Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Dari Santri hingga Profesor di Amerika

Ardi Teristi Hardi
15/9/2019 09:40
Dari Santri hingga Profesor di Amerika
Prof Yudian Wahyudi.(MI/Ardi Teristi Hardi)

SOSOK Prof Yudian Wahyudi menjadi salah satu lulusan pesantren yang berhasil di dunia akademik. Dari Pesantren Termas di Pacitan, Jawa Timur, ia berhasil mengenyam pendidikan hingga postdoktoral di Harvard dan Tufts University hingga meraih gelar Profesor di Amerika dan sekarang menjadi Rektor di UIN Sunan Kalijaga.

Ditemui di ruang kerjanya, Prof Yudian pun menceritakan keberhasilannya yang dicapainya. Sejak 2 Agustus 1982, kata dia, dirinya punya cita-cita yang hendak dituju dalam hidupnya.

Sejak saat itu, Yudian rutin mengerjakan salat hajat. Dalam doanya, ia tidak henti meminta untuk menjadi penerjemah, penulis, kuliah di Harvard, bahkan jadi profesor di Amerika dan presiden pun disebutnya di dalam doa.

Awalnya, ia salat hajat dan berhasil menjadi penerjemah. Ia terus salat hajat dan setelah tujuh tahun, ia mendapakan beasiswa ke Mc Gill. Ia pun terus melakukan salat hajat dan berdoa yang sama hingga akhirnya diterima postdoktoral di Harvard.

Saat menjadi pelajar, ia sudah memiliki keinginan melebihi pendidikan yang dicapai HAMKA dan HM Rasjidi. Oleh sebab itu, selain bisa menguasai tiga bahasa, ia pun berdoa agar bisa masuk Harvard karena universitas terbaik.

"Ada kesadaran sejarah, saya itu mau jadi apa," kata dia. Dari pengalamannya itu, Yudian merumuskan jalan hidup, yaitu sabar ditambah salat sama dengan masa depan.

Sabar dan berdoa dan usaha terus-menerus menjadi kunci. Dengan makhluk Allah yang tak terhingga di alam semesta, menurut dia, kita tidak boleh hanya diam.

"Kalau hanya diam, Allah akan menganggapnya cukup," kata dia. Oleh sebab itu, orang harus terus berdoa, meminta yang berbeda dari Allah yang telah berikan tanpa diminta.

 

Pendidikan Barat

Pengalamannya belajar di Barat membuatnya bisa membandingkan pendidikan pesantren, perguruan tinggi di Indonesia, pendidikan di Timur Tengah, hingga pendidikan di Amerika.

Menurut dia, pendidikan di Timur Tengah hanya satu bahasa, yaitu bahasa Arab dan lebih mengandalkan hafalan. Di Barat, minimal harus menguasai bahasa Arab dan Inggris jika ingin mengambil studi Islam. Bahkan, jika mengambil program doktoral paling tidak harus mengusai empat bahasa.

"Dari segi bahasa, pendidikan Timur Tengah sudah kalah daripada pendidikan Barat," kata dia.

Kelebihan pendidikan Barat lainnya ialah mahasiswanya dilatih menulis dan presentasi. Sepulang sekolah dari luar negeri, bagi lulusan pendidikan Barat, menulis gampang sekali karena kami dipaksa menulis setiap waktu.

"Kita ke Barat bukan belajar Islam, tetapi belajar metode," ujarnya.

Meski begitu, lanjut Yudian, pendidikan ala Barat bukan tanpa celah. Ada aspek spiritualitas yang dirasanya hilang di sana. Oleh sebab itu, begitu pulang (dari Amerika), ia mendirikan tarekat dan pesantren.

"Ini sekaligus membuktikan, belajar dari Barat bisa untuk meningkatkan prestasi sendiri," kata dia.

Prof Yudian pun mendorong supaya para santri dan mahasiswa UIN mau belajar ke luar negeri, termasuk ke Barat dan menjadi profesor di Amerika. Belajar dalam Islam tidak terbatas oleh wilayah dan agama. "Dengan kata lain keislaman itu tidak cukup dengan kearaban saja, tetapi perlu ada kecinaan, keamerikaan. Kira-kira seperti itulah," urainya. (AT/M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya