Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
Sampah antariksa merupakan benda buatan manusia yang berada di orbit luar angkasa, tetapi sudah tidak lagi memiliki fungsi.
Keberadaannya terus menjadi perhatian serius karena sampah-sampah ini berpotensi menabrak satelit aktif, yang dapat mengakibatkan kerusakan besar pada sistem komunikasi, navigasi, hingga pengamatan Bumi.
Setiap tahunnya, isu ini dibahas secara mendalam di forum internasional, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca juga : BRIN Kembangkan Instrumen Pengamatan Antariksa Berbasis Satelit
Dilansir dari website resmi milik BRIN, Koordinator Observatorium Nasional Timau, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Abdul Rachman, menegaskan bahwa pengamatan terhadap satelit buatan sangat penting karena terkait dengan masalah sampah antariksa yang tak terkendali.
Dalam webinar "100 Jam Astronomi untuk Semua," Sabtu (5/10), Abdul menekankan risiko besar yang ditimbulkan oleh sampah antariksa.
"Sampah antariksa bisa menabrak satelit aktif dan mengakibatkan kerusakan fatal," jelasnya.
Baca juga : BRIN Kembangkan Pemantauan Fire Hotspot dan Karhutla
Untuk memantau satelit dan sampah antariksa, BRIN selama ini menggunakan teleskop berukuran kecil, dengan yang terbesar memiliki cermin berdiameter 50 sentimeter.
Namun, BRIN kini tengah menyelesaikan pembangunan teleskop raksasa berdiameter 3,8 meter di Observatorium Nasional Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Abdul berharap teleskop raksasa ini dapat memperkuat pengamatan satelit, terutama dalam memonitor satelit yang mengalami masalah komunikasi dengan stasiun pengendali di Bumi atau disebut contingency events.
Baca juga : BRIN Gandeng Jepang untuk Kembangkan Navigasi Satelit
Dalam pengamatan satelit, BRIN menggunakan beberapa teknik astronomi seperti astrometri, fotometri, dan spektroskopi. Teknik-teknik ini tidak hanya digunakan untuk mengamati benda langit alami seperti bintang dan planet, tetapi juga untuk satelit dan sampah antariksa.
Abdul menambahkan bahwa teleskop yang digunakan untuk pengamatan satelit harus memiliki kecepatan gerak yang tinggi, karena satelit bergerak jauh lebih cepat dibandingkan benda langit lainnya.
Sejak tahun 2014, Pusat Riset Antariksa BRIN telah melakukan pengamatan satelit menggunakan beragam instrumen, termasuk binokuler dan kamera digital portabel.
Baca juga : BRIN Luncurkan Satelit Nano Karya Anak Bangsa ke Orbit
Untuk meningkatkan akurasi pengamatan, mereka juga memanfaatkan perangkat lunak, baik yang berbayar maupun yang gratis di internet.
Baru pada 2022-2024, pengamatan satelit dengan teleskop dilakukan secara intensif, baik untuk astrometri, guna menentukan orbit satelit, maupun fotometri untuk menganalisis kecerahan dan karakteristik rotasi satelit.
Abdul menjelaskan bahwa satelit yang sudah tidak berfungsi sering kali mengalami fenomena "tumbling," yaitu berputar tidak terkendali di orbit.
Satelit semacam ini, yang sudah berakhir masa operasinya, menjadi bagian dari sampah antariksa. Pengamatan rotasi satelit tersebut penting untuk upaya mitigasi dampak sampah antariksa yang dapat mengancam satelit aktif.
Berbicara tentang perbedaan foto satelit dengan foto benda astronomi lainnya, Abdul menyebutkan bahwa gambar satelit dari teleskop umumnya hanya tampak seperti garis lurus atau titik kecil berwarna putih di antara bintang-bintang.
Meskipun tidak seindah foto planet atau galaksi, garis-garis atau titik-titik tersebut dapat memberikan informasi ilmiah yang sangat berguna, baik untuk sains maupun aplikasi praktis.
Sebagai ilustrasi, Abdul menyebut tiga jenis satelit yang menunjukkan perkembangan teknologi. Pertama adalah Sputnik, satelit Rusia yang menjadi satelit pertama di dunia pada tahun 1957.
Kedua, satelit dengan ukuran lebih besar dan panel surya kompleks seperti satelit navigasi dan telekomunikasi. Ketiga, satelit cubesat, yang meski berukuran kecil namun memiliki teknologi yang sangat canggih dan kini semakin banyak diluncurkan.
Abdul juga menyampaikan bahwa Jaringan Observatorium dan Planetarium Indonesia (JOPI) yang memiliki puluhan teleskop bermotor penggerak dapat ikut berkontribusi dalam pengamatan satelit buatan.
Dengan memanfaatkan fasilitas canggih ini, Indonesia dapat memperluas manfaat teknologi ruang angkasa untuk kepentingan pengamatan benda buatan, di samping mengamati benda langit alami.
Penutupnya, Abdul menegaskan bahwa kemajuan teknologi ruang angkasa dapat terus dimanfaatkan jika kita mampu memitigasi tantangan yang ditimbulkan oleh sampah antariksa.
"Dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi yang ada, kita dapat terus menikmati manfaat dari teknologi satelit yang terus berkembang," pungkasnya. (brin.go.id/Z-10)
Wahana antariksa Kosmos 482 milik Uni Soviet jatuh ke Bumi pada 10 Mei 2025 setelah lebih dari 50 tahun mengorbit.
Menurut Hanarko Djodi Pamungkas, ketahanan pangan harus dibarengi dengan tanggung jawab menjaga laut dari pencemaran.
PENELITI Gender dari Pusat Riset Politik BRIN Kurniawati Hastuti Dewi mengatakan, tindakan khusus sementara diperlukan untuk memperkuat keterwakilan perempuan di politik.
INDONESIA melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan menjadi tuan rumah gelaran World Science Forum (WSF) ke-12 pada 2026. Ini menandai pertama kalinya WSF diselenggarakan di Asia.
KEPALA BRIN Laksana Tri Handoko menekankan Indonesia tak perlu ikut-ikutan jejak negara maju seperti Amerika Serikat yang menciptakan ChatGPT atau Tiongkok yang menciptakan DeepSeek dalam AI
Solar maksimum merupakan fase siklus 11 tahun aktivitas bintik (sunspot) pada matahari yang diperkirakan terjadi pada Juli ini.
Pusat Pengurangan Risiko Bencana Universitas Indonesia melakukan kerja sama bidang Limnologi dan Hidrologi dengan BRIN untuk persiapan dan adaptasi perubahan iklim.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved