Kongres Luar Biasa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia berakhir sudah. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2023-2027. Erick yang pernah menjadi Presiden Internazionale Milan diharapkan membawa perubahan besar dalam tata kelola persepakbolaan Indonesia.
Kehadiran Erick merupakan kesempatan emas untuk menata ulang manajemen dan pembinaan sepak bola nasional. Sudah terlalu lama sepak bola Indonesia ditangani tanpa arah yang jelas.
Hanya saja pekerjaan itu tidak bisa seperti membalikkan tangan. Sepak bola bukanlah sulap yang tinggal simsalabim. Harus ada peta jalan yang jelas dan peta jalan itu harus menjadi komitmen semua pemangku kepentingan sepak bola.
Ekosistem sepak bola Indonesia sudah terlalu lama hancur. Infrastruktur keras maupun lunak sangat tidak mendukung. Lihat saja prasarana lapangan sepak bola yang ada di Indonesia. Sangat sedikit yang memenuhi standar internasional. Bahkan belum ada stadion yang dilengkapi virtual assistant referee.
Apalagi kalau kita berbicara mengenai kualitas pelatih, kualitas wasit, bahkan kualitas pemain. Hanya lima wasit Indonesia yang bersertifikat FIFA, sehingga terbatas yang dipercaya untuk menjadi pengadil pertandingan-pertandingan internasional.
Untuk pelatih, terpaksa kita menggunakan pelatih asing karena tidak ada yang bisa diandalkan untuk membawa Indonesia ke jenjang internasional. Bahkan untuk menangani klub pun kualitasnya tidak banyak yang istimewa sehingga sangat sedikit yang mampu melahirkan pemain-pemain berbakat.
Pembinaan berjenjang
Kalau prestasi nasional tidak kunjung membaik, pokok persoalan ada pada materi pemain. Begitu sulit untuk mendapatkan pemain yang bisa diandalkan karena basic sepak bola yang jauh di bawah standar.
Dengan basic sepak bola seperti itu tidak usah heran apabila pemain nasional tidak pernah bertahan lama. Pergantian pemain yang terlalu cepat menyulitkan pelatih untuk bisa mendapatkan sebuah tim nasional yang kompak dan diandalkan.
Lihat saja penampilan tim nasional di ajang Piala AFF. Dalam periode satu tahun, materi pemain boleh dikatakan berubah total. Pemain-pemain yang menonjol di ajang Piala AFF di Singapura seperti Alfeandra Dewangga dan Irfan Jaya tidak lagi masuk di tim Piala AFF setahun kemudian.
Keinginan untuk cepat meraih prestasi membuat PSSI terjebak untuk melakukan naturalisasi pemain. Namun pemain-pemain blasteran itu pun tetap saja tidak mampu membawa Indonesia untuk bisa menjuarai Piala AFF.
Belajar dari pengalaman bangsa lain, mereka yang mampu meraih prestasi besar pasti pilar timnya tidak pernah banyak berubah. Kalau ada pergantian umumnya karena pemain sebelumnya mengalami cedera. Dengan kebersamaan yang lebih panjang, maka tim nasional menjadi lebih terpadu, karena setiap pemain lebih mengerti pemain lainnya.
Baca juga: Menguji Nyali Erick
Buruknya kualitas pemain nasional disebabkan oleh buruk pembinaan di klub-klub. Nyaris tidak ada pembinaan usia dini yang dilakukan klub. Bahkan PSSI sendiri pun tidak lagi memiliki Akademi Sepak Bola yang menjadi tempat penempaan pemain-pemain sepak bola berbakat di Indonesia.
Dulu PSSI memiliki sekolah sepak bola di Salatiga yang menjadi kawah candradimuka calon-calon pemain nasional. Bahkan di zaman Ali Sadikin menjadi gubernur, DKI Jakarta mempunyai sekolah sepak bola di Ragunan yang melahirkan bintang-bintang besar seperti Anjas Asmara, Sutan Harharah, dan Sofyan Hadi.
Benahi dasar
Pekerjaan rumah yang harus dilakukan Erick Thohir membenahi dasar sepak bola Indonesia. Jangan pernah bermimpi besar akan tampil di ajang Piala Dunia kalau persoalan mendasar seperti ekosistem dan juga infrastruktur penunjangnya tidak dibenahi terlebih dulu.
Meski periode kepemimpinannya hanya sampai 2027, lebih realitis apabila kepengurusan kali ini menetapkan target yang lebih berjangka panjang. Kita bisa gunakan target Indonesia Emas 2045 sebagai sasaran akhir yang perlu kita raih dari pengelolaan sepak bola Indonesia.
Dengan bekerja berdasarkan rencana jangka panjang, cukup waktu untuk membenahi dasar sepak bola kita. Dimulai dengan mengajak pemerintah daerah menyediakan lahan untuk membangun lapangan sepak bola berkualitas dunia. Kalau setiap kabupaten dan kota menyiapkan satu lokasi untuk membangun lapangan dan stadion berkelas dunia, maka akan ada lebih dari 500 lapangan sepak bola berstandar internasional di Indonesia.
Baca juga: (Jangan) Berharap Banyak pada Erick
Lapangan sepak bola itu akan menarik minat anak-anak usia dini untuk menekuni sepak bola. Secara bersamaan PSSI harus mendorong para pelatih usia dini untuk memiliki sertifikat sepak bola yang bertaraf internasional. Ini akan melahirkan banyak pemain berbakat dan membuat klub-klub sepak bola untuk ikut membina pemain muda sebagai sumber pemain untuk klub mereka.
PSSI sendiri kemudian harus membuat Akademi Sepak Bola seperti Clairefontaine yang dimiliki Prancis. Tim pencari bakat PSSI mengunjungi sekolah sepak bola yang ada di Kabupaten/Kota untuk mendapatkan pemain berbakat yang pantas diberikan beasiswa sekolah dan menekuni sepak bola di Akademi milik PSSI.
Lagi-lagi dibutuhkan pencari bakat dan pelatih berkualitas yang akan dipercaya menangani Akademi Sepak Bola Nasional. Kalau kita bisa mendapatkan pelatih berkualitas seperti Guus Hiddinks atau Weil Coerver maka akan banyak jebolan Akademi yang akan menjadi pilar tim nasional.
Baca juga: Jadi Ketum PSSI, Erick Thohir: Belum Ada Kemenangan Hari Ini
PSSI tidak bisa sendirian untuk membangun sepak bola Indonesia. Pendekatan pentahelix dengan melibatkan masyarakat, dunia usaha, kalangan akademi, dan media massa harus dilakukan. Para pecinta sepak bola harus diedukasi menjadi supporters yang baik. Jangan menjadi hooligan yang membuat sepak bola menjadi menakutkan.
Manajemen pertandingan sepak bola harus dibuat standar yang baku. Tragedi Kanjuruhan tidak boleh terjadi lagi. Kita membutuhkan field marshall yang profesional. Petugas polisi menjadi penjaga keamanan di luar stadion, tidak lagi mengawasi penonton.
Komitmen dari klub-klub untuk membangun kompetisi yang sehat harus dijadikan sebuah kesepakatan. Menjadi juara jangan hanya menjadi tujuan, tetapi lebih sebagai akibat dari pembinaan yang dilakukan secara benar. Selama ini karena menjadi juara menjadi tujuan para pemilik klub, akibatnya mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan itu.
Praktik pengaturan skor merupakan salah satu akibat dari cara pandang seperti itu. Sepak bola harus dikembalikan kepada marwahnya sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa untuk membangun disiplin, kerja sama, kerja keras, sikap tidak mudah menyerah, dan selalu berupaya meraih prestasi tertinggi.
Eksploitasi sepak bola untuk tujuan politik harus diakhiri. Muatan politik membuat kita tidak pernah bisa fokus melakukan pembinaan. Akibatnya sepak bola Indonesia tertinggal jauh sehingga untuk bisa bersaing dengan Thailand ataupun Vietnam saja tidak sanggup.
Prinsip mata air merupakan kunci kesuksesan kepemimpinan Erick Thohir di PSSI. Mereka yang diminta untuk mengurus sepak bola haruslah mereka yang punya passion, punya kemampuan dan pemahaman tentang pengelolaan sepak bola. Jangan sampai selentingan tentang PSSI yang hanya diisi orang-orang BUMN menjadi sebuah kebenaran. Selamat bekerja!