Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Jadilah Kreator yang Bertanggung Jawab

Fetry Wuryasti
16/8/2020 05:00
Jadilah Kreator yang Bertanggung Jawab
Sosiolog Daisy Indira Yasmine(DOK. PRIBADI)

BEBERAPA tahun terakhir, popularitas profesi kreator konten, khususnya untuk platform Youtube, terus menanjak. Banyak orang berlomba menciptakan konten yang dapat memikat penonton. Topiknya juga beragam, dari kover lagu, bincang-bincang, rias wajah, berkebun, hingga olok-olok.   

Namun, belakangan ini, ada tendensi di kalangan sebagian kreator untuk melakukan segala cara demi menghasilkan konten yang berpotensi viral, dan sayangnya, terkadang justru berimpak negatif. Umpamanya, konten prank dari seorang youtuber berupa bagi-bagi kantong plastik yang diklaim berisi daging kurban, tapi ternyata berisi sampah. Media Indonesia, Selasa (4/8), berbincang dengan sosiolog Daisy Indira Yasmine dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (Fisip UI), terkait fenomena maraknya konten yang berpotensi meresahkan masyarakat tersebut. Berikut petikannya.

Bagaimana penyerapan teknologi digital publik kita saat ini?

Inovasi di bidang teknologi pada akhirnya membuat kehidupan manusia banyak dipengaruhi platform digital atau teknologi digital. Berbicara dengan konteks pandemi, penggunaan teknologi jadi intensif. Gerakan revolusi industri 4.0 yang mungkin berjalan cukup cepat dan stabil, kini menjadi lebih cepat lagi karena pandemi. Dalam konteks situasi ini, teknologi digital menjadi solusi untuk melanjutkan hidup dalam situasi ancaman virus yang juga menyerang kegiatan-kegiatan yang melibatkan kedekatan fisik. Pandemi berhasil mem-boosting penggunaan teknologi digital, termasuk di dalamnya ialah media sosial.

Apakah peningkatan konsumsi me­dia sosial itu untuk kesenangan?

Penggunaan media sosial menjadi tinggi, bahkan dari sebelum pandemi. Satu hal menarik yang tidak ada hubungannya dengan pandemi, interaksi antarindividu di dalam dunia digital itu mengarah kepada monetisasi. Artinya, kita bisa mendapat keuntungan materi dari interaksi di ruang digital.

Yang juga menarik dalam konteks nilai ruang digital itu ialah openness (keterbukaan). Bisa diartikan dunia digital memang ruang bebas. Siapa pun bisa berkreasi, berpartisipasi, berekspresi. Mereka bisa menjadi konsumen dan produsen yang disebut dengan prosumer.

Bagaimana soal fenomena youtuber di Indonesia?

Dilihat secara kasar, aktivitas konten-konten Youtube, dalam kasus Indonesia itu, sekarang masih didominasi selebritas. Jadi, struktur yang ada di dunia nyata itu masih sama, hanya pindah ke ranah digital. Masyarakat kita masih sangat tergantung kepada tokoh-tokoh sehingga orang mungkin akan lebih percaya untuk mencari situs atau menyimak konten dari akun-akun yang pemiliknya sudah terkenal lebih dulu di dunia nyata.

(Konten) dari warga biasanya, masih tidak terlalu banyak yang jadi posisi paling atas. Namun, pasti juga banyak dari mereka yang bisa mengeruk keuntungan dari monetisasi di media sosial.

Apa konten Youtube di Indonesia yang paling diminati?

Dilihat dari data We Are Social Januari 2020, yang pertama itu kover lagu, kemudian konten unboxing barang, dilanjutkan konten resep makanan, lalu traveling, baru kemudian parodi yang humoris, lucu-lucuan, termasuk prank. Konten mengenai prank ini juga dicari meskipun bukan the first hits-nya.

Menariknya, dulu orang lebih meng­akses Facebook ataupun Whatsapp. Sekarang polanya bergeser menjadi Youtube. Ini juga menarik karena di Youtube sistem monetisasi­nya paling jelas dan ide konten serta informasinya menjadi yang utama. Itu yang paling banyak di Indonesia. Facebook kini lebih untuk promosi barang jualan pribadi layaknya e-commerce.

Di Instagram bagaimana? Banyak juga yang polanya ‘demi konten’? 

Masyarakat Indonesia trendi. Kita masih pengguna media sosial yang sangat intens pada hal baru yang ditawarkan teknologi informasi. Mungkin sekitar dua sampai tiga tahun lalu, Instagram booming dan fiturnya digunakan maksimal sehingga muncul banyak selebritas baru yang kita sebut selebgram.

Namun, kontinuitas selebgram, saya lihat posisi mereka ini tidak selamanya. Karena idenya prosumer, jadi kalau mereka tidak mampu mempertahankan kontennya, lama-lama bisa tenggelam juga.

Saat ini yang paling dikejar orang ialah Youtube karena inovasi fitur-fitur yang diberikan, sedangkan Instagram berada di peringkat tiga atau empat.

Apakah monetisasi itu yang mendorong seseorang bak kecanduan membuat konten?

Monetisasi di iklim digital bertujuan membangun transaksi ekonomi dari aktivitas digital. Selain itu, nilai platform digital adalah membangun keterbukaan dan fleksibilitas, yang menjadi ruang ekspresi diri dan pembentukan identitas yang bebas juga.

Jadi, dua hal dipenuhi dari ruang digital, nilai kultural dan nilai ekonomi. Seseorang yang tadinya bukan siapa-siapa dan tidak punya sejarah hidup dikenal luas, diberi ruang untuk bisa berekspresi dan menjadi dikenal. Maka, akhirnya banyak yang menjadikan segala hal untuk bisa ia monetisasi, misalnya, kisah kesehariannya, aktivitas di rumah, yang setiap saat sepertinya kamera terus merekam, lalu konten hobi seperti traveling, memasak, dan banyak lagi.

Di satu sisi, ruang digital ini juga memberdayakan, memberi kekuatan kepada kelompok marginal, orang yang biasanya merasa tidak berarti, tidak punya jejaring apa pun, bisa berekspresi dan bebas mengungkapkan dirinya di dalam ruang virtual ini.

Tapi, banyak juga yang jadi kebablasan?

Suatu perubahan tidak selalu mulus. Pasti ada dampak  positif dan negatif. Platform ini membuka ruang. Namun, di sisi lain ketika kebebasan itu diberikan, bermacam respons muncul.
Untuk konteks masyarakat Indonesia, kita banyak persoalan. Pertama, masyarakat kita beragam. Kemudian, social gap atau ketimpangan sosialnya juga tinggi. Selain itu, masih ada persoalan digital divide. Tidak semua orang punya kemampuan memahami atau punya akses memahami cara kerja digital. Biasanya mereka memulai dari menjadi konsumen terlebih dulu. Penggunaannya hanya di permukaan saja, tanpa tahu bahayanya, tanpa tahu hal-hal yang harus dia perhatikan, tanpa tahu dampak sosialnya. Itu yang biasanya menyebabkan culture lag.

Pandangan Anda soal sejumlah konten prank yang viral belakangan ini?

Ada tipe pengguna digital informasi yang tahu tentang penggunaannya, tetapi mereka menggunakan dengan cara setengah-setengah. Digunakan, tetapi nilai yang mendasarinya tidak masuk. Bisa dikatakan mereka tidak bertanggung jawab dalam penggunaannya. Pengguna tipe ini belum masuk cybercrime, tapi di tengah-tengah. Itu yang menurut saya menggambarkan kasus-kasus prank yang terjadi.

Pengguna media sosial dalam konteks pembuat konten prank yang kemarin itu, mereka tahu cara menggunakannya,fitur-fiturnya monetisasinya. Namun, mereka memanfaatkannya itu irresponsible.

Itu berbahaya?

Di dunia digital, orang bisa mendapatkan informasi setengah-setengah. Jadi, ada bahayanya. Atau bahaya juga karena kita bisa jadi meniru-niru. Contohnya, prank. Di masyarakat barat, prank itu terinstitusionalisasi dalam bentuk April Mop, yang dalam satu hari itu mereka melepas stres dan semua hal dimaklumi.

Indonesia tidak punya budaya April Mop. Namun, sekarang digitalisasi membuat batas menjadi kabur sehingga istilah bahasa prank sudah pada frekuensi yang sama di seluruh dunia.
Jadi, media sosial itu mempromosikan nilai budaya lain. Di satu sisi bagus, tapi kalau nilai budaya yang diserap yang buruk, bahaya. Masalahnya bisa jadi global.

Jadi, kreator konten prank itu sebenarnya terliterasi atau belum?

Mereka yang menampilkan prank-prank itu belum terliterasi digital. Tingkatan literasi itu berjenjang. Mereka yang paling terliterasi digital itu paham environment digital, tahu do’s & don’ts-nya, dampak positif dan negatifnya, lalu menggunakan teknologi informasi dan platform media sosial secara strategis dan cerdas.

Menjadi youtuber itu bagus, ruang terbuka, asal bertanggung jawab menggunakanya. Pengguna mendapat keuntungan, tetapi juga mampu memberi dampak positif ke orang lain, paham nilai-nilai Indonesia, dan siapa sasaran penontonnya.

Youtube sebagai perusahaan sudah membuat value bagaimana menjadi youtuber yang baik dengan panduan-panduan komunitasnya. Masalahnya ada saja pengguna yang mengabaikan. Nah, itu irresponsible netizen atau warganet yang tidak bertanggung jawab. Jadi, dia literasi­nya setengah-setengah. Akan tetapi, memang ada yang benar-benar tidak terliterasi, yang hanya konsumen.

Apa yang harus publik dan pemangku kebijakan lakukan untuk meminimalisisasi dampak negatif tren budak konten?

Indonesia jangan terlambat berge­rak. Kita tidak perlu menghambat atau melawan perkembangan teknologi dan inovasi. Yang perlu kita lakukan ialah mengarahkan. Teknologi itu buatan manusia. Ja­ngan sampai kita teralienasi dengan ciptaan kita sendiri. Kalau manusia mampu menciptakan teknologi informasi dengan platform digital yang membawa nilai keterbukaan, gunakan secara positif. Kita harus jadi masyarakat yang mampu untuk menyetir ke arah situ. Makanya, etika di dalam berinteraksi di dunia digital itu penting, juga digital literasi. Lalu, sebaiknya pemerintah membuat panduan atau karakter digital citizenship yang bertanggung jawab. Itu yang harus dilakukan buru-buru.

UU ITE kita belum cukup?

Guide line untuk panduan digital citizenship secara rinci belum ada. Indonesia hanya punya UU ITE, jadi Indonesia punya hukumannya, tetapi tidak punya panduan standar masyarakat digital Indonesia seperti apa yang mau dibentuk, nilai utama apa yang mau dikedepankan. Lalu panduannya itu mesti lebih kepada menyosialisasikan nilai-nilai responsible citizen.

Misalnya, ketika bikin video dan tahu ada yang kontroversial di dalamnya, mereka bisa mencantumkan disclaimer untuk menjelaskan kontennya. Atau kreator juga harus tahu konten itu ditujukan kepada siapa. Hal-hal seperti ini sekarang masih tergantung kesadaran individu masing-masing. Beberapa negara seperti Uni Eropa sudah menge­luarkan panduan. Indonesia sebagai masyarakat terbesar keempat di dunia dan potensi pasar secara global seharusnya lebih cepat membangun panduan itu. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik