Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Empat Skenario Masa Depan Seni Indonesia Pascapandemi

Fathurrozak
18/6/2020 18:37
Empat Skenario Masa Depan Seni Indonesia Pascapandemi
Beberapa potongan adegan dalam pertunjukan daring bertajuk Jemuran Orang di channel Youtube Budaya Saya, April lalu.(Youtube)

PANDEMI covid-19 membuat dunia terasa jungkir balik, termasuk ekosistem seni di negeri ini. Koordinator peneliti kebijakan seni dan budaya Koalisi Seni, Ratri Ninditya memerkirakan ada empat skenario yang bisa terjadi jika negara gagap memulihkan krisis dan terus meminggirkan seni.

Skenario pertama yang mungkin terjadi ialah pelaku seni berinteraksi hanya di ruang virtual dan digerakkan oleh motif ekonomi. Seniman sibuk di depan layar, terobsesi dengan pembuatan konten sensasional setiap hari.

Sementara, skenario kedua yang juga bisa muncul ialah ketika interaksi yang terjadi di ruang virtual dengan relasi afektif. Pola ini akan memunculkan beragam komunitas yang keterikatannya tumbuh sejak sebelum pandemi.

“Melalui media sosial, komunitas memperluas jaringan, memobilisasi sumber daya, dan melibatkan diri dalam jejaring serta gerakan global. Bisa jadi mereka melakukan inovasi radikal agar praktik seninya lebih ramah lingkungan, serta menemukan cara supaya interaksi daring lebih bermakna. Perkumpulan dan serikat seni akan tumbuh subur dalam level lokal, nasional, hingga internasional,” ujar Ratri  seperti tertera dalam rilis Koalisi Seni.

Namun, ketika pola tersebut muncul, menurut Ratri ada peluang yang dapat menghilangkan kesempatan berkumpul dalam jumlah besar di ruang fisik. Akibatnya, rasa memiliki dan keterikatan antarkomunitas di luar lingkup lokal menjadi rendah. Daya tawar komunitas ke kalangan di luarnya pun menjadi lemah.

Skenario ketiga ialah seni sebagai keseharian. Pola ini bisa terjadi dalam skala rural (desa). Menurut Ratri, dengan karakter desa yang pemenuhan kebutuhan dasar warganya didasari pada komunalisme, bisa mendorong seni sebagai salah satu alat transaksi dalam keseharian.

“Di kota, muncul eksperimen seni partisipatif. Pelaku seni berkumpul dalam jumlah kecil untuk mendiskusikan estetika baru dan melibatkan diri dalam proses pemulihan warga. Gerakan seni radikal di lingkup lokal tumbuh. Namun, dampaknya terasa hanya dalam lingkup kecil.”

Skenario keempat, ialah ketika seniman dan masyarakat terisolasi secara fisik dan relasinya berbasis kepentingan ekonomi, seni menjadi hiburan warga. Seniman makin akrab dengan tetangga untuk menjual keahlian seninya.

“Tapi karena seni berfungsi sebagai hiburan semata, mayoritas seniman menampilkan karya orang lain yang sudah terkenal, sehingga sedikit karya baru dihasilkan. Seni hidup selama bisa dinilai dengan uang, mengikuti selera populer, dan bersandar pada mekanisme pasar di tingkat lokal,” tutur Ratri.

Menurut Ratri keempat skenario kesenian yang bisa muncul pascapandemi itu menunjukkan peran negara tetap diperlukan.  Inisiatif dan kolektivitas pada kesenian perlu dukungan negara agar bisa bertahan lama. Ia menilai, upaya negara untuk mendorong kegiatan seni semasa pandemi belum cukup. Prasyarat dasar yang harus dipenuhi negara terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar pelaku seni sebagai jaminan kelangsungan hidupnya, pengakuan status seniman, dan perlindungan kebebasan berkesenian.

Dukungan pemerintah untuk menjaga keberlangsungan komunitas dan meluaskan gaungnya dapat berupa pendanaan skala komunitas, pemerataan akses internet dan bekal literasi digital, serta  pengembangan akses informasi lewat media publik dan jaringan komunikasi lokal. Pemerintah bisa juga mengaktifkan kembali ruang berkesenian fisik dengan memberlakukan protokol kesehatan khusus. Mendorong lebih banyak pihak untuk mendukung kesenian, dan terus menggulirkan wacana tentang pentingnya seni bagi masyarakat.

“Sasaran kebijakan pun perlu digeser ke dinamika pergerakan di daerah, karena kota besar perlu belajar dari berbagai eksperimen yang dilakukan simpul seni budaya di pinggir dan pelosok. Semoga kita tidak sedang menuju kenormalan baru karena sejatinya seni budaya terus bergerak dan ‘normal’ adalah jalan buntu yang harus dihindari,” tutup Ratri. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya