Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
Di bawah langit Old Trafford yang semakin sunyi, saya berdiri sebagai penggemar Manchester United. Bukan lagi dengan dada membusung, tapi dengan hati yang pelan-pelan letih.
Kekalahan demi kekalahan bukan hanya angka di papan skor, tapi seperti luka yang setiap pekan dibuka kembali. Kadang saya berpikir, mengapa saya masih bertahan?
Saya bukan penggemar musiman. Sejak usia belasan, Manchester United sudah menjadi bagian dari hidup saya. Dari masa emas Sir Alex Ferguson hingga masa-masa absurd pasca-2013 yang seperti lorong tanpa ujung.
Jujur saja, musim 2024/2025 ini benar-benar menguras hati. Rasanya seperti menunggu bus yang tak kunjung tiba, padahal kita sudah yakin jadwalnya benar.
United musim ini tidak hanya gagal meraih trofi. Bahkan untuk sekadar bermain dengan harga diri pun, kadang rasanya terlalu sulit.
Cara kami kalah menyedihkan. Tanpa gairah. Tanpa nyawa. Saya bisa tahan melihat tim kalah. Tapi saya tidak tahan melihat tim bermain tanpa semangat.
Lalu muncullah Ruben Amorim, yang awalnya saya sambut dengan optimisme hati-hati. Katanya dia jago meramu talenta muda, katanya dia tahu bagaimana menata tim dengan sistem yang jelas.
Tapi kenyataan di lapangan berbeda jauh. Amorim terlihat kebingungan, dan skuad warisan pelatih-pelatih sebelumnya membuatnya seperti berusaha menata puzzle dengan potongan dari tiga gambar berbeda. Tidak nyambung. Tidak cocok.
Papan klasemen menjadi saksi betapa kusutnya tim ini. Finish di luar zona Eropa, dengan persentase kemenangan yang menyedihkan, hanya 28 persen.
Saya tidak sedang dramatis. Ini fakta. Dan setiap kali melihat kamera menyorot bangku cadangan dengan wajah-wajah pasrah, saya merasa seperti menatap cermin. Ya, karena itulah wajah kami, para penggemar.
Berita tentang "restrukturisasi" oleh INEOS hanya terdengar seperti kaset lama yang diputar ulang. Dari era David Moyes hingga sekarang, semua pelatih datang membawa janji, tapi pergi membawa kekecewaan.
Saya tidak ingin menyalahkan sepenuhnya. Nyatanya, sistem di dalam klub ini memang sudah terlalu lama rusak. Tidak ada visi yang konsisten. Tidak ada kesabaran. Tidak ada kesepahaman.
Rekrutmen pemain terasa seperti belanja di mall menjelang tutup: tergesa-gesa dan asal ambil. Antony, Casemiro, Sancho, datang dengan harga tinggi tapi kontribusi yang tak sebanding.
Di sisi lain, akademi yang dulu begitu membanggakan kini jarang melahirkan bintang baru yang menonjol. Marcus Rashford adalah contoh nyata dilema ini.
Lalu saya teringat malam di Camp Nou, 26 Mei 1999. Dua gol ke gawang Bayern Muenchen di injury time oleh Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer, membalikkan keadaan, mengantarkan Treble.
Atau malam di Moskow, 2008, ketika United menaklukkan Chelsea di final Liga Champions. Hujan deras, adu penalti, dan tendangan John Terry yang meleset.
Saya tumbuh bersama momen-momen itu. Momen yang membuat saya yakin bahwa United bukan hanya soal sepak bola. Ini soal hati.
Namun kenyataan hari ini berbeda. Kini, United lebih sering menjadi bahan candaan ketimbang tim yang ditakuti. Klub ini terlihat seperti pria paruh baya yang mencoba tampil muda, tapi malah terlihat canggung.
Saya tidak tahu siapa yang salah. Dewan direksi? Pemain? Pelatih? Mungkin semua punya andil. Tapi yang jelas, para penggemarlah yang selalu jadi korban.
Dan ya, saya tahu banyak yang menyarankan agar saya berhenti berharap. Tapi saya tidak bisa. Ini bukan soal logika. Ini cinta. Dan cinta, seperti yang kita tahu, kadang memang tidak masuk akal.
Seperti lirik Freddie Mercury, "Love of my life, don’t leave me." Cinta ini absurd, keras kepala, namun tulus, cinta sering kali tidak rasional.
Saya yakin, suatu hari nanti Old Trafford akan kembali bergemuruh seperti dulu. Bukan karena trofi, tapi karena tim ini menemukan kembali jiwanya. Mungkin bukan bersama Amorim. Mungkin bukan dalam satu atau dua musim. Tapi asal ada arah yang benar, asal ada visi jangka panjang, United bisa bangkit.
Dan saya akan tetap di sini. Menonton, mendukung, dan sesekali mengumpat. Tapi tetap mencintai. Karena bagi saya, Manchester United bukan hanya klub. Ia adalah cerita tentang kesetiaan. Tentang harapan. Tentang pulang ke rumah, betapapun rusaknya rumah itu.
Kiper yang selama ini dikenal dengan kepercayaan dirinya, kini membawa beban kesalahan besar di leg pertama yang membuat timnya gagal membawa pulang kemenangan dari laga tandang.
Manchester United, baru-baru ini, mengumumkan rencana pembangunan stadion baru yang diperkirakan menelan biaya hingga 2 miliar pound sterling (Rp 42,6 triliun).
Jim Ratcliffe menyebut meskipun Old Trafford memiliki sejarah panjang, kondisi stadion sudah tidak lagi ideal untuk memenuhi kebutuhan Manchester United di era modern.
MANCHESTER United (MU) tersisih di babak kelima Piala FA setelah dikalahkan Fulham.
Raih kesempatan bermain langsung di lapangan dan bermalam di Stadion Legendaris Old Trafford melalui Undian Berhadiah dan Marriott Bonvoy Moments.
"Sulit untuk menghadapi para penggemar di seluruh dunia (setelah musim yang buruk). Tapi jelas, kami tidak bisa bersembunyi,"
MANCHESTER United (MU) dicemooh oleh para penggemar setelah kalah 0-1 di Stadion Nasional Bukit Jalil, Malaysia melawan ASEAN All-Stars pada hari Rabu (28/5).
PELATIH Manchester United Ruben Amorim mengatakan 'Setan Merah' membutuhkan cemoohan dari para penggemar.
Tim asuhan Ruben Amorim kesulitan menghadapi permainan disiplin ASEAN All Stars. Beberapa fans yang hadir bahkan sempat mencemooh Harry Maguire dan kawan-kawan.
Pelatih Manchester United, Ruben Amorim, menilai kekalahan 1-0 dari ASEAN All-Stars sebagai pelajaran berharga. Amorim berharap sorakan dari penonton bisa picu kebangkitan tim musim depan.
PELATIH Manchester United, Ruben Amorim, memberikan pujian khusus kepada Sergio Aguero seusai laga melawan tim ASEAN All Stars, Rabu malam (29/5).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved