesadaran. Demi diri sendiri, keluarga, dan orang di sekitar. Kecuali Anda sekeluarga memang ingin menginap di rumah sakit atau Wisma Atlet.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya