Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Antiklimaks The Lion King

Fathurrozak
21/7/2019 03:20
Antiklimaks The Lion King
Trailer perdana The Lion King versi live action(DOK DISNEY.FANDOM.COM/WIKI)

HANYA dalam tempo 24 jam setelah dirilis, akhir November 2018, trailer perdana The Lion King versi live action ditonton lebih dari 223 juta kali oleh warganet sedunia. Capaian itu menjadikannya sebagai salah satu trailer film yang paling banyak disaksikan, setelah Avengers: End Game, sekaligus membuktikan betapa tinggi antusiasme publik terhadap kehadiran warga Pride Rock.

The Lion King versi live action yang sebenarnya hidup karena roh CGI pekan ini mulai beredar di bioskop memang memiliki tampil­an visual yang teramat impresif. Kisah singa muda, Simba, yang harus tersingkir dari Pride Rock menjadi terlihat lebih realistis dengan sentuhan photorealism.

Film animasi yang pertama rilis pada 25 tahun lalu itu mungkin akan jadi pengalaman baru bagi para generasi saat ini maupun sebelumnya, ketika menyaksikan kisah klasik dalam balutan visual realis. Begitu nyatanya seolah-olah kita memang tengah menonton si­nga tulen dan Pride Rock yang meski suatu tempat antah-berantah, kita akan teryakinkan ia berada di belahan Afrika.

Namun, keunggulan visual film besutan Jon Favreau itu, yang juga menggarap remake The Jungle Book, ternyata tidak cukup menjadikannya istimewa secara keseluruhan. Malah kelebihan tersebut menjadikan film terasa jomplang. Ironis.

Di luar aspek visual, terasa betapa lemahnya penggarapan ulang ini untuk mengantarkan ikatan emosi penontonnya pada jalan cerita. The Lion King terkesan hanya menuangkan ‘imajinasi’ visual tanpa membangun tulang punggung kisahnya secara kuat.

Narasi benar-benar hampir 90% sama dengan versi 1994. Tidak ada pembaruan menonjol dari segi jalan cerita, linear, dan amat patuh pada screenplay mula. Mungkin hal tersebut di­sengaja agar The Lion King 2019 tetap bisa dinikmati sebagai nostalgia bagi generasi lama.

Yang juga disa­yang­kan ialah ketiadaan jejak ciri para aktor utama dalam gerak atau mimik karakter-karakter yang mereka suarakan, terutama Simba dan Nala. Tentu banyak penonton yang semula berharap lebih dengan melihat adanya Beyonce atau Donald Glover (Childish Gambino) yang tarian This is America-nya sukar kita lupakan.

Hampa
Untungnya, performa Seth Rogen dan Billy Eichner sebagai Pumbaa dan Timon yang cukup menghidupkan emosi dari para karakter The Lion King. Billy Eichner memberi interpretasi baru pada karakter Timon yang teatrikal itu. Kedua karakter yang dulunya memang diciptakan sebagai karakter tambahan untuk menambah kesan komikal, sukses menjadi scene stealer.

Dalam remake ini, duo karakter utama yang ada di Pride Rock malah terkesan tanpa emosi sebab hiperrealisnya. Kita hanya akan mendengar singa berbicara ala manusia, dengan suara Donald atau suara Beyonce. Namun, tidak dibarengi dengan emosi pada mimik maupun gestur halus para karakter yang menggetarkan emosi kita selaku penonton, sebagaimana dulu pernah dilakukan Simba dkk di 1994.

Favreau tampaknya hanya mengandalkan sisi kecanggihan visual tanpa membedah kembali cerita untuk memberi kekuatan plot. Alhasil, scene demi scene memang cukup memukau dengan gambar yang disajikan, tetapi menjadi terkesan cerita dibubuhkan ala kadarnya.

Tidak ada improvisasi signifikan, menjadikan kita hanya seolah-olah menonton dokumenter National Geographic atau Animal Planet dengan suara hewan yang di-dubbing manusia. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya